Sejarah Panjang Sianida dan Sifat Racun yang Melekat
Sianida sebagai senyawa beracun telah digunakan sebagai alat pembunuh sejak masa Perang Dunia II. Namun, efek kematian akibat sianida juga bisa dicegah jika mengetahui serangkaian tindakan pertolongan pertama.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Sianida telah dikenal secara luas sebagai senyawa beracun sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, senyawa yang dapat berbentuk gas, cair, dan padat ini dalam kadar tertentu dapat menyebabkan kematian bagi siapa pun yang menghirup atau menelannya. Namun, efek kematian akibat sianida juga bisa dicegah jika mengetahui serangkaian tindakan pertolongan pertama saat terjadi keracunan.
Sejumlah catatan sejarah menunjukan, sianida telah digunakan sebagai alat pembunuhan massal, upaya bunuh diri, dan senjata kimia sejak masa Perang Dunia II tahun 1940-an. Saat itu, anggota Nazi menggunakan senyawa beracun ini untuk melakukan genosida terhadap musuh-musuhnya dalam sebuah kamar gas tertutup.
Puluhan tahun berselang, tepatnya pada 1978, sianida kembali digunakan sebagai alat untuk bunuh diri massal ratusan anggota sekte Peoples Temple di Guyana, Amerika Selatan. Melansir laman History, Jim Jones, pendiri sekte tersebut, memimpin ratusan pengikutnya untuk melakukan bunuh diri massal dengan cara menelan minuman yang dicampur potassium sianida. Korban tewas dalam bunuh diri tersebut tercatat sebanyak 909 orang.
Sementara dari laporan tahunan National Poison Data System dari American Association of Poison Control Centers, selama tahun 2007 terdapat 247 kasus paparan kimia sianida di Amerika Serikat. Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut relatif masih kecil karena masih banyak kematian yang sering tidak dilaporkan.
Kepopuleran sianida sebagai senyawa berbahaya kini banyak dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk meracuni orang lain, termasuk di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin lewat kopi sianida di Kafe Oliver, Jakarta, pada 2016 dan terbaru kasus paket takjil sate ayam beracun di Bantul, DI Yogyakarta.
Jadi, apa itu sianida dan bagaimana sifat senyawa beracun ini? Merujuk catatan di buku The Chemistry and Treatment of Cyanidation Waste karya ahli kimia Terry Mudder dan kawan-kawan, sianida adalah kelompok senyawa kimia dalam gugus siano. Sianida di alam dapat diklasifikasikan sebagai sianida bebas, sianida sederhana, kompleks sianida, dan senyawa turunan sianida.
Sianida terdiri dari tiga buah atom karbon yang berikatan dengan nitrogen dan dikombinasi dengan unsur-unsur lain, seperti kalium atau hidrogen. Senyawa ini ada dalam bentuk gas, cair, dan padat seperti garam. Sianida yang memiliki sifat racun yang sangat kuat serta bekerja dengan cepat ini dapat terbentuk secara alami ataupun dibuat oleh manusia.
Manifestasi klinis dari keracunan sianida sebagian besar merupakan gambaran dari hipoksia intraseluler atau kondisi rendahnya kadar oksigen di sel dan jaringan.
Beberapa contoh sianida yang kerap dijumpai adalah hidrogen sianida dengan rumus molekul HCN dan kalium sianida dengan rumus molekul KCN. Hidrogen sianida atau formonitril merupakan gas yang tidak berasa dan memiliki bau pahit seperti bau almond. Dalam bentuk cairan, dikenal dengan istilah asam prussit dan asam hidrosianik. Sianida jenis ini digunakan sebagai racun dalam kasus pembunuhan di Kafe Oliver.
Sementara kalium sianida berbentuk bubuk putih dengan bau yang menyerupai almond. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, jenis sianida ini diduga digunakan sebagai alat untuk meracuni dan membunuh dalam kasus paket takjil sate ayam di Bantul.
Racun sianida
Sianida bersifat sangat letal atau mematikan karena dapat berdifusi dengan cepat pada jaringan dan berikatan dengan organ target dalam beberapa detik. Sianida dapat berikatan dan menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk Ferri (Fe3+) dan kobalt.
Kajian Jillian Hamel dari Divisi Kardiologi University of Maryland Medical Center tentang tinjauan keracunan sianida akut yang terbit di jurnal National Library of Medicine, Februari 2011, menyatakan, manifestasi klinis dari keracunan sianida sebagian besar merupakan gambaran dari hipoksia intraseluler atau kondisi rendahnya kadar oksigen di sel dan jaringan. Tanda-tanda atau gejala hipoksia ini biasanya terjadi kurang dari 1 menit setelah menghirup dan dalam beberapa menit setelah mengonsumsi sianida.
Gejala hipoksia akibat keracunan sianida yang muncul antara lain timbul kecemasan, sakit kepala, dan pusing. Orang yang hipoksia akibat keracunan sianida kemungkinan tidak bisa memfokuskan mata dan terjadi midriasis atau pupil mata membesar. Hipoksia akibat sianida yang terus berlanjut akan berkembang menjadi penurunan tingkat kesadaran, kejang, hingga koma.
Badan Pencatatan Zat Beracun dan Penyakit AS (Agency for Toxic Substances and Disease Registry/ATSDR) mencatat, konsentrasi hidrogen sianida yang fatal bagi manusia jika dihirup selama 10 menit adalah 546 juta per bagian (ppm). Hal ini akan mengakibatkan gangguan sistem pernapasan, jantung, sistem pencernaan, dan sistem peredaran darah.
Selain itu, sistem saraf juga menjadi sasaran utama sianida. Paparan hidrogen sianida dalam jangka waktu yang lama dalam konsentrasi tinggi dapat menstimulasi sistem saraf pusat. Setelah itu, tubuh akan mengalami reaksi depresi, kejang-kejang, lumpuh, dan kematian.
Meski demikian, menurut catatan di artikel Keracunan Akut Sianida dari peneliti farmakologi dan farmasi Universitas Warmadewa, Bali, Putu Nita Cahyawati, yang terbit di Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Juni 2017, sampai saat ini belum ada standar baku untuk diagnosis keracunan sianida. Peneliti dan klinisi juga masih terus mencoba mencari teknik ataupun metode diagnosis yang tepat, cepat, dan spesifik untuk mendeteksi kasus keracunan sianida.
Akan tetapi, dalam artikel itu disebutkan juga beberapa metode yang bisa digunakan untuk diagnosis dan memberikan pertolongan pertama pada kasus keracunan sianida. Diagnosis yang cepat dan tepat sangat penting untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian meski tingkat risiko juga sangat dipengaruhi oleh dosis dan durasi paparan sianida.
Beberapa metode pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah melalui dekontaminasi atau menghilangkan paparan sianida dengan cara memindahkan pasien ke luar ruangan. Hal ini dilakukan agar pasien mendapatkan cukup oksigen. Upaya dekontaminasi lainnya adalah dengan mengganti semua pakaian yang terkontaminasi sianida dan mencuci bagian tubuh orang yang terpapar dengan air dan sabun.
Selain itu, teknik bantuan hidup dasar dan bantuan pertama pada penyakit jantung (basic life support/ BLS) juga dapat dilakukan sebagai metode pertolongan pertama. Upaya yang dilakukan dalam teknik BLS itu di antaranya memijat jantung pada kondisi syok, membebaskan jalan napas, dan memberikan napas buatan. Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang tidak dapat diubah akibat hipoksia karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.
Salah satu kunci keberhasilan terapi keracunan sianida lainnya ialah dengan menggunakan antidot sesegera mungkin ketika pasien telah ditangani tenaga medis di fasilitas pelayanan kesehatan. Pemilihan antidot yang akan digunakan membutuhkan pertimbangan klinis terkait dengan keuntungan, kontraindikasi, dan efek samping yang juga disesuaikan dengan kondisi klinis pasien.