Daniel Dhakidae mampu mengoptimalkan dan mengasah pemikirannya dalam lingkaran membaca, merenung, dan menulis.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
ARSIP PUSAT INFORMASI KOMPAS
Daniel Dhakidae
JAKARTA, KOMPAS — Pemikiran Daniel Dhakidae tetap hidup meskipun si empunya telah berpulang. Pemikiran-pemikirannya menjadi salah satu pedoman generasi muda untuk mengoptimalkan dan mengasah intelektualitas.
Daniel berpulang pada Selasa (6/4/2021) pukul 07.24 WIB di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta. Pemimpin majalah Prisma, serta pernah menjadi Kepala Litbang Kompas, ini mewariskan sumbangan luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Max Biaedae, keponakan Daniel, dalam diskusi tentang Relevansi Pemikiran Daniel Dhakidae untuk Intelektual Muda, Sabtu (17/4/2021), mengisahkan masa kecil pamannya yang tak lepas dari pengaruh kakeknya.
”Sifat kepemimpinan Daniel genetik karena dua kakeknya merupakan pemimpin lokal. Dia besar dalam pengaruh kepemimpinan dua orang itu karena mendapatkan cerita dan petuah,” kata Max.
Daniel, anak sulung, menjadi sosok paling disayang sekaligus diberikan perhatian khusus. Misalnya selalu mengonsumsi telur ayam kampung dan daging serta dijaga ketika bermain di hutan agar tidak diseruduk kerbau.
Max menuturkan, Daniel kecil gemar berbagi cerita tentang kebersamaannya dengan teman-teman di kampung halaman. Kebiasaan inilah yang kelak berpengaruh pada kemampuannya.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Daniel Dhakidae, peneliti, akademisi, dan mantan Kepala Litbang Kompas.
Di sisi lain, Daniel mempunyai kemampuan belajar bahasa daerah yang cepat. Tak heran seiring pendidikan dan pekerjaan, beberapa bahasa dikuasainnya seperti bahasa Latin, Inggris, dan Jerman.
Abraham Rungamali, jurnalis sekaligus Koordinator Indonesia Finansial Watch, mulai mengenal pemikiran Daniel setelah mengenyam bangku sekolah menengah atas.
Kala itu, nama Daniel sering disebut oleh guru mata pelajaran Sejarah dan tercantum dalam majalah Prisma, majalah akademik yang diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak 1971.
Selama berkarier di majalah Prisma, Daniel tak hanya berkiprah sebagai redaktur. Ia juga menjadi Ketua Dewan Redaksi Prisma (1979-1984) dan hingga kini masih tercatat sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Prisma. Ia juga pernah menjadi Wakil Direktur LP3ES pada kurun waktu 1982-1984.
”Sejak itu, saya selalu ikuti tulisan Daniel dan Ignas Kleden. Saya menikmati sekaligis bangga dengan pemikiran mereka,” ujar Abraham.
Abraham memandang bahwa Daniel mampu mengoptimalkan intelektualitasnya hingga taraf tinggi dalam segala keterbatasannya. Daniel terus-menerus mengasah ketajaman pemikirannya dalam lingkaran membaca, merenung, dan menulis.
Semua itu bertolak dari kegelisahannya dan keinginannya untuk selalu menembus batas profesi atau lintas ilmu. Dari situ terbentuklah intelektual publik yang mempunyai tanggung jawab serta keprihatinan terhadap masyarakat dan ketidakadilan.
”Dia (Daniel) ingin keluar dari batasan karena intelektual publik punya tanggung jawab dan keprihatinan atas ketidakadilan dan masyarakat yang dimanipulasi karena sering berhadapan dengan kekuasaan,” katanya.
Perkembangan Daniel, menurut dia, juga tidak terlepas dari relasi dengan harian Kompas. Selain mempertajam intelektualitas, Kompas memberinya ruang untuk berkarya dan memenuhi kebutuhan hidup sehingga energi intelektualnya tetap bertahan.
ARSIP WIJAYANTO
Daniel Dhakidae dalam sebuah kegiatan Sekolah Demokrasi di LP3ES.
Selain itu, intelektual membutuhkan ruang untuk memuat buah-buah pemikiran. Salah satunya melalui media massa sehingga bisa dibaca, diketahui, dan dicerna oleh banyak orang, termasuk penguasa dan pegiat publik lainnya.
Kemampuan Daniel dalam ilmu pengetahuan dan dunia jurnalistik dilirik pendiri Kompas, Jakob Oetama. Daniel bergabung dan menjadi Kepala Litbang Kompas selama 10 tahun sejak 1995 hingga 2005. Seusai pensiun, ia menjadi Kepala Ombudsman Kompas.
Hipolitus Wangge, peneliti Politik Kekerasan dan Militer di Asia dan Pasifik, menambahkan, Daniel memberikan sumbangan yang besar untuk ilmu pengetahuan. Karya-karyanya menjadi contoh sekaligus pedoman untuk memelihara energi intelektual.
Daniel melanjutkan studi di bidang Ilmu Politik di Cornell University, Amerika Serikat, dan meraih gelar master of art pada 1987. Kuliahnya berlanjut hingga meraih gelar PhD di bidang pemerintahan dari Department of Government di kampus yang sama pada 1991.
Desertasinya yang bertajuk ”The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry” mendapatkan penghargaan dari the Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asia Program Cornell University. Desertasinya dianggap memberikan sumbangan luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan.