Daerah-daerah yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Aceh menyebutkan, banjir yang terjadi di provinsi itu dampak dari kerusakan hutan. Sejumlah kabupaten di Aceh hingga Rabu (22/12/2021) masih digenangi banjir.
Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin menuturkan, secara alami setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana terjadi lebih cepat.
”Ini (banjir) menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan,” katanya.
Shalihin mengatakan, daerah-daerah yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Dia mencontohkan, Kabupaten Aceh Barat kerap dilanda banjir karena daerah hulu, kawasan resapan, rusak karena tambang.
Pada Selasa (21/12/2021) banjir melanda Kecamatan Panton Reu dan Pante Ceuremen, Aceh Barat. Sebuah jembatan gantung penghubung antardesa di kecamatan itu ambruk diterjang arus.
Kawasan Panton Reu dan Pante Ceuremen merupakan lokasi tambang emas ilegal. ”Kerusakan di hulu (hutan), tetapi banjir justru terjadi hilir,” ujar Shalihin.
Dikatakan, orang pertama yang merasakan dampak banjir adalah warga. Mereka kehilangan harta dan tidak bisa beraktivitas seperti biasa.
Ini (banjir) menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan (Ahmad Shalihin).
Laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) hingga Rabu (22/12/2021), daerah yang masih tergenang banjir, yakni Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Nagan Raya. Namun, tidak ada warga yang mengungsi.
Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, pada 2017-2019 Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 48.031 hektar atau lebih separuh dari luas DKI Jakarta.
Beberapa daerah yang mengalami deforestasi tinggi adalah Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.
Kerusakan hutan berkolerasi dengan bencana alam. Berdasarkan data dari BPBA, bencana ekologi banjir, longsor, dan bandang paling masif terjadi. Pada 2019 tiga jenis bencana itu melanda Aceh sebanyak 126 kali dengan nilai kerugian Rp 60,4 miliar.
Sementara pada 2020 tiga bencana tersebut terjadi sebanyak 170 kali dengan kerugian Rp 157,9 miliar. Selama tiga tahun nilai kerugian karena tiga jenis bencana itu mencapai Rp 874,1 miliar.
Shalihin menuturkan, pola pemanfaatan ruang yang keliru membuat ketahanan lingkungan labil. ”Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah harus direvisi agar pemanfataan ruang sesuai dengan fungsi,” kata Shalihin.
Pendangkalan
Kepala BPBA Aceh Ilyas mengatakan banyak sungai di Aceh mengalami pendangkalan karena sedimentasi. Kerusakan hutan di hulu sungai membuat daya dampung air tanah berkurang dan mempercepat erosi sungai.
”Tutupan hutan semakin susut karena aktivitas pertanian dan perkebunan. Aktivitas tambang di daerah hulu juga membuat daya tampung air tanah lemah. Kesadaran warga untuk sungai juga rendah,” kata Ilyas.
Sebelumnya Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh Eko Nurwijayanto mengatakan, dari 4,9 juta hektar kawasan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh, 2,7 juta hektar kondisinya kurang baik dan 251.691 hektar di antaranya sangat kritis.
”DAS sebagian besar kawasan hutan lindung. Namun, di hutan sendiri sudah ada perladangan, perkebunan, dan pertambangan. Ini memicu kerusakan DAS,” kata Eko.
Eko menambahkan, pemulihan DAS dilakukan dengan menanam pohon, tapi laju kerusakan tidak sebanding dengan luas penanaman. Oleh karena itu, Eko mengajak semua pihak bersinergi merawat DAS untuk mencegah bencana.