Begini Tips Berzakat di Era Digital
Potensi zakat yang besar belum terkelola dengan baik di era digital. Penggunaan zakat digital diharapkan bisa memaksimalkan potensi zakat masyarakat dengan pemanfaatan teknologi digital.
Pengelolaan zakat yang masih konvensional membuat potensi zakat yang besar belum tergarap. Padahal, jika dikelola lebih modern sesuai prinsip filantropi dengan tetap memperhatikan kaidah agama, zakat bisa digunakan sebagai pengungkit kesejahteraan umat. Karena itu, adaptasi pemberi, pengelola, dan penerima zakat dengan teknologi dan sistem modern perlu dipercepat.
Studi Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional (Puskas Baznas) menunjukkan potensi zakat di Indonesia pada 2019 mencapai Rp 233,8 triliun. Dari jumlah tersebut, dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang berhasil dihimpun organisasi pengelola zakat mencapai Rp 10 triliun-Rp 12 triliun atau 4,2-5,2 persennya saja.
Kecilnya dana ZIS yang dihimpun bukan berarti umat Islam Indonesia enggan berzakat. Berbeda dengan infak dan sedekah yang bersifat sukarela, zakat adalah kewajiban agama untuk mensucikan badan (zakat fitrah) dan harta benda (zakat mal). Sifatnya yang wajib membuat animo masyarakat untuk berzakat tetap tinggi, bahkan di saat pandemi Covid-19 sekalipun.
Kedermawanan bangsa Indonesia itu juga diakui dunia hingga menempatkan Indonesia di peringkat pertama negara paling dermawan di dunia dalam World Giving Index 2018. Gotong royong, solidaritas, dan rasa senasib sepenanggungan itu pula yang menjadi kekuatan Indonesia dibandingkan negara-negara lain dalam menghadapi berbagai dampak pandemi.
”Besarnya kesenjangan antara potensi zakat yang ada dan ZIS yang berhasil dihimpun itu terjadi karena masyarakat lebih memilih menyalurkan zakatnya langsung ke penerima daripada melalui amil (pengelola zakat),” kata Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin, Jumat (7/5/2021).
Masyarakat masih memilih menyalurkan langsung zakatnya ke penerima (direct giving) karena bisa sekaligus bersilaturahmi, menumbuhkan empati, dan memastikan zakatnya tepat sasaran. Di sisi lain, kepercayaan pada lembaga amil masih rendah sehingga amil dituntut berinovasi, seperti melibatkan pembayar zakat (muzaki) dalam penyaluran zakat atau adanya laporan foto dan video atas penyaluran zakat yang dibayarkan muzaki.
Di sisi lain, amil masih banyak terjebak pada program penyantunan (charity) dalam penyaluran zakat. Padahal, cara itu sudah biasa dilakukan masyarakat. Mekanisme ini juga rentan menimbulkan ketergantungan, memicu tindak penipuan dari penerima, manfaatnya jangka pendek, serta tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan yang dialami penerima ZIS.
Agar pemanfaatan zakat menjadi lebih optimal dalam mengungkit kesejahteraan umat, zakat perlu dikelola secara modern. Lembaga amil dituntut bertransformasi menjadi organisasi filantropi modern yang akrab dengan teknologi serta memiliki analis sosial untuk merancang program-program pemberdayaan atau advokasi umat.
Selain itu, lanjut Hamid, perlu adanya terobosan fikih (hukum Islam) terhadap pemaknaan delapan golongan (asnaf) penerima zakat. ”Golongan penerima zakat ini jangan dimaknai sebagai individu atau orang, tetapi maknailah sebagai isu atau masalah,” katanya.
Di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat itu, ada fakir (hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hariannya), miskin (memiliki harta, tetapi tidak cukup untuk keperluan sehari-hari), dan gharimin (orang yang berutang untuk kebutuhan sehari-hari).
Jika fakir, miskin, atau gharimin itu dimaknai sebagai individu, program penyaluran zakat yang muncul akan berupa penyantunan lagi dan zakat yang diterima hanya bisa digunakan bertahan hidup beberapa hari. Namun, jika fakir, miskin, dan gharimin itu dimaknai sebagai isu, dana zakat yang terkumpul bisa dipakai untuk pelatihan dan pendidikan, pemberdayaan, bantuan modal, hingga advokasi mereka.
Digitalisasi
Modernisasi sistem zakat dan penguatan amil itu perlu dilakukan secepatnya karena karakter pembayar zakat mulai berubah. Sebanyak 2 dari 3 penduduk Indonesia saat ini adalah generasi milenial dan generasi Z. Seluruh generasi milenial dan sebagian generasi Z itu sudah masuk pasar kerja, artinya mereka berpenghasilan dan sudah mendapat kewajiban membayar zakat.
Namun, generasi milenial dan Z itu adalah digital native yang akrab dengan teknologi. Mereka sudah terbiasa melakukan transaksi apa pun melalui internet. Mereka juga generasi yang lugas, praktis, dan tidak menyukai hal-hal yang rumit atau bertele-tele. Situasi itu perlu diantisipasi dalam pembayaran, pengelolaan, maupun penyaluran zakat hingga memudahkan dan memenuhi harapan semua pihak.
”Perilaku pembayar zakat mulai bergeser. Mereka ingin kebiasaan pembayaran apa pun yang kini sudah menggunakan e-wallet juga bisa dipakai untuk membayar zakat. Ke depan, cara seperti ini akan makin banyak dipilih,” kata Ketua Umum Forum Zakat yang juga Direktur Komunikasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa Bambang Suherman.
Tantangan itu sebenarnya sudah banyak diantisipasi sejumlah lembaga pengelola zakat. Namun, kecepatan adaptasi di antara amil yang ada sangat beragam, terlebih amil tersebar dari tingkat kabupaten/kota sampai nasional. Sebagian amil sudah banyak melakukan terobosan, tetapi ada pula amil yang sulit berubah karena tentangan generasi senior tentang perlu tidaknya mengadopsi pola baru atau kendala investasi teknologi.
Proses penyesuaian pun tak mudah, khususnya amil yang berskala lokal atau di daerah. Kecepatan adaptasi teknologi di kalangan amil memang lebih rendah dibandingkan pesatnya penggunaan teknologi digital di masyarakat ataupun bisnis. Adopsi teknologi pun umumnya terfokus untuk pengumpulan zakat, komunikasi, atau penguatan brand amil.
”Kesadaran adopsi teknologi digital oleh amil umumnya masih sebatas untuk alat pembayaran zakat. Sementara migrasi sistem manajemen secara keseluruhan belum jadi kebutuhan,” katanya. Selain alat pengumpulan zakat, teknologi digital bisa dimanfaatkan guna optimalisasi sumber daya manusia amil atau menjaga relasi dengan muzaki yang kebutuhannya makin terasa akibat pembatasan mobilitas selama pandemi.
Dari aspek pengumpulan, pengelolaan, dan penyaluran zakat, aspek pengumpulan zakat dari muzaki paling cepat proses digitalisasinya. Bukan hanya amil yang mengembangkan platform pengumpulan zakat, beberapa e-dagang (e-commerce) juga mengumpulkan dana zakat masyarakat yang bekerja sama dengan amil.
Selama ini, dana zakat yang dikumpulkan e-dagang itu memang sudah disalurkan ke amil. Namun, data identitas pembayar zakat tidak ikut diserahkan ke amil. Kondisi itu tentu menjadi masalah secara kaidah agama karena zakat bukan donasi biasa karena ada aspek ibadah wajib dalam zakat. Untuk itu, amil harus tahu data pembayar zakat dan jumlah zakat yang diberikan.
”Persoalan ini masih berusaha dirapikan bersama Kementerian Agama,” kata Bambang. Ke depan, saat membayar zakat melalui e-dagang, muzaki diharapkan sudah memilih amil yang akan mengelola zakatnya. Jika belum memilih, proses pembayaran akan dibatalkan.
Jika digitalisasi penerimaan zakat berkembang cukup cepat, digitalisasi dalam aspek penyaluran zakat bertumbuh lebih lambat akibat sifat pasif penerima zakat (mustahik). Situasi itu jelas berbeda dalam pengumpulan zakat, yaitu muzaki yang aktif karena hal itu terkait kewajiban agama. Kondisi ini membuat zakat hanya bisa disalurkan kepada mustahik yang sudah terdaftar dalam basis data saja dan sulit menjangkau mustahik baru.
Digitalisasi mustahik itu, lanjut Bambang, pernah dilakukan Dompet Dhuafa pada 2018. Namun, akhirnya dihentikan karena banyak tantangan teknis, mulai dari mustahik tidak punya rekening, tidak memiliki telepon seluler, hingga tidak adanya sinyal telepon seluler, khususnya di daerah pelosok.
Karena itu, kini dikembangkan dual sistem penyaluran zakat, yaitu secara daring (online) dan luring (offline). Model ini diprediksi akan berkembang ke depan. Dalam model gabungan itu, data mustahik dikumpulkan secara langsung, memasukkan data mereka dalam basis data serta menyelaraskannya dengan data dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.
Lalu, zakat disalurkan bukan berbentuk barang atau uang, melainkan voucer yang bisa dibelanjakan ke warung atau toko yang sudah ditunjuk. Voucer ini memiliki batas waktu pencairan, khususnya jika zakat yang disalurkan terkait zakat fitrah.
Sementara itu, selain isu pengelolaan zakat secara modern dan berbasis digital, tantangan lain yang dihadapi amil adalah kepercayaan publik. Di masyarakat dan dunia maya, banyak amil mempromosikan lembaganya. Namun, sering kali lembaga itu kurang dikenal masyarakat. Belum lagi ada kekhawatiran ZIS yang dibayarkan ke lembaga tertentu justru dimanfaatkan untuk mendanai terorisme.
Menurut Hamid, sejumlah negara memiliki lembaga pemeringkat independen untuk menentukan lembaga filantropi terbaik yang bisa dijadikan pilihan masyarakat. Lembaga filantropi yang baik juga bisa mendapatkan insentif dari pemerintah, misalnya pengurangan Pajak Penghasilan, sehingga semua lembaga filantropi berlomba memperbaiki organisasi mereka.
Namun, organisasi semacam itu belum ada di Indonesia. ”Pernah ada lembaga pemerintah amil, tetapi tidak berkembang,” katanya. Kedekatan personal antara lembaga pemeringkat dan amil akibat masih terbatasnya orang yang berkecimpung dalam bidang ini membuat pemeringkatan sulit independen.
Situasi itu menuntut kehati-hatian muzaki. Cek dan ricek dalam memilih amil diperlukan, jangan hanya ingin mudahnya saja dan asal membayar zakat. Zakat adalah kewajiban agama yang memiliki kaidah tertentu saat menunaikannya. Kecermatan muzaki ini juga akan membantu percepatan modernisasi dan digitalisasi zakat di Indonesia, sekaligus membuat zakat yang dibayarkan lebih berdampak secara berkelanjutan guna membantu kesejahteraan umat.
Tips Berzakat di Era Digital
1. Pilih dan kenali lembaga amil zakat (LAZ) legal yang mendapat izin Kementerian Agama, dikenal luas publik, terafiliasi pada organisasi keagamaan yang jelas, dan punya platform digital. Cek izin LAZ skala nasional, provinsi atau kabupaten/kota di pid.baznas.go.id.
2. Pilih yang mekanisme pembayarannya mudah, tetapi dengan tetap memperhatikan kaidah agama, terutama soal kejelasan amil, bukan asal bayar zakat.
3. Pastikan keaslian aplikasi zakat daring berdasar tinjauan pengguna sebelumnya.
4. Cek rekam jejak LAZ, ada tidaknya laporan keuangan LAZ, dan transparansi yang memungkinkan muzaki menelusuri penyaluran zakatnya.
5. Rekening penghimpun zakat bukan rekening atas nama pribadi serta minta bukti pembayaran zakat.
Sumber: Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman/Astra Life/Baznas