Belajarlah dari Kegagalan dan Keberhasilan India
India memang gagal mencegah tsunami Covid-19. Namun, mereka sukses menurunkan lonjakan kasus dalam waktu relatif cepat sehingga bisa mencegah kematian lebih banyak lagi. Ini bisa jadi pelajaran bagi Indonesia.

Suasana ruang IGD tambahan berupa tenda darurat di halaman RSUD dr Chasbullah Abdulmajid, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (26/6/2021). Pemkot Bekasi mendirikan tenda berkapasitas 30 tempat tidur sebagai ruang IGD karena keterisian tempat tidur pasien rumah sakit penuh akibat melonjaknya kasus Covid-19.
Dengan keterbatasan tes, jumlah kasus harian dan tingkat kematian yang terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia dipastikan tidak akan setinggi India. Namun, kolapsnya rumah sakit di Jawa saat ini tak akan bisa menutupi fakta bahwa situasi bisa seburuk India, bahkan bisa lebih buruk kalau kita tak segera melakukan upaya serius menghentikan penularan.
Varian Delta, salah satu turunan SARS-CoV-2 yang paling menular ini, pernah meluluhlantakkan India, dengan penambahan lebih dari 400.000 kasus dan kematian 4.800 orang per hari pada bulan Mei 2021. Tingginya angka kasus Covid-19 yang ditemukan di India saat itu karena jumlah tes yang dilakukan sangat masif.
”Saat puncak kasus pada bulan Mei 2021, India bisa melakukan tes sampai 2 juta per hari,” kata Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang juga Direktur WHO Asia Tenggara 2018-2020.
Lonjakan kasus dan kematian di Indonesia saat ini baru awal dari gelombang tsunami Covid-19 yang dibawa varian Delta.
Menurut Tjandra, kemampuan tes masif ini merupakan salah satu kunci India menghindari petaka yang lebih dahsyat lagi. ”Kita tahu bahwa kasus di India pernah melonjak tajam dan menimbulkan banyak kematian, tetapi mereka juga berhasil dengan amat cepat menurunkan kasusnya,” katanya.

Pasien mengalami kesulitan bernapas sebelum mendapat bantuan oksigen di Ghaziabad, India, Minggu (2/5/2021).
Kasus Covid-19 harian di India pernah naik 40 kali lipat dari 9.121 orang pada 15 Februari 2021 menjadi tertinggi 414.188 kasus sehari pada 6 Mei 2021. India lalu melakukan berbagai upaya sehingga angka kasus baru terus turun dengan tajam. Data 27 Juni 2021 menunjukkan 46.643 kasus baru dalam sehari atau turun delapan kali lipat dalam waktu sebulan.
Selain tes dan lacak yang masif, menurut Tjandra, India juga menerapkan pembatasan sosial sangat ketat di beberapa negara bagian. Pembatasan ini dilakukan dengan berbagai tingkat. Ada yang sangat ketat menjalankan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) atau di India disebut dengan 3W (wear a mask, wash your hand, watch the distance).
Ada yang membatasi kegiatan dengan pemberlakuan jam malam dan ada juga yang lockdown sebagian, bahkan ada pula yang total penuh sampai beberapa waktu. New Delhi, misalnya, mulai menerapkan lockdown total pada 17 April 2021. Ketika kasus mulai terkendali, pada 31 Mei 2021 mulai dilakukan pelonggaran bertahap.
Baca juga : Jangan Lengah, Indonesia Bisa Separah India
Menurut Tjandra, hal lain yang juga amat ditingkatkan di India saat ledakan kasus adalah vaksinasi. Begitu kasus meningkat, India melakukan vaksinasi secara besar-besaran dengan jumlah meningkat tajam hampir 15 kali lipat dalam empat bulan. ”Sehari bisa sampai 8 juta orang yang divaksin,” katanya.

Estimasi kebutuhan tempat tidur jika kasus Covid-19 di Indonesia memuncak. Sumber: Dicky Budiman (Griffith University, 2021)
Prakondisi India lebih baik
Sebelum ledakan wabah pada bulan Mei, India sebenarnya sudah hampir berhasil mengendalikan pandemi. Keberhasilan itu di antaranya melalui tes masif, hingga sejuta orang diperiksa dalam sehari. Mereka juga mengerahkan sukarelawan lacak hingga ke rumah-rumah warga.
”Jangan lupa, India juga melakukan serangkaian lockdown (karantina) dan cukup tegas. Sewaktu lockdown pertama itu saya masih tinggal di sana dan melihat mereka sangat tegas,” kata Tjandra.
Dengan upaya itu, pada awal Maret 2021 mereka berhasil menurunkan kasus hingga 12.000 per hari, padahal pada September 2020 kasus harian mencapai 96.000 per hari. ”Kita sudah tahu, kesalahan terbesar India adalah terlalu cepat berpuas diri,” katanya.
Baca juga : Sejarah Bisa Berulang, Tsunami Covid-19 India Rentan Terjadi di Indonesia
Setelah terjadi penurunan itu, mereka membuka kembali bisnis, menyelenggarakan pemilihan umum, dan mengizinkan ritual yang melibatkan jutaan orang dengan mengabaikan protokol kesehatan. India juga menurunkan tes menjadi 700.000 dalam sehari. Padahal, vaksin mereka masih sangat terbatas saat itu dan pada saat yang sama muncul varian Delta atau B.1.617 yang jauh lebih menular.

Peserta vaksinasi menerima suntikan vaksin Covid-19 di Denpasar. Polda Bali menggelar vaksinasi massal bertajuk ”Serbuan Vaksinasi Nasional TNI-Polri, Sehari Satu Juta Orang” secera serentak di Bali, Sabtu (26/6/2021), dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara Ke-75.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengingatkan, penanganan di Indonesia sebenarnya lebih lemah jika dibandingkan di India sebelum terjadinya ledakan kasus. ”Yang sama mungkin perilaku masyarakat dan elitenya, yaitu sama-sama abai,” katanya.
Dari sisi tes dan lacak, menurut Dicky, India jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. ”Mereka bahkan pernah mencapai positivity rate sekitar 5 persen, bahkan di New Delhi bisa di bawah 5 persen. Pada saat itu, tes di India bisa mencapai 1 juta per hari. Artinya, prakondisi mereka lebih baik dibandingkan Indonesia,” katanya.
Indonesia sejauh ini belum pernah mencapai positivity rate di bawah 5 persen. Bahkan, positivity rate dengan polimerase rantai ganda (PCR) secara nasional pada Senin (28/6/2021) mencapai 42,25 persen. Sementara jika ditotal dengan antigen sebesar 25,7 persen.
Penambahan fasilitas kesehatan tanpa ada upaya serius menekan mobilitas penduduk di hulu ibarat menampung air bah dengan ember.
Selain menandakan tingginya tingkat penularan di komunitas, positivity rate ini juga menunjukkan kurangnya tes dan lacak kita. Kalau mau meniru India, dengan jumlah penduduk mereka yang empat kali lipat Indonesia, Indonesia saat ini minimal harus melakukan 500.000 tes, masih sangat jauh dari kapasitas tes kita saat ini yang dengan PCR hanya 48.000 per hari dan jika ditambah dengan antigen sekitar 80.000 per hari.

Estimasi kasus Covid-19 di Indonesia dengan tiga skenario pembatasan. Sumber: Dicky Budiman, Griffith University (2021)
Skenario terburuk
Kecerobohan pengambil kebijakan dan kelalaian masyarakat ini seperti kita ketahui telah menyebabkan tragedi di India. Fasilitas kesehatan mereka kolaps sehingga menyebabkan orang-orang yang butuh pertolongan segera meninggal di rumah dan jalan. Bahkan, di puncak wabah, tempat pembakaran mayat pun kewalahan.
Kini, kolapsnya rumah sakit juga telah terjadi di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. LaporCovid-19 menyebutkan, selama 24-27 Juni telah menerima laporan sembilan pasien Covid-19 yang meninggal karena tak mendapatkan fasilitas kesehatan.

Jenazah antre menunggu untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (26/6/2021). Pada hari itu hingga pukul 11.00, sebanyak lima jenazah Covid-19 dimakamkan di TPU tersebut.
Jumlah korban ini bisa dipastikan sebagai fenomena gunung es jika melihat laporan berbagai media, dan terutama di media sosial, mengenai sulitnya mencari fasilitas kesehatan. Bahkan, berulang kali muncul permintaan bantuan menguburkan anggota keluarganya yang meninggal di rumah.
Dalam wawancara dengan Kompas pekan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin masih percaya diri bahwa jumlah tempat tidur, ketersediaan obat, sumber daya manusia, alat pelindung diri, serta oksigen masih memadai. Dari 82.000 tempat tidur yang tersedia secara nasional, 57.000 tempat tidur sudah terisi. ”Masih ada cadangan tempat tidur yang belum terpakai,” katanya.
Penambahan tempat tidur terus dilakukan, terutama di daerah dengan tingkat keterisian tinggi, seperti DKI Jakarta. Sejumlah rumah sakit pun dikonsentrasikan untuk menangani pasien Covid-19.
Baca juga : Penularan Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Pertimbangkan Opsi Karantina Wilayah
”Khusus DKI Jakarta akan ada dua rumah sakit yang digunakan penuh menangani pasien Covid-19, yaitu RS Persahabatan dan RS Sulianti Saroso. Strategi serupa bisa dilakukan di daerah lain,” katanya.
Namun, di tengah tingginya laju penularan Covid-19 seperti saat ini, penambahan fasilitas kesehatan tanpa ada upaya serius menekan mobilitas penduduk di hulu ibarat menampung air bah dengan ember. Apalagi, sumber daya tenaga kesehatan kita sangat terbatas dan terus berguguran.
Dicky Budiman mengingatkan, lonjakan kasus dan kematian di Indonesia saat ini baru awal dari gelombang tsunami Covid-19 yang dibawa varian Delta. ”Dengan penanganan saat ini dan mobilitas masyarakat masih tinggi, kita akan mengalami skenario terburuk, yaitu lonjakan kasus berkepanjangan,” ujarnya.

Estimasi kematian akibat Covid-19 di Indonesia dengan tiga skenario pembatasan. Sumber: Dicky Budiman, Griffith University (2021)
Menurut perhitungan Dicky, jika dilakukan pembatasan dengan ketat, lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia akan mulai menurun pada akhir Juli. ”Kalau respons yang dipilih masih pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) seperti sekarang ini, dengan tes dan lacak sekecil saat ini, kita akan mengalami puncak pada akhir Juli, tetapi periode puncak ini bisa sampai dua mingguan dan baru melandai pertengahan hingga akhir Agustus,” katanya.
Saat mencapai puncak, penambahan kasus bisa mencapai 400.000 hingga sejuta per hari dan kematian tertinggi bisa mencapai 5.500 orang per hari. ”Mungkin angka kasus ini tidak akan tercatat dalam laporan resmi karena tes kita terbatas. Tetapi, tingkat penularan di komunitas akan sebesar itu dan ini bisa terlihat dari tingginya kematian di luar rumah sakit,” tuturnya.
Tercatat atau tidak, korban jiwa akan sangat besar, dan itu sebenarnya sudah terjadi. Hampir setiap saat kita mendengar kabar orang yang meninggal dunia, dan kabar itu semakin mendekati lingkaran hidup kita.