Strategi Perawatan Covid-19 Fokus pada Isolasi Mandiri dan Terpusat
Strategi perawatan pasien Covid-19 perlu disiapkan sejak dini untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan kasus Covid-19 akibat meluasnya penularan varian Omicron. Tekanan pada fasilitas kesehatan pun bisa dicegah.
Karyawan PT Amarok Pharma Global memperlihatkan contoh obat antivirus Covid-19 molnupiravir di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah memfokuskan layanan isolasi mandiri dan terpusat sebagai antisipasi melonjaknya kasus Covid-19. Langkah ini diharapkan bisa mencegah kolapsnya fasilitas pelayanan kesehatan akibat kewalahan menghadapi lonjakan pasien Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin (17/1/2022), mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi perawatan pasien Covid-19. Strategi ini akan difokuskan pada isolasi mandiri ataupun terpusat.
“Strategi ini diambil menimbang sebagian besar kasus (Covid-19 dengan varian Omicron) tidak bergejala atau gejalanya ringan. Dari kasus yang dilaporkan saat ini, 98 persen merupakan kasus tanpa gejala dan gejala ringan,” katanya.
Nadia menjelaskan, upaya perawatan pasien Covid-19 yang disiapkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus saat ini tidak jauh berbeda dengan upaya yang sudah dilakukan sebelumnya. Sebelum dilakukan perawatan, pasien akan melewati proses triase untuk menentukan apakah pasien dapat dirawat dengan isolasi mandiri atau terpusat atau harus segera dirawat di fasilitas kesehatan.
Baca juga :Efek Jangka Panjang Covid-19 Lebih Membahayakan
Pasien dengan gejala ringan atau tanpa gejala akan diarahkan untuk isolasi mandiri atau isolasi terpusat. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi tekanan yang terjadi di rumah sakit.
Bagi pasien tanpa gejala dapat menjalani isolasi mandiri di rumah yang sudah memenuhi syarat. Untuk terapi, pasien akan mendapatkan multivitamin berupa vitamin C dan vitamin D serta obat untuk mengatasi gejala yang timbul, seperti obat batuk dan pilek.
Pasien dengan gejala ringan dengan saturasi oksigen lebih dari 95 persen dan frekuensi napas 12-20 kali per menit akan diarahkan untuk melakukan isolasi terpusat, terutama jika rumah pasien tidak memenuhi syarat isolasi mandiri. Adapun terapi yang diberikan, antara lain, multivitamin, obat untuk mengatasi gejala, serta antivirus, seperti favipiravir, remdesivir, molnupiravir, dan paxlovid.
Sementara pada pasien dengan gejala sedang, perawatan dilakukan di ruang isolasi rumah sakit. Tata laksana atau terapi yang diberikan adalah multivitamin, obat untuk gejala yang dialami, obat untuk komplikasi, obat untuk mengatasi komorbid yang dimiliki, antivirus, antikoagulan, serta pemberian oksigen jika diperlukan.
Sebagian besar kasus (Covid-19 dengan varian Omicron) tidak bergejala atau gejalanya ringan. Dari kasus yang dilaporkan saat ini, 98 persen merupakan kasus tanpa gejala dan gejala ringan.
Bagi pasien dengan gejala berat, terutama dengan saturasi oksigen kurang dari 93 persen dan frekuensi napas lebih dari 30 kali per menit, perawatan dilakukan di ruang ICU/HCU rumah sakit. Adapun terapi yang diberikan, antara lain, multivitamin berupa vitamin C, D, dan B1, obat untuk gejala yang timbul, obat untuk komplikasi dan komorbid, antivirus, kortikosteroid, oksigenasi, serta anti interleukin 6 (IL-6). Terapi yang diberikan ini harus sesuai dengan petunjuk dari dokter yang menangani.
“Obat untuk Covid-19 sementara ini bisa didapat di puskesmas, layanan telemedicine, dan fasilitas kesehatan,” ucap Nadia.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati mengatakan, obat-obatan yang digunakan sebagai antivirus diperlukan untuk menekan progresivitas virus dalam tubuh sehingga perburukan bisa dicegah. Karena itu, pada pasien yang sudah menunjukkan gejala sebaiknya segera diberikan obat antivirus.
“Obat seperti monulpiravir dan paxlovid itu sebenarnya lebih diperuntukkan pada pasien dengang gejala ringan dan sedang karena memang outcomedari obat ini untuk mencegah perburukan yang bisa berujung pada perawatan. Karena itu jika terkonfirmasi positif dan menunjukkan gejala sebaiknya segera mendapatkan obat-obat tersebut,” tuturnya.
