Sekolah di Daerah PPKM Level 1-3 Belum Banyak Gelar Pembelajaran Tatap Muka
Meski secara aturan sejumlah sekolah di daerah dengan status PPKM level 1-3 boleh membuka pembelajaran tatap muka terbatas, nyatanya masih banyak yang enggan melakukannya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas sudah diizinkan di daerah dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 1-3. Hanya sekolah di PPKM level 4 yang tidak boleh menggelar PTM terbatas. Namun, dari 63 persen sekolah dari total 540.979 satuan pendidikan yang sudah boleh menggelar PTM terbatas, baru sedikit yang melaksanakan pembelajaran secara langsung di sekolah.
Sebagian besar alasan sekolah di PPKM level 1-3 tidak menggelar PTM terbatas karena pemerintah daerah atau satuan tugas (satgas) penanganan Covid-19 daerah belum mengizinkan. Alasan lainnya adalah sebagian besar guru dan tenaga kependidikan (GTK) belum mendapat vaksin. Sementara itu, orangtua secara umum telah mengizinkan anak-anak mereka untuk bertatap muka di sekolah.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim di Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR yang digelar secara langsung dan daring di Jakarta, Senin (23/8/2021), mengatakan, sesuai ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri dan aturan terbaru, sebenarnya sekolah di daerah PPKM level 1-3 sudah bisa melaksanakan PTM terbatas. Sekolah boleh memberikan opsi belajar secara langsung di sekolah dengan kapasitas dan waktu terbatas.
”Untuk sekolah yang GTK sudah vaksin lengkap, wajib memberikan opsi PTM terbatas. Jika tidak mengadakan PTM terbatas, berarti pelanggaran,” kata Nadiem.
Kemendikbudristek harus menyimak apa yang dialami daerah dan ikut membantu apa yang dikeluhkan daerah untuk persiapan PTM terbatas.
Nadiem menegaskan, meskipun GTK belum vaksin, sekolah di daerah level 1-3 tetap boleh menggelar PTM terbatas. Namun, siswa tidak wajib belajar di sekolah dan boleh memilih pembelajaran jarak jauh (PJJ) jika orangtua/wali tidak mengizinkan.
”Kami tetap pada kebijakan mendorong sekolah dibuka secepat mungkin dan seaman mungkin. Kondisi saat ini, secara psikologis dan kognitif, sudah kritis. Sudah terjadi pencapaian belajar yang turun atau learning loss, putus sekolah, dan kekerasan. Kami juga tahu, sudah terjadi ketegangan di rumah selama mengalami PJJ,” ujar Nadiem.
Dari data yang dilaporkan ke Kemendikbudristek, baru sekitar 26 persen sekolah di level 1-3 pada Agustus ini yang menggelar PTM terbatas. Baru 36 persen sekolah yang mengadopsi kurikulum darurat yang disediakan Kemendikbudristek agar pembelajaran lebih fokus pada materi esensial saat kondisi pembelajaran di rumah.
Sampai 23 Agustus 2021, pukul 18.00, data Kementerian Kesehatan menunjukkan terdapat 2.292.354 tenaga pendidik yang divaksin pertama dan 1.900.101 tenaga pendidik menerima vaksinasi kedua.
Masih dari sumber data yang sama, anak berusia 12-17 tahun yang menerima vaksinasi pertama sebanyak 2.465.779 orang (9,23 persen) dan baru 1.292.357 orang (4,84 persen) penerima suntikan dosis kedua.
Nadiem menyadari bahwa masalah vaksin untuk pendidik dan tenaga kependidikan serta siswa belum tuntas. Namun, sekolah tetap harus dibuka untuk level 1-3. Dari uji coba yang pernah dilakukan, sedikit penyebaran Covid-19 dari kluster sekolah. Secara umum, sekolah-sekolah telah memenuhi syarat melaksanakan protokol kesehatan sesuai ketentuan.
”Kalau GTK sudah lengkap sampai vaksin dua, wajib memberikan opsi PTM terbatas,” kata Nadiem.
Nadiem menyampaikan pesan ke Komisi X DPR agar ikut mendorong pemerintah daerah di level 1-3 segera membuka sekolah-sekolah. Hingga saat ini, sejumlah daerah di level 1-3 yang melarang secara resmi adalah Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Pemkot Serang, Pemkab Lampung Tengah, Pemkab Tenggamus, Pemkab Lampung Utara, Pemkab Waykanan, Pemkab Pesawaran, dan Pemkab Tulang Bawang.
Anggota Komisi X DPR, Musthofa, mengatakan pemda tentu punya alasan untuk menunda pembukaan sekolah di daerah masing-masing, apalagi resiko penularan akibat varian Delta cukup tinggi.
”Kemendikbudristek harus menyimak apa yang dialami daerah dan ikut membantu apa yang dikeluhkan daerah untuk persiapan PTM terbatas,” kata Musthofa.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR, Muhammad Kadafi, mengatakan, banyak pemda di Lampung yang belum mengizinkan PTM terbatas karena rendahnya cakupan vaksinasi. Data Kementerian Kesehatan, saat ini Lampung nomor satu terendah cakupan vaksinasi, baru 769.488 jiwa mendapat vaksinasi pertama dari target 6.645.226 jiwa. Padahal, penduduk Provinsi Lampung terpadat kedua dan penyangga Pulau Jawa.
”Orangtua masih enggan menyuruh anak ke sekolah dan pemda juga enggan. Memang vaksin guru sudah 48 persen, tapi dari lingkungan masih rendah. Percepatan vaksinasi ini semakin penting supaya guru, siswa, dan masyarakat yakin untuk melaksanakan PTM terbatas yang aman,” ujar Kadafi.
”Refocusing” anggaran
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X, Nadiem memaparkan kebijakan refocusing anggaran pendidikan dari pemerintah pusat. Penghematan bisa dilakukan dengan memotong anggaran belanja atau kegiatan di Kemendikbudristek.
”Kami menjamin untuk program bantuan atau afirmasi tetap aman, tidak ada pemotongan. Kami meyakinkan untuk siswa dan guru yang terdampak ekonomi akibat pandemi Covud-19 tetap aman,” ujar Nadiem.
Menurut Nadiem, meskipun terjadi refocusing anggaran, sejumlah program prioritas tetap berjalan dengan penyesuaian. Namun, ada yang tidak terdampak, yakni Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 17,9 juta siswa senilai Rp 9,6 triliun. Lalu, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah untuk 1,1 juta mahasiswa dengan anggaran Rp 9,4 triliun, beasiswa afirmasi ADIK untuk 7.382 mahasiswa senilai Rp 139 miliar, serta aneka tunjangan untuk 364.573 guru senilai Rp 7,3 triliun.
Adapun pemotongan untuk program prioritas dalam kebijakan Merdeka Belajar, antara lain, berdampak di program guru penggerak yang sasarannya turun dari 36.769 guru menjadi 29.269 guru. Pendampingan guru sekolah penggerak turun dari 61.000 orang menjadi 23.145 orang. Termasuk organisasi penggerak, sasaran tetap 20.438 orang, tetapi anggaran turun dari Rp 320,4 miliar menjadi Rp 209,4 miliar.