Baca juga : Lindungi PRT dengan Regulasi
Beberapa PRT yang menjadi penulis mengisahkan kembali kisah hidupnya. Miska, misalnya, anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, Jakarta. ”Saya datang dari keluarga tidak mampu. Masa kecil saya penuh dengan kerja keras membantu orangtua, dari mencari rumput, angon kambing (menggembalakan kambing), mencari batu di kali untuk dijual. Ini semua saya lakukan untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga kami,” tutur Miska.
Dia menuturkan, ketika mulai bersekolah, dia memiliki cita-cita menjadi pramugari. Namun, dia ternyata mengecap pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama, dan bekerja sebagai PRT sejak 1997. Pada 2010, dia berangkat ke Singapura menjadi pekerja migran Indonesia, bekerja sebagai PRT. Terakhir, ia bekerja di Hong Kong.
”Cita-cita saya memang tidak kesampaian menjadi pramugari, tetapi saya berhasil bolak-balik naik pesawat. Bukan sebagai pramugari, melainkan sebagai penumpang, karena saya bekerja sebagai PRT di luar negeri. Ini yang membuat saya bisa menikmati terbang naik pesawat,” ungkap Miska yang kini memiliki usaha berjualan kue.
Lain lagi cerita Mundri. Dia sempat diejek teman-temannya karena lulusan SMA, tapi mau menjadi PRT. Namun, dia berhasil membuktikan dari PRT, dia mendapat banyak pengalaman, bahkan pernah bekerja pada keluarga orang asing yang tinggal di Indonesia (ekspatriat) dan bisa belajar bahasa Inggris. Belakangan, dia membuka usaha warung nasi padang.
Selain Miska dan Mundri, pada acara tersebut juga hadir menceritakan pengalamannya yakni Jumiyem (SPRT Tunas Mulia DIY), Arnida (SPRT Paraikatte Sulawesi Selatan), Milasari (SPRT Sapulidi DKI Jakarta), dan Ririn Sulastri (SPRT Tunas Mulia DIY).
Baca juga : Pekerjaan Rumah Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
Jumiyem mengaku awalnya menulis dengan tangan, lalu difotokopi, kemudian diedarkan dari rumah ke rumah seperti layaknya loper koran. Jumiyem saat bekerja sebagai PRT kemudian melanjutkan pendidikan hingga lulus di Fakultas Hukum di Universitas Widya Mataram dan menjadi paralegal serta pengurus SPRT. Kendati demikian, dia tetap menjadi PRT paruh waktu dan berjualan mainan di pasar malam.
Medium perlawanan
Tak hanya kisah pedih, ada juga kisah sukacita yang ditulis. Luviana, Pemimpin Redaksi Konde.co, mengungkapkan, menulis menjadi medium perlawanan para PRT. Itu dilakukan dengan merebut ruang yang selama ini didominasi narasi-narasi yang menihilkan kontribusi mereka.
”Dengan menulis, mereka memperlihatkan wajah, mengeluarkan suara, dan menegaskan eksistensi mereka. Melalui tulisan, para PRT mencurahkan semua cerita suka duka kehidupan di tengah sistem masyarakat yang menganggap keberadaan mereka seolah tidak ada,” katanya.
Dari tulisan tersebut tergambarkan bagaimana pekerjaan PRT yang lekat dengan upah murah, jam kerja panjang, kekerasan seksual, pekerja anak, kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penistaan profesi.
Melalui tulisan, para PRT mencurahkan semua cerita suka duka kehidupan di tengah sistem masyarakat yang menganggap keberadaan mereka seolah tidak ada.
Namun, dalam buku itu tak hanya cerita pedih, ada juga cerita sukacita yang dialami PRT. Ada yang berhasil membeli rumah, membuka usaha, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi, mempunyai pengalaman banyak di luar negeri, dan segudang pencapaian lainnya membuka semangat pekerja untuk tetap bertahan hidup.
Koordinator Nasional JALA PRT, Lita Anggraini, mengungkapkan, kumpulan tulisan dari PRT tersebuf merupakan bagian dari hasil karya para PRT yang mengikuti sekolah menulis PRT yang digagas JALA PRT. Sejak 1994, JALA PRT, Rumpun Tjoet Njak Dien, dan SPRT Tunas Mulia mengorganisasi PRT dan memprakarsai Sekolah untuk PRT yang dimulai di Yogyakarta pada tahun 2003.
Sekolah tersebut merupakan kegiatan dalam mereplikasi sekolah PRT (Sekolah Wawasan) di DKI Jakarta dan enam wilayah lainnya yang hingga sekarang diadakan JALA PRT setiap dua minggu sekali. Melalui pengorganisasian dan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut, mereka membangun pengetahuan, kesadaran bersikap, kekuatan dan komitmen untuk melakukan perubahan bersama, salah satunya dengan cara menulis.
”Kekuatan utamanya adalah dia menceritakan dirinya, apa yang dilakukan bersama, perubahan tingkat individu sampai bersama-sama,” katanya.
Tulang punggung keluarga
Data menunjukkan, dari hampir 5.000 PRT di Indonesia, sebagian besar perempuan dan banyak di antara mereka yang tidak lulus sekolah. Padahal, PRT harus bekerja sebagai tulang punggung keluarga, maka pendidikan alternatif merupakan jalan untuk menyelesaikan persoalan, menghadapi dunia kerja PRT.
Pendidikan alternatif menjadi penting karena hingga kini PRT bekerja dalam kondisi kerja tidak layak, upah rendah, upah tertunda, jam kerja panjang, tidak cukup istirahat, dan tidak ada jaminan sosial. Mereka juga tidak mempunyai akses berserikat, pelanggaran hak, dan berbagai pelecehan.
Baca juga : Wujudkan Pengakuan terhadap PRT
Apresiasi atas buku tersebut juga disampaikan oleh Damairia Pakpahan (perempuan aktivis dan Pendiri Rumpun), Margherita Gastaldi (aktivis yang pernah melakukan beberapa kali meneliti kehidupan PRT di Indonesia), Xenia Angelica Wijayanto (dosen Komunikasi dan Bisnis London School of Public Relation dan Ketua Yayasan Kolaboraksi Pijar Nusantara), serta Elizabeth Tang dari International Domestic Workers Federation (IDWF).
”Teman-teman menulis sebagai bagian dari pengorganisasian. Namun, di tulisan ini, kok, tidak kelihatan negara hadir,” ujarnya seraya mengingatkan agar jangan lupa menjangkau PRT milenial.
Peluncuran buku tersebut merupakan salah satu kampanye PRT di tengah nasib RUU Perlindungan PRT (PPRT) yang hingga kini tidak ada kepastiannya. Pada hari yang sama, Koalisi 5 yang terdiri dari Kowani, Komnas Perempuan, Institut Sarina, Jalastoria, dan JALA PRT menyatakan keprihatinan atas terhentinya proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) PPRT yang menjadi usulan Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) RI selama lebih dari 1,5 tahun.
Mereka menilai hal tersebut sebagai sikap diskriminatif pimpinan DPR. Sebab, Baleg sudah memaparkan usulan tersebut pada 15 Juli 2020, tetapi jajaran pimpinan DPR tidak pernah mengagendakan RUU PPRT ke sidang paripurna untuk diambil keputusan sebagai RUU usulan DPR.
Eva Sundari dari Institut Sarinah berharap pimpinan DPR segera menjadwalkan RUU PPRT di Sidang Paripurna DPR pada pengujung masa sidang di pengujung tahun 2021 ini.