Kementerian Kesehatan per 17 Januari 2022 mencatat, kasus terkonfirmasi Omicron secara kumulatif di Indonesia mencapai 840 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 609 kasus merupakan pelaku perjalanan luar negeri dan 174 kasus merupakan kasus dari transmisi lokal.
Pada kasus pelaku perjalanan luar negeri diketahui 46 persen dalam kondisi tanpa gejala, 42 persen gejala ringan, dan 12 persen lainnya belum diketahui karena masih dalam penyelidikan epidemiologi. Sementara pada kasus dari transmisi lokal, 34 persen ditemukan tanpa gejala, 38 persen dengan gejala ringan, 1 persen dengan gejala sedang, dan 27 persen lainnya masih dalam penyelidikan epidemiologi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam siaran pers menuturkan, pemerintah telah memperkirakan puncak gelombang kenaikkan kasus Omicron akan terjadi di Indonesia pada pertengahan Februari hingga awal Maret 2022. Hal ini didasarkan pada kondisi kenaikan kasus di dunia yang berkisar antara 35 hingga 65 hari.
Baca juga :Transmisi Lokal Meningkat, Masyarakat Diminta Batasi Mobilitas
Wilayah Jabodetabek dinilai akan menjadi wilayah pertama yang akan mengalami lonjakan kasus. Berdasarkan identifikasi Kementerian Kesehatan, sebagian besar kasus dari transmisi lokal varian Omicron terjadi di DKI Jakarta.
“Jadi kita harus siapkan khusus DKI Jakarta sebagai medan perang pertama menghadapi varian Omicron dan kita harus sudah memastikan bisa menangani dengan baik. Selain prokes dan surveilans, juga dipastikan semua rakyat DKI Jakarta dan Bodetabek akan dipercepat vaksinasi booster-nya agar mereka siap kalau gelombang Omicron nanti naik secara cepat dan tinggi,” kata Budi.
Vaksin penguat
Terkait dengan pemberian vaksin penguat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) telah menerbitkan izin penggunaan darurat untuk enam jenis vaksin penguat. Terdapat enam regimen tambahan yang telah mendapatkan izin.
Regimen tambahan itu, meliputi vaksin Sinovac dosis penuh sebagai penguat homolog (jenis sama dengan vaksinasi primer), vaksin Moderna sebagai penguat homolog dengan setengah dosis, vaksin Moderna dengan setengah dosis untuk vaksin penguat heterolog vaksin primer AstraZeneca, vaksin Moderna dengan setengah dosis untuk vaksin penguat heterolog dengan vaksin primer Pfizer, vaksin Moderna dengan setengah dosis untuk vaksin penguat heterolog dari vaksinasi primer Janssen.
Selain itu, izin penggunaan darurat juga diberikan pada vaksin Zifivax dengan satu dosis sebagai vaksin penguat untuk vaksin primer Sinovac dan vaksin Zifivax dengan satu dosis sebagai penguat dari vaksin primer Sinopharm.
Kepala Badan POM Penny K Lukito menuturkan, vaksin Pfizer sebagai vaksin penguat heterolog untuk vaksin primer Sinovac ataupun AstraZeneca menunjukan hasil imunogenisitas yang baik. Peningkatan antibodi akan tinggi sampai 31-38 kali pada 6-9 bulan setelah dosis primer diberikan.
Untuk vaksin Pfizer sebagai penguat dengan vaksin primer AstraZeneca menghasilkan peningkatan antibodi IgG terhadap S-RBD (pemeriksaan antibodi Covid-19 kuantitatif) yang tinggi yakni sampai 21,8 kali dibandingkan sebelum diberikan dosis penguat. Pada vaksin AstraZeneca sebagai booster heterolog dengan vaksin primer Sinovac menunjukkan hasil imunogenisitas berupa peningkatan antibodi 35-41 kali, sementara dengan vaksin primer Pfizer peningkatan antibodi sampai 4 kali lipat.
Baca juga Vaksin Penguat Dapat Meningkatkan Antibodi Covid-19
“Penetapan vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi penguat telah merujuk pada vaksin Covid-19 yang telah disetujui oleh Badan POM. Penggunaan jenis vaksin di lapangan dapat menyesuaikan berdasarkan pertimbangan ketersediaan, sepanjang masuk dalam persetujuan penggunaan yang telah diterbitkan oleh Badan POM,” ujar Penny.