Kecerdasan Buatan Perlu Dirancang untuk Tingkatkan Akurasi Produk Jurnalistik
Kecerdasan buatan tidak hanya dirancang untuk menghasilkan lebih banyak artikel dengan cepat, tetapi juga meningkatkan akurasi dari produk jurnalistik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Solusi bagi media lokal untuk bertahan di era digital adalah dengan teknologi, khususnya kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan tidak hanya dirancang untuk menghasilkan lebih banyak artikel dengan cepat, tetapi juga meningkatkan akurasi.
Peneliti di Ludwig Maximilian University of Munich, Jerman, Bartosz Wilczek, mengemukakan, disrupsi merupakan tantangan utama media lokal saat ini. Organisasi berita lokal khususnya di berbagai pasar media mengalami disrupsi yang cukup parah. Artinya, pemasukan dari iklan dan pembaca mengalami penurunan yang cukup besar.
”Hilangnya penyediaan berita lokal membawa konsekuensi serius bagi komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya dalam konferensi bertajuk ”Digital Discourses: Jurnalisme di Zaman Digital” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (25/11/2021).
Menurut Bartosz, salah satu solusi media lokal dalam menghadapi disrupsi adalah dengan teknologi khususnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). AI menawarkan peluang kepada organisasi berita lokal untuk menyiasati tantangan ekonomi yang dihadapi.
Meski demikian, sejumlah pihak juga mengkhawatirkan pengembangan dan implementasi AI dalam jurnalisme lokal. Aplikasi AI berbasis efisiensi dikhawatirkan akan membahayakan fungsi sosial media lokal, yakni memproduksi dan mendistribusi berita yang akurat dan relevan. Oleh karena itu, para pakar semakin gencar mendesak agar aplikasi AI dalam jurnalisme lokal harus tetap bertanggung jawab.
”Artinya, aplikasi jangan berfokus pada efisiensi semata dan membantu jurnalisme lokal mengatasi tantangan ekonomi, tetapi juga memperhatikan etika serta mendukung fungsi kemasyarakatan. Terkait dengan tahap pemrosesan, AI bukan saja harus menghasilkan lebih banyak artikel dengan lebih cepat, tetapi juga meningkatkan akurasi,” tuturnya.
Dalam tahap pengeluaran, AI juga seharusnya tidak hanya mendistribusi konten berita berita berdasarkan preferensi pembaca. Namun, AI harus mendistribusi konten yang relevan sehingga memastikan eksposur terhadap beragam berita.
Bartosz mengakui bahwa sampai saat ini AI semakin banyak diteliti dalam konteks jurnalisme nasional maupun lokal. Akan tetapi, fokus AI terhadap jurnalisme lokal jauh lebih sedikit dibandingkan jurnalisme nasional. Penerapan AI dalam jurnalisme yang bertanggung jawab bahkan kerap terabaikan dalam riset-riset terdahulu.
Di sisi lain, media berita lokal juga masih menemui kendala dalam menerapkan teknologi seperti AI karena keterbatasan sumber daya dan bagaimana upaya untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal inilah yang mendasari Bartosz dan tim peneliti lainnya melakukan dua studi tentang kondisi organisasi dan masyarakat yang dapat memfasilitasi AI secara bertanggung jawab dan jurnalisme lokal.
Dari hasil dua studi tersebut, salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa distribusi konten berita yang dipersonalisasi akan membuat aplikasi AI yang sangat relevan dalam organisasi surat kabar lokal. Organisasi surat kabar lokal pada akhirnya akan mengedepankan akurasi. Artinya, distribusi berita juga akan semakin presisi.
”Kami juga melihat peluang institusi riset untuk berkolabroasi dengan organisasi surat kabar lokal dalam membantu pengembangan AI. Sebab, institusi riset memiliki tanggung jawab untuk mendukung organisasi surat kabar lokal dalam implementasi AI dan didorong oleh pertimbangan efisiensi dan etika,” ucapnya.
Bartosz menjelaskan, sampai saat ini tidak ada definisi pasti yang menjelaskan istilah jurnalisme lokal. Namun, terdapat suatu kesepakatan dalam literatur untuk membedakan jurnalisme lokal dengan jurnalisme hiperlokal dan nasional. Di Jerman, jurnalisme lokal didefinisikan sebagai jurnalisme yang beroperasi pada level wilayah administratif tertentu.
Konferensi diskursus digital
Bartosz merupakan salah satu pembicara dalam konferensi ”Digital Discourses: Jurnalisme di Zaman Digital” yang diselenggarakan pada 25-26 November. Acara tersebut diselenggarakan Goethe-Institut Indonesien, Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Deutsche Welle, dan Project Multatuli.
Sekretaris Jenderal Goethe-Institut Johannes Ebert menyatakan, program konferensi diskursus digital akan mengamati dampak transformasi digital terhadap cara kerja media di seluruh dunia. Tranformasi mengakibatkan jurnalisme beralih ke ruang daring, tetapi hanya mengutamakan kecepatan dan jumlah klik serta mengorbankan liputan mendalam.
Meski demikian, kata Ebert, transformasi digital yang sama juga memunculkan pendekatan baru yang berkaitan dengan cara produksi berita. ”Sumber informasi yang terbuka memberi wartawan perangkat baru untuk jurnalisme investigatif dengan menganalisis set data sangat besar yang dapat diakses oleh umum,” katanya.
Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, H.E. Ina Lepel, menambahkan, dari pengalamannya menjadi pejabat pers, tata cara kerja sama dengan media dan penjangkauan publik di lingkungan dinas diplomatik sudah berubah jauh. Salah satu perubahan itu ialah diplomasi publik kini lebih penting dari sebelumnya.
”Kaum diplomat berupaya memanfaatkan media untuk mewujudkan agenda mereka. Namun, media yang berkualitas bukanlah pesuruh, melainkan memiliki peran aktif tersendiri yang menyelidiki kebenaran pernyataan dan memberi informasi ke publik agar pemerintah bisa dikontrol oleh rakyat,” katanya.