Agar dapat lebih berdaya guna mengatasi ketimpangan dan mengurangi kemiskinan, kedermawanan sosial perlu difasilitasi dengan tata kelola dan pendampingan yang optimal.
Oleh
Iqbal Basyari/Agnes Theodora/Sonya Helen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tata kelola dalam pengumpulan uang
dan barang hasil donasi perlu terus diperbaiki demi peningkatan daya ungkit dari kedermawanan sosial masyarakat. Prinsip transparansi, konsistensi, kepastian alokasi, kompetensi, dan akuntabilitas mesti dikedepankan.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, Senin (17/5/2021), di Jakarta, mengatakan, upaya perbaikan tata kelola tersebut terus dijalankan oleh pemerintah. Tata kelola yang baik tersebut penting guna menjamin potensi kedermawanan sosial bisa disalurkan demi kebaikan bersama. Ia mendorong publik menyalurkan bantuannya kepada lembaga resmi dan tepercaya.
”Kalau lembaganya tidak bisa dipercaya, masyarakat jadi enggan membantu. Sebab, masyarakat sebagai pemberi bantuan butuh pertanggungjawaban yang jelas dari lembaga amal. Begitu pula program-programnya harus jelas,” katanya.
Risma mengakui, kedermawanan telah menjadi bagian dari karakter bangsa. ”Seperti saat pandemi ini, banyak dari kita membantu orang lain dikarenakan prinsip putaran kehidupan, yakni keyakinan akan cobaan yang juga dapat menimpa diri kita juga. Selama kita mampu, akan membantu sesama,” katanya.
Bahkan, jika kedermawanan mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, hal itu bisa mendorong lahirnya dermawan-dermawan baru yang berasal dari kelompok masyarakat yang sebelumnya dibantu. Dengan demikian, kedermawanan akan memiliki efek berganda (multiplier effect) bagi bangsa untuk bersama-sama bangkit dari pandemi.
”Jika kita semua mau bangkit untuk berbagi, menolong, dan saling menopang secara kolaboratif, tidak hanya sekadar mengurangi beban berbangsa dan bernegara, tetapi juga dapat menjadi solusi untuk menangani permasalahan sosial lebih fleksibel dan makin cepat,” ucapnya.
Pelatihan kerja
Selama masa pandemi, Risma mengatakan, selain membantu masyarakat miskin dalam bentuk bantuan sosial, Kementerian Sosial juga memberikan pelatihan kerja agar kelak bisa mandiri. Misalnya, mengirim pemulung ke Balai Karya Pangudi Luhur Bekasi dan membekali mereka agar bisa mendapat akses pekerjaan yang lebih baik.
Pada awal Januari 2021, Kemensos meluncurkan Program Kewirausahaan Sosial (Prokus) untuk mewujudkan kemandirian ekonomi di keluarga agar penerima manfaat dalam Program Keluarga Harapan (PKH) merintis usaha dan mandiri secara ekonomi.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Imam B Prasodjo, berpendapat, selama donasi hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, dampak terhadap kesejahteraan sulit tercapai. Oleh sebab itu, donasi dari para donatur ataupun yang dikelola oleh lembaga amal perlu dilanjutkan dengan pendampingan agar melahirkan wirausaha sosial.
”Ibaratnya tidak cukup hanya memberi ikan, kail, atau kolam, perlu pendampingan hingga terbentuk unit usaha sekaligus bentuk-bentuk pemasarannya,” katanya.
Sementara itu, agar lebih tepat guna dan tidak salah sasaran, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal mendorong masyarakat dan perusahaan yang ingin menyalurkan bantuan agar melakukannya melalui lembaga-lembaga amal yang rekam jejaknya baik dan kredibel.
Belum optimal
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton Supit mengatakan, keterlibatan dunia usaha dan konglomerat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lewat aksi filantropi yang berdampak sosial perlu terus dioptimalkan. ”Ada pengusaha yang sudah memberi dengan jujur dan tulus, tetapi mungkin belum banyak, dan masih ada yang hanya berorientasi ekonomi,” katanya.
Dorongan untuk menyelesaikan persoalan sosial dapat dilakukan dunia usaha melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). CSR idealnya digarap dengan serius demi memperbaiki kondisi masyarakat dan tidak semata-mata untuk menunaikan kewajiban perusahaan.