Kedermawanan sosial menjadi modal Indonesia untuk bangkit dari pandemi. Penerapan spirit ini di dalam kebijakan publik pun diharapkan mampu mengatasi ketimpangan.
Oleh
fai/sya/age
·4 menit baca
Jakarta, Kompas-Indonesia memiliki modal kedermawanan sosial untuk bangkit dari pandemi. Kedermawanan yang mewujud pada kesediaan untuk berbagi, menolong, dan saling menopang secara kolaboratif menjadi kekuatan besar bagi warga bangsa untuk bersama-sama bangkit dari pandemi Covid-19.
Indeks Kedermawanan Dunia (World Giving Index) edisi ke-10 yang diluncurkan pada 2020, dan merupakan edisi ulang tahun satu dekade Charities Aid Foundation (CAF) melakukan riset kedermawanan sosial, menunjukkan besarnya potensi kedermawanan sosial Indonesia. RI berada di posisi ke-10 negara paling dermawan di dunia.
Spirit kedermawanan ini diharapkan bisa dikapitalisasi untuk menopang perbaikan ekonomi yang terdampak oleh pandemi. Di sisi lain, spirit berbagi juga bisa mengurangi ketimpangan ekonomi yang tajam sebagai dampak dari pandemi.
Kurangi ketimpangan
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, Minggu (16/5/2021), mengatakan, jika dikelola dengan baik, kedermawanan itu sesungguhnya bisa mengatasi ketimpangan sosial di masyarakat mengingat potensi dana dari individu ataupun perusahaan cukup tinggi. Sayangnya, kedermawanan itu belum dikelola dengan baik.
Bantuan dari para donatur cenderung hanya digunakan untuk bertahan hidup dalam waktu singkat. Akibatnya, perekonomian masyarakat tidak terangkat meskipun telah mendapatkan bantuan.
”Persoalannya tak hanya sekadar memberikan uang, tetapi harus ada pembinaan dan pendampingan terhadap masyarakat agar dampak yang dirasakan publik bisa berkelanjutan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sebaiknya para donatur tak hanya memberikan bantuan dalam bentuk uang atau pelatihan. Bantuan bisa didistribusikan melalui tokoh-tokoh yang memiliki kreativitas dan mampu mendorong terciptanya kewirausahaan sosial, sekaligus menjadi motivator bagi masyarakat. Dengan begitu, dampaknya bisa dirasakan jangka panjang.
Kewirausahaan sosial
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Esther Sri Astuti, berpendapat, saat pandemi, di tengah krisis kesehatan dan resesi ekonomi yang memperparah ketimpangan sosial, tren kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) terus menjamur. Tren kewirausahaan sosial ini juga ditopang dengan bergesernya tren perilaku masyarakat dalam berbelanja.
Survei Inventure Consulting pada Maret 2021 menyoroti bangkitnya kesadaran berbelanja yang lebih bijak, salah satunya lewat belanja produk lokal. Tren ini didorong dua faktor. Pertama, harga produk asing yang lebih mahal akibat disrupsi perdagangan global. Kedua, empati dan sentimen tolong-menolong antarkomunitas, yang terbukti bangkit selama pandemi.
Kewirausahaan sosial itu, misalnya, ditunjukkan oleh sekelompok anak muda yang memberdayakan petani kopi Indonesia lewat Belift Dogiyai. Mereka menyerap dan menjual kopi petani asal Dogiyai, Papua. Para petani dibekali dengan akses pasar, sumber daya finansial, dan pengetahuan tentang proses pascapanen. Hasil penjualan kemudian dikembalikan lagi kepada para petani.
Ada pula perusahaan rintisan di sektor pertanian dan perikanan yang bertujuan memberdayakan petani dan nelayan dalam negeri dalam menjual hasil panen dan tangkapnya, baik melalui pembiayaan modal kerja, akses pasar, maupun edukasi dan pendampingan. Misalnya, Tani Hub, Aruna, dan Kedai Sayur. Esther mengatakan, percepatan digitalisasi pada era pandemi juga mendorong maraknya usaha berbasis sosial.
”Dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, social entrepreneurship menjadi lebih hidup karena mampu menjangkau lebih banyak orang. Ini juga didorong oleh perilaku konsumen yang sudah bergeser dari offline ke online serta lebih bijak dan peka sosial dalam berbelanja,” katanya.
Momentum berbagi
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, ada momen tertentu yang dijadikan arena untuk merealisasikan semangat memberi. Ini merupakan naluri manusia dan bersifat instingtif. Secara sosial, fenomena ini terlembaga dalam berbagai event, seperti memberi kado di acara ulang tahun dan berbagi uang di Ramadhan dan Lebaran.
”Selain merekatkan secara sosial, secara personal juga memberikan kepuasan kepada pemberi. Ada semacam hati yang terisi karena telah berbuat baik,” ujarnya.
Kendati demikian, gejala umum kedermawanan di Indonesia masih aksidental atau belum berkelanjutan. Seharusnya, kebajikan masyarakat, menurut Imam, harus bertransformasi ke arah yang lebih fundamental sehingga bisa memberikan perubahan secara struktural.
Kultur masyarakat
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, kedermawanan merupakan modal besar untuk bangkit dari pandemi. Selain didorong religiositas, keinginan untuk berbagi juga sudah menjadi kultur masyarakat. Gotong royong dan saling membantu sudah tertanam kokoh di masyarakat. Intensitasnya pun menguat tatkala Indonesia dihantam pandemi Covid-19 sekaligus bencana alam.
Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini, semangat berbagi kian meningkat saat Ramadhan dan Lebaran karena pada kedua momentum itu, Muslim dianjurkan lebih memperbanyak ibadah dan sedekah. Ketakwaan sudah semestinya berkorelasi dengan peningkatan kualitas hubungan sosial.
Potensi kedermawanan sosial ini pun disadari pemerintah. Pemerintah, antara lain, telah meluncurkan Program Wakaf Uang Nasional, akhir Januari 2021, dan Gerakan Cinta Zakat, April 2021. Kedua program itu diharapkan bisa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.
Namun, menurut Agus Pambagio, pemerintah tidak cukup dengan membuat program, tetapi harus pula memastikan kedermawanan sosial itu dapat terfasilitasi dengan baik. Misalnya, ketika ada inisiatif kewirusahaan sosial, hal itu harus didukung.
”Pemerintah harus mengajak tokoh-tokoh itu dan memudahkan proses perizinan jika mereka ingin membuat usaha,” katanya.