Perkuat Jaringan Advokasi untuk Dorong Pemerintah Kendalikan Pandemi
Sejumlah jejaring advokasi mendorong pemerintah lebih serius dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melonjaknya kasus Covid-19 yang merenggut ratusan nyawa setiap hari, membuat sejumlah pihak mempertanyakan tanggung jawab negara dalam menangani pandemi. Penguatan jejaring advokasi saat ini perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah melakukan upaya yang lebih optimal guna menjamin hak atas kesehatan masyarakat terpenuhi.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi menyampaikan, acuan hak atas kesehatan terutama pada era pandemi saat ini di antaranya Pasal 12 Kovenen Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Komentar Umum Nomor 14 tentang Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang dapat Dijangkau, Konstitusi Pasal 28 H Ayat 1, serta Undang-Undang No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dari sejumlah acuan atau ketentuan tersebut, negara bertanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, penanggulangan, dan kontrol terhadap penyakit. Acuan itu juga mewajibkan negara menjamin tersedianya pelayanan dan pemeriksaan kesehatan serta membagi informasi atau ide terkait masalah kesehatan.
Negara wajib memenuhi segala fasilitas pelayanan dan menjamin seluruh kesehatan masyarakat.
Namun, Palupi menilai tanggung jawab tersebut belum sepenuhnya dilakukan secara maksimal dan optimal. Upaya yang cukup intens dilakukan hanya dalam aspek membangun sistem perawatan kesehatan dan bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat.
”Pandemi ini mengungkap betapa pendekatan Indonesia dalam memenuhi hak atas kesehatan itu justru lebih ke arah kuratif daripada preventif. Ini membuat kita benar-benar kolaps ketika menghadapi situasi pandemi,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”HAM dan Pandemi Covid-19: Tanggung Jawab Negara, Pelanggaran, dan Konsekuensinya”, Jumat (16/7/2021).
Selain itu, Palupi juga menyoroti keputusan negara yang tidak meningkatkan keterlibatan masyarakat secara mendalam dalam hal penyediaan pelayanan pencegahan serta penanggulangan kesehatan. Ini ditunjukkan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tidak pernah diajak berdialog dengan pemerintah. Bahkan, masyarakat tidak pernah mengetahui arah kebijakan pemerintah termasuk alokasi anggaran.
Ia pun menyimpulkan, lonjakan kasus saat ini terjadi karena pemerintah mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengatasi pandemi. Indikasi pengabaian ini di antaranya, yaitu penyangkalan dan meremehkan ancaman pandemi, tidak adanya partisipasi masyarakat, terjadinya korupsi, hingga lemahnya kepemimpinan.
Menurut Palupi, upaya yang bisa dilakukan saat ini, yaitu memperkuat jejaring avokasi untuk mendorong pemerintah mengalokasikan sumber daya yang maksimal guna memenuhi hak atas kesehatan. Penguatan jejaring advokasi ini juga dapat mendorong kerja sama antarnegara dalam menghadapi kondisi darurat yang sulit dipenuhi pemerintah.
Bukan komoditas
Tim Ahli Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Eko Riyadi menyatakan, hak atas kesehatan merupakan salah satu bentuk HAM dan bukan komoditas. Oleh karena itu, negara wajib memenuhi segala fasilitas pelayanan dan menjamin seluruh kesehatan masyarakat.
”Hak atas kesehatan menjadi standar bagi pemerintah untuk meletakkan kebijakannya. Pemerintah dilarang mempermainkan kondisi kesehatan masyarakat untuk kepentingan ekonomi politik dan kelompok elite. Sebab, tujuan negara ini didirikan, yaitu untuk memastikan seluruh hak-hak kita terpenuhi,” katanya.
Menurut Eko, salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah saat ini, yaitu memastikan semua warga negara yang memenuhi persyaratan mendapatkan vaksin. Pemerintah dilarang memperjualbelikan jenis vaksin tertentu jika vaksinasi dasar bagi masyarakat belum merata dan terpenuhi.
Eko juga menekankan, pemerintah harus memenuhi layanan kesehatan primer masyarakat yang di dalamnya terdapat unsur pelembagaan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Jadi, turut sertanya masyarakat memperbincangkan isu kesehatan termasuk di media sosial merupakan bagian dari hak publik untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan.
Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan HAM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muktiono menambahkan, vaksinasi sebagai program penanganan pandemi harus diletakan sebagai HAM dan hal ini akan berkolerasi terhadap kewajiban negara. Ketika kewajiban ini tidak dipenuhi negara maka terjadi pelanggaran.
”Indonesia terikat secara hukum terhadap kovenan yang menempatkan vaksinasi sebagai sebuah hak asasi manusia. Kemudian dalam konteks vaksinasi berbayar, apakah prosesnya dilakukan secara diskriminasi atau tidak. Sementara di kovenan ditegaskan bahwa negara harus menjamin tidak adanya diskriminasi,” katanya.