Kelompok transpuan atau waria banyak yang terjebak dalam jurang kemiskinan. Mereka termasuk kelompok yang layak mendapatkan zakat.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Peminggiran, diskriminasi, dan ketiadaan pengakuan atas jati diri transpuan membuat mereka tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, banyak dari mereka terjebak kemiskinan.
”Diskriminasi pekerjaan membuat waria mengalami kemiskinan struktural,” kata pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah, Yogyakarta, Shinta Ratri, dalam diskusi daring ”Zakat untuk Transpuan Dhuafa”, Jumat (7/5/2021).
Situasi itu membuat transpuan hanya bisa bekerja dalam jenis pekerjaan yang tak memerlukan pendidikan dan modal, seperti menjadi pemulung, pengamen, dan pekerja seks.
Pekerjaan informal tanpa penghasilan pasti dan jaminan sosial yang jelas itu membuat banyak transpuan hidup dalam kemiskinan hingga saat mereka menua.
Selain itu, usia yang sudah tidak produktif dan ketiadaan pekerjaan saat mereka tua membuat banyak waria lansia bergantung pada belas kasihan komunitas mereka saja.
Transpuan yang fakir dan miskin sebenarnya layak mendapatkan zakat fitrah. Zakat yang merupakan filantropi atau kedermawanan Islam dan bersifat wajib sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membantu kehidupan transpuan.
Dari delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, transpuan sebenarnya bisa masuk dalam kelompok fakir (tidak memiliki harta untuk memenuhi kebutuhan pokok), miskin (memiliki harta, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup), dan gharimin (orang yang berutang untuk kebutuhan sehari-hari).
Meski secara ekonomi layak menerima zakat, identitas seksual mereka kerap membuat hal itu diperdebatkan.
Modal pemberdayaan
Di luar persoalan hak untuk menerima zakat, para transpuan sebenarnya juga berkeinginan menjadi pengelola zakat sendiri, setidaknya zakat yang berasal dari anggota komunitas transpuan lainnya.
Dari sekitar 38.000 transpuan di Indonesia, 30.000 orang merupakan transpuan Muslim yang setiap tahun diwajibkan membayar zakat fitrah (zakat diri). Sekitar seperempat dari transpuan Muslim itu juga diyakini mampu membayar zakat mal (harta benda).
”Itu adalah sumber pendanaan yang besar untuk membebaskan waria dari persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di komunitas waria,” kata pegiat Ponpes Waria Al-Fatah lainnya, Rully Mallay.
Selama ini, pemberdayaan transpuan banyak mengandalkan pendanaan dari luar negeri yang sulit dijamin keberlanjutannya.
Tidak membedakan
Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur, yang juga komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), KH Imam Nahe’i, mengatakan, pendapat banyak ulama untuk zakat fitrah atau zakat yang digunakan untuk menyucikan badan sesungguhnya diperuntukkan hanya bagi fakir dan miskin. Namun, sebagian ulama menilai, zakat yang waktu pemberiannya dibatasi hingga sebelum shalat Idul Fitri itu juga bisa diberikan kepada enam golongan lain selain fakir dan miskin atau sama seperti kelompok yang boleh menerima zakat mal.
”Al Quran menegaskan, siapa pun yang fakir dan miskin berhak menerima zakat fitrah, baik laki-laki maupun perempuan,” katanya.
Dengan dasar itu, transpuan yang fakir dan miskin sebenarnya layak mendapatkan zakat fitrah. Bahkan, lanjut Nahe’i, sebagian ulama membolehkan non-Muslim menjadi penerima zakat fitrah asalkan mereka fakir dan miskin.
Pemberian zakat fitrah ini juga tidak memandang ras serta identitas ataupun orientasi seksual seseorang. ”Dalam kaidah fikih (hukum Islam), prinsip pembagian zakat adalah mendahulukan yang lebih butuh dan yang lebih butuh,” tambahnya.
Karena itu, kelompok-kelompok rentan ataupun yang terpinggirkan di masyarakat perlu mendapatkan perhatian.
Untuk pembentukan amil (pengelola zakat) oleh transpuan, Nahe’i mengatakan, cara terbaik pemberian zakat fitrah ialah diberikan langsung oleh orang yang berzakat kepada penerima. Zakat fitrah diberikan dalam konteks lokal untuk membantu mengurangi kemiskinan di wilayah tertentu. Namun, jika tidak bisa memberikan langsung, boleh disalurkan melalui amil zakat di komunitasnya.
Sementara untuk zakat mal yang waktu pengumpulan dan penyalurannya bisa sepanjang tahun, keberadaan amil diperlukan. Jika aturan belum membolehkan transpuan menjadi amil, transpuan bisa mengumpulkan zakat dari komunitasnya dan menyerahkannya kepada yang berhak. Dalam posisi itu, transpuan bertindak sebagai wakil dari orang yang berzakat.
”Minimal ketika negara belum memperhatikan kelompok rentan, organisasi komunitas transpuan bisa mengumpulkan dan menyalurkan zakat untuk komunitas sendiri,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, komunitas bisa menjadi salah satu pengelola zakat selain Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ataupun lembaga amil zakat (LAZ). Bahkan, jauh sebelum Baznas dan LAZ berdiri, komunitaslah yang aktif menyalurkan zakat masyarakat.
Namun, keberadaan amil zakat diharapkan tidak sekadar mengumpulkan dan menyalurkan zakat seperti yang sudah dilakukan masyarakat selama ini, tetapi mengarah ke pendayagunaan zakat.
”Pemberian zakat fitrah secara langsung tidak masalah karena zakat itu dimaksudkan untuk membantu penerima manfaat secara langsung,” katanya.