Perbedaan Pandangan Masih Hambat Penghapusan Kekerasan Seksual
Hingga kini pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih berkutat pada perbedaan pendapat, bahkan di antara anggota DPR. Kepentingan korban perlu menjadi fokus prioritas.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pandangan dari sejumlah fraksi di DPR masih menjadi penghambat penyusunan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS. Perbedaan pandangan ini perlu segera dikikis, mengingat negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari tindakan kekerasan seksual.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Willy Aditya mengemukakan, RUU PKS menjadi hak inisiatif dari Badan Legislatif untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Sampai saat ini, pembahasan sudah melalui empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai pengampu kepentingan, baik dengan pihak yang pro maupun kontra.
”Kendala utamanya memang terjadi benturan ideologi dan cara pandang. Jadi, kami mengedepankan dialog karena kedua belah pihak ingin memuliakan dan menjaga kehormatan wanita serta melindungi anak-anak dari orang-orang yang selama ini melanggar norma atau hukum,” ujarnya dalam webinar tentang RUU PKS, Rabu (28/7/2021).
Selama empat kali RDPU, kata Willy, beberapa fokus pembahasan dari DPR, yaitu soal terminologi kekerasan atau kejahatan. Fokus lainnya yang juga menjadi perdebatan, yaitu tentang kesepakatan seksual sebelum berhubungan intim. Inilah yang kerap diperdebatkan karena dianggap sebagai pintu masuk bagi seks bebas ataupun perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT).
Pengesahan RUU PKS merupakan bagian dari mandat negara untuk melakukan perlindungan dan mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut Willy, pembahasan RUU PKS dilakukan oleh Baleg untuk mempercepat proses penyusunan naskah. Tim di Baleg juga melakukan proses penyusunan dan ditargetkan naskah awal ini akan dipresentasikan pada masa sidang Agustus mendatang.
Ia memandang RUU PKS memiliki urgensi untuk segera disahkan karena tingginya angka kekerasan seksual pada perempuan, tetapi proses penanganannya sangat minim. Di sisi lain, kekerasan seksual juga belum memiliki payung hukum dan belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP hanya mengatur tentang pemerkosaan, perzinahan, dan aborsi.
Dalam penyusunan RUU PKS, DPR juga harus menyinkronisasikannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU No 16/2019 tentang Perkawinan. Sedangkan dari hasil tinjauan dan usulan ahli hukum, kekerasan seksual masuk ke tindak pidana khusus.
Selain itu, RUU PKS juga berkaitan dengan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU No 44/2008 tentang Pornografi seiring dengan meningkatnya kekerasan seksual di ranah digital. DPR pun tengah menyisir berbagai ketentuan yang saling berkaitan dalam UU tersebut untuk memperkuat proses penyusunan RUU PKS.
”Edukasi tentang literasi seksualitas menjadi sangat penting dan harus dibangun bersama. Sebab, kita melawan budaya feodalisme yang selama ini meletakkan seksualitas sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan, didiskusikan, dan diundangkan. Jadi, RUU PKS ini harus berpihak kepada korban,” katanya.
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Endah Triastuti menyatakan, terdapat kondisi kontraproduktif di masyarakat yang menyebabkan pengesahan RUU PKS berjalan lama. Dari hasil penelitiannya sejak 2016, kontraproduktif ini muncul dari media yang membingkai citra buruk RUU PKS hingga berujung pada gerakan penolakan.
Dalam hasil penelitian lainnya, media daring juga banyak memberitakan RUU PKS dengan sentimen negatif. Dari 2.490 berita tentang RUU PKS di media daring pada 2 Juli-20 Desember 2020, terdapat 1.601 artikel (64 persen) memuat sentimen negatif. Sementara 632 artikel (25 persen) memuat sentimen positif dan 257 artikel (11 persen) lainnya netral.
”Dengan segala proses sosial yang mengikuti, media dapat membentuk persepsi banyak orang. Jadi, dari penelitian kami, inilah yang menyebabkan terjadinya kontraproduktif terhadap pengesahan RUU PKS ini,” ungkapnya.
Masalah kemanusiaan
Nur Rofiah dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia mengatakan, dalam membuat suatu aturan, negara harus memahami persamaan sekaligus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mengetahui perbedaan ini menjadi hal yang penting dalam penanganan kekerasan seksual.
”Secara biologis, perempuan punya sistem biologis yang berbeda dengan laki-laki. Tanpa bermaksud menyepelekan dampak buruk kekerasan seksual pada laki-laki, dampak terhadap korban perempuan bisa lebih panjang dan seumur hidup. Karena sistem reproduksi juga bagian dari perempuan, maka ini juga menjadi masalah kemanusiaan dan tanggung jawab bersama,” ucapnya.
Oleh karena itu, Rofiah menegaskan, negara memiliki kewajiban untuk melindungi perempuan agar tidak mengalami kekerasan seksual. Sebab, kekerasan seksual memiliki potensi tinggi untuk menyebabkan bertambahnya rasa sakit dari pengalaman biologis perempuan, seperti hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
”Pengesahan RUU PKS merupakan bagian dari mandat negara untuk melakukan perlindungan dan mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini juga sekaligus mandat agama untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia, termasuk laki-laki dan perempuan,” tuturnya.