Remaja Butuh Arahan Memilih Sekolah Lanjutan Sesuai Bakat dan Minat
Setiap remaja memiliki cita-cita akan pekerjaan di masa mendatang. Namun, sebagian dari mereka yang belum menuntaskan wajib belajar 12 tahun belum bisa menentukan cara dan waktu untuk menjemput cita-cita mereka.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Setiap remaja memiliki cita-cita akan pekerjaan di masa mendatang. Namun, sebagian dari mereka yang belum menuntaskan wajib belajar 12 tahun belum bisa menentukan cara dan waktu untuk menjemput cita-cita mereka.
Tiara (17 tahun), misalnya, bercita-cita ingin menjadi pramugari. Cita-cita itu semakin jelas setelah ia mendapat pengaruh dari profesional yang membuat konten di media sosial.
”Di Tiktok banyak pramugari yang ngenalin aktivitasnya seperti apa, bahkan menginfokan lowongan pekerjaan buat orang-orang yang susah cari pekerjaan di masa pandemi,” tutur gadis asal Jakarta Timur tersebut kepada Kompas, Jumat (16/4/2021).
Tiara yang kini belajar di jurusan IPA kelas XII itu tertarik untuk mencoba melamar menjadi pramugari jika sudah lulus sekolah. Di sisi lain, ia ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tetapi tidak tahu jurusan apa yang akan diambil. Arahan yang diberikan pembimbing konseling di sekolahnya dinilai tidak membantu memantapkan pilihan.
”Kalau kuliah, belum tahu juga, sih, mau ambil jurusan apa. Mungkin akan lintas jurusan saja. Dulu pilih jurusan di SMA juga karena senