Penerapan PPKM Darurat Masih Sarat Inkonsistensi
Inkonsistensi berimbas pada efektivitas PPKM darurat Covid-19. Apalagi dengan lemahnya pengawasan atas penerapan setiap aturan yang ada selama PPKM darurat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di Jawa dan Bali dinilai masih inkonsisten. Penegakan hukum terhadap pelanggar aturan PPKM darurat harus tegas.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, saat ini Ombudsman ikut mengawal pelaksanaan PPKM darurat. Sejauh ini, ia melihat pelaksanaan PPKM darurat belum berjalan efektif.
”Problem di lapangan itu inkonsistensi, pengawasan administrasi, dan penegakan hukum,” kata Robert saat dihubungi di Jakarta, Jumat (9/7/2021).
Ia menuturkan, inkonsistensi tersebut terlihat dari masih dibukanya bandara yang membuat orang asing bisa masuk. Akibatnya, masyarakat pun ikut mencontoh inkonsistensi yang dilakukan pemerintah dengan tidak mengikuti aturan PPKM darurat.
Baca juga : Sulitnya Menaklukkan Gelombang Kedua Covid-19
Menurut Robert, inkonsistensi ini membuat efektivitas PPKM darurat menjadi rendah atau sedang. Apalagi, ditambah pengawasan yang masih kurang seperti di perkantoran atau pusat kegiatan ekonomi. Mereka masih bekerja di kantor dan tidak menaati protokol kesehatan.
Robert menegaskan, inspeksi mendadak yang dilakukan kepala daerah hanya memberikan terapi kejut. Seharusnya ada tenaga pengawas dari dinas terkait yang mengawasi proses berjalannya PPKM darurat tersebut.
Selain itu, dukungan bantuan dari pemerintah kepada masyarakat dan perusahaan juga kurang. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurut Robert, pemerintah harus memberikan bantuan sosial kepada warga dan subsidi untuk perusahaan yang terdampak. Sebab, jika tidak ada kompensasi, mereka tetap akan bekerja.
Intensifkan sosialisasi
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, sosialisasi pemberlakuan PPKM darurat perlu dilakukan secara persuasif hingga koersif. Secara persuasif, upaya itu diterapkan melalui komunikasi dengan publik dan pemangku kepentingan yang terdampak. Bagi yang berada pada sektor esensial dan kritikal, mereka perlu memiliki pemahaman tentang mekanisme pengaturan bekerja dari rumah dan kantor sesuai Instruksi Mendagri Nomor 18 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.
Adapun secara koersif dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum bagi pelanggar kebijakan PPKM darurat. Upaya ini dilakukan melalui kerja sama dengan aparat penegak hukum, TNI/Polri maupun, kejaksaan untuk memberi sanksi terhadap pelanggar kebijakan PPKM darurat. Apalagi, hal ini diperkuat dengan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah yang memuat sanksi dan norma bagi pelanggar protokol kesehatan.
Tito berharap, bantuan sosial dari Kementerian Sosial dan Dinas Sosial dapat disalurkan kepada yang terdampak. Begitu juga dengan dana desa, salah satunya untuk kepentingan bantuan sosial.
Realisasi anggaran
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 30 Juni 2021, total anggaran bantuan sosial (bansos) di daerah yang melaksanakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat mencapai Rp 10,6 triliun. Namun, realisasinya baru Rp 2,83 triliun atau 26,60 persen.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto saat dihubungi mengatakan, realisasi anggaran bansos sudah bergerak lebih cepat. Namun, data terbaru akan diperbarui pada Minggu (11/7/2021).
Ia mengungkapkan, ada beberapa daerah yang saat ini tidak menganggarkan bansos, tetapi memiliki anggaran belanja tidak terduga (BTT) yang cukup besar. Alasannya, daerah-daerah tersebut beranggapan kasus Covid-19 akan melandai di 2021 sehingga prioritas penanganan Covid-19 diarahkan untuk kesehatan dan dampak ekonomi.
”Rupanya, di Juni, second wave (kasus Covid-19) terjadi di Indonesia. Namun, daerah-daerah yang tidak ada anggaran bansosnya, mereka juga prepare ada di BTT,” ucap Ardian.
Menurut Ardian, daerah-daerah tersebut pasti akan melakukan pergeseran terhadap alokasi anggaran BTT ke anggaran bansos. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, pihaknya telah mengundang seluruh sekretaris daerah, kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), kepala Dinas Sosial, serta kepala Dinas Kesehatan, terkait penganggaran bansos ini.
”Kami berharap peran aktif dari pemda secara khusus Dinsos untuk bisa melakukan pemetaan di lapangan, ada atau tidak masyarakat yang terdampak dan dia punya risiko sosial, mungkin karena jam operasional kantor dikurangi atau mungkin berhenti bekerja sama sekali, mereka, kan, perlu mendapat atensi. Tujuannya, jangan sampai ada masyarakat yang terkena risiko sosial dengan diterapkannya PPKM darurat,” kata Ardian.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman mengatakan, penyerapan anggaran yang tak optimal menjadi problem klasik, apalagi di masa pandemi seperti saat ini.
Ia menjelaskan, pemerintah pusat selalu menekankan pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan setiap tahun. Namun, pada praktiknya, pemerintah daerah merencanakan atau mengalokasikan anggaran tidak berdasarkan paradigma itu. Mereka menggunakan anggarannya berdasarkan fungsi. Alhasil, fokus pemerintah daerah menjadi terpecah.
Tidak optimalnya penerapan paradigma tersebut juga tergambar pada perencanaan dan penganggaran yang tidak fokus. Mereka seharusnya selesai proses tersebut pada Desember, tetapi sering mundur ke Januari atau Februari. Proses pembahasan yang terlambat berpengaruh terhadap daya serap anggaran, termasuk untuk penanganan pandemi Covid-19 di triwulan pertama.
Baca juga : Uji Klinik Vaksin Covid-19 GX-19N di Indonesia Segera Dimulai
Daya serap yang terlambat tersebut terjadi, juga karena ada persoalan di pengadaan barang dan jasa seperti ada proses lelang dan pembahasan yang terlambat. Untuk mengatasi persoalan ini, Kemendagri dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengeluarkan surat edaran terkait percepatan pengadaan barang dan jasa dalam konteks pandemi Covid-19.
Herman menegaskan, penyerapan anggaran itu bisa dioptimalkan, jika ada basis data atau manajemen yang sistematis. Alhasil, sasaran alokasi untuk penanganan pandemi Covid-19 atau terkait pemulihan ekonomi dapat cepat, tepat sasaran, dan terstruktur.
Selain itu, ia berharap, pemerintah pusat memberikan penghargaan dan hukuman terhadap kepala daerah dalam penggunaan anggaran. Daerah yang mempunyai serapan anggaran yang bagus diberikan insentif khusus. Hal tersebut bertujuan agar pemerintah daerah menyerap anggaran dengan cepat.