Indeks Kemerdekaan Pers di Papua dan Papua Barat Rendah
Hasil survei menunjukkan skor Indeks Kemerdekaan Pers di Papua dan Papua Barat masih sangat rendah. Pandangan yang salah terhadap kebebasan pers hingga belum optimalnya kualitas pemberitaan menjadi penyebabnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skor Indeks Kemerdekaan Pers di Papua dan Papua Barat berada di posisi tiga terbawah dari 34 provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat pers perlu meningkatkan kepedulian untuk menguatkan kemerdekaan pers ini, khususnya di Papua dan Papua Barat serta daerah lainnya di Indonesia.
Hal tersebut terangkum dalam hasil laporan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Papua yang disusun Dewan Pers dan dirilis secara daring, Kamis (23/12/2021). IKP merupakan sebuah cara yang dilakukan Dewan Pers dan pihak ketiga untuk mengukur persepsi para pemangku kepentingan tentang kemerdekaan pers di setiap daerah tersebut.
Hasil survei menunjukkan skor IKP Papua 2021 adalah 68,7 dan berada di posisi ke-33 atau dua terendah. Skor ini menunjukkan Papua masuk dalam kategori kemerdekaan pers agak bebas. Dalam IKP 2018 sampai 2019, posisi Papua berada di peringkat ke-34 dari 34 provinsi. Sementara skor IKP tahun 2021 di Papua Barat adalah 70,59 atau masuk kategori cukup bebas. Namun, skor IKP Papua Barat berada di peringkat ke-32 dari 34 provinsi.
Dalam survei ini, terdapat tiga kelompok persoalan yang diukur, yakni kondisi lingkungan fisik dan politik, ekonomi, serta hukum. Mayoritas kondisi lingkungan fisik dan politik serta hukum di Papua ataupun Papua Barat memiliki skor rendah.
Parameter yang memengaruhi skor tersebut di antaranya akses atas informasi publik, kebebasan dari intervensi, kesetaraan akses bagi kelompok rentan, dan tata kelola perusahaan yang baik. Bahkan, parameter perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas di Papua memiliki skor paling rendah dibandingkan dengan parameter lainnya.
Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli, menyampaikan, survei IKP 2021 dilakukan dalam dua tahap dengan responden dipilih dari kalangan yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam kegiatan pers. Responden itu antara lain divisi humas dari lembaga/dinas di daerah, asosiasi wartawan, dan kalangan akademisi.
Menurut Arif, secara umum kebebasan pers di Indonesia dipengaruhi oleh aspek eskternal dan internal. Pada aspek eksternal, sampai saat ini masih banyak pandangan yang salah terhadap kebebasan pers dan penyelesaian sengketa pers. Di sisi lain, akses publik terhadap pers atau media juga belum sepenuhnya seragam.
”Kami di Dewan Pers masih sering mendengar, misalnya, pers ketika memberitakan itu menghantam kelompok, pejabat, atau pihak tertentu. Kritik dari pers juga dianggap sebagai sesuatu yang jelek,” ujarnya.
Sementara dari aspek internal, kebebasan pers dipengaruhi oleh pemahaman yang buruk terhadap hakikat kerja jurnalistik dan tanggung jawab, termasuk kode etik jurnalistik. Hal ini ditunjukkan dari masih banyaknya wartawan yang bekerja untuk kepentingan jangka pendek. Bahkan, kebebasan pers dianggap terganggu karena model bisnis pers yang masih mengejar klik dengan mutu kualitas yang belum optimal.
Dari aspek internal, kebebasan pers dipengaruhi oleh pemahaman yang buruk terhadap hakikat kerja jurnalistik dan tanggung jawab, termasuk kode etik jurnalistik.
Ketua Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, AJI mencatat sepanjang 2021 terdapat tiga kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan Papua Barat. Mereka mengalami perusakan kediaman dan transportasi pribadi oleh sekelompok orang tidak dikenal. Kejadian ini masuk ke dalam aspek intimidasi.
”AJI meyakini bahwa sebenarnya masih banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis di wilayah Papua dan Papua Barat, tetapi belum terdokumentasi oleh tim advokasi. Belajar dari kasus 2018, data yang dihimpun hanya tiga sampai lima kasus. Namun, begitu ke lokasi ternyata terdapat belasan laporan yang disampaikan ke tim ad hoc Dewan Pers,” ungkapnya.
Selain itu, kata Sasmito, beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan juga tidak mendapat respons yang baik dari kepolisian. Oleh karena itu, ke depan perlu ada diskusi bersama dengan pihak kepolisian untuk melihat faktor apa saja yang menyebabkan laporan tersebut kerap berhenti di tengah jalan.
Petunjuk masih lemah
Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal mengatakan, pihak kepolisian belum mendapatkan petunjuk yang cukup kuat untuk mengarah pada satu tersangka dalam setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kepolisian juga masih membutuhkan keterangan dari para saksi untuk mengurai petunjuk dan bukti baru.
Guna membangun sinergitas antara Polri dan pers, Kamal memandang kedua belah pihak harus menumbuhkan rasa saling percaya dan komunikasi yang baik dengan melakukan etika profesinya secara bertanggung jawab. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, terutama saat mengamankan unjuk rasa, kepolisian harus berusaha memberikan perlindungan bagi semua pihak.
Kamal menegaskan, kepolisian juga tidak menutup informasi dan selalu terbuka bagi insan pers. Namun, ia juga meminta jurnalis untuk menunggu ketika pihak kepolisian belum mendapatkan informasi yang valid agar tidak terjadi kerancuan di publik.
”Selain TNI, mitra kepolisian yang sangat kuat adalah wartawan. Sebab, wartawanlah yang memosisikan kami sebagai penegak hukum, pelindung, dan pengayom masyarakat,” ucapnya.