Tidak Semua Laki-laki Aktor dalam Kekerasan Jender
Kekerasan jender dapat ditekan melalui keterlibatan kaum laki-laki. Paradigma laki-laki lahir dari seorang perempuan perlu terus dibangun.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak semua laki-laki menjadi pelaku dalam kekerasan jender. Saat ini, laki-laki justru bisa menjadi agen perubahan dalam upaya mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Tenaga Ahli Pemenuhan Hak Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta Margaretha Hanita mengatakan, salah satu upaya untuk menghapus kekerasan jender adalah berhenti menyalahkan laki-laki. Sebaliknya, laki-laki harus dilibatkan untuk memerangi kekerasan tersebut.
”Saya ingin mengajak semua laki-laki menjadi laki-laki baru, karena itu baru laki-laki,” katanya dalam webinar ”Laki-laki dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender” di Jakarta, Jumat (30/4/2021).
Paradigma paling mudah yang bisa dibangun untuk mendorong keterlibatan mereka adalah semua laki-laki lahir dari seorang perempuan. ”Terlalu jauh kalau laki-laki diminta memahami kesetaraan jender. Dari paradigma yang mudah itu, baru kita kenalkan paradigma lainnya,” ujar Margaretha.
Saat ini banyak komunitas perlindungan perempuan yang diinisiasi oleh bapak-bapak. Mereka ingin dikenal sebagai laki-laki sejati yang melindungi istri dan anak-anaknya. Menurut Margaretha, gerakan ini lahir dari paradigma sederhana tersebut bahwa mereka lahir dari seorang ibu.
Dari situ, banyak paradigma lain yang bisa dibangun. Misalnya, laki-laki adalah partner perempuan, melibatkan laki-laki bukan berarti merebut sumber daya, hingga mengenalkan kesetaraan jender pada anak laki-laki sejak dini.
”Yang paling penting paradigmanya, tidak semua laki-laki adalah pelaku kekerasan. Laki-laki justru bisa menjadi agen perubahan,” tambahnya.
Terlalu jauh kalau laki-laki diminta memahami kesetaraan gender. Dari paradigma yang mudah itu, baru kita kenalkan paradigma lainnya.
Menurut Margaretha, ada tujuh hal yang menjadi akar kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Tujuh hal ini merujuk pada hasil riset Michael Kaufman, Co-Founder White Ribbon, yang berkampanye untuk pelibatan laki-laki dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Akar kekerasan yang pertama adalah kentalnya budaya patriarki.
”Budaya ini dikenal dengan budaya bapak. Jadi, bapak dianggap dominan dalam keluarga,” katanya.
Konstruksi sosial juga membuat laki-laki seolah memiliki hak istimewa untuk melakukan banyak hal. Kondisi ini membuat ketidaksetaraan jender cenderung kian menguat. Secara tidak langsung, hal ini memicu akar kekerasan yang ketiga, yakni sikap permisif.
”Ada pemakluman kalau laki-laki melakukan kekerasan. Coba kalau ada teman kita melakukan kekerasan terhadap pasangannya, pasti semua diam,” ujar Margaretha.
Kekerasan yang dilakukan laki-laki rupanya menjadi representasi dari ketidakmampuannya. Banyak laki-laki merasa tidak percaya diri dan khawatir pasangannya direbut orang lain. Alhasil mereka melakukan kekerasan.
Saat ini banyak komunitas perlindungan perempuan yang diinisiasi oleh bapak-bapak. Mereka ingin dikenal sebagai laki-laki sejati yang melindungi istri dan anak-anaknya.
Akar kekerasan lainnya adalah pengalaman masa lalu. Biasanya, pelaku kekerasan memiliki pengalaman kekerasan masa kecil. Sementara tuntutan laki-laki untuk menjadi sosok yang maskulin juga menjadi akar kekerasan selanjutnya.
”Ada anggapan perempuan tidak bisa bekerja di ranah pekerjaan yang maskulin. Hal ini sebenarnya bisa ditepis jika perempuan memiliki kompetensi pendidikan yang mumpuni,” ujar Margaretha.
Mayoritas KDRT
Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, berdasarkan data dari UPT P2TP2A 2002-2014, sebanyak 70 persen korban kekerasan jender di Jakarta adalah perempuan, sementara 30 persen adalah anak-anak.
”Kekerasan ini kebanyakan adalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Artinya, kejadiannya di dalam keluarga. Pelaku tidak lain adalah pasangannya,” ujarnya.
Sementara sejak tahun 2015 hingga saat ini, komposisi korban kekerasan tersebut mulai berubah. Sebanyak 52-53 persen korbannya saat ini adalah anak-anak, sedangkan 47-48 persen adalah perempuan.
”Walaupun komposisinya berubah, mayoritas kekerasannya tetap KDRT,” tambah Tuty.
Menurut dosen Program Studi Bimbingan Konseling dan Ketua Gugus Penjaminan Mutu Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Hengki Satrianta, korban kekerasan jender berpotensi mengalami gangguan traumatik. Saat ini ada terapi baru yang bisa diterapkan untuk penderita trauma tersebut, yakni dengan Eye Moving Desensitization and Reprocessing (EMDR).
”Desensitisasi adalah upaya untuk menghadirkan kembali hal-hal yang pernah terjadi untuk direduksi,” katanya.
Sementara EMDR adalah terapi desensitisasi yang memanfaatkan pergerakan mata. Mengalihkan pandangan mata rupanya dapat menghilangkan materi traumatik. Materi traumatik tersebut bisa diganti dengan hal yang lebih positif.
”Jika kita memiliki masalah, coba alihkan pandangan ke arah vertikal dan horizontal sambil memikirkan hal lain. Setelah itu kembali ke pandangan semula sambil memikirkan masalah yang dihadapi. Kemungkinan masalah tersebut akan hilang,” ujarnya.
Meski masih baru, terapi EMDR telah digunakan untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan, misalnya untuk menurunkan gangguan kecemasan, mengentaskan depresi, dan mengatasi kecemasan pada korban penganiayaan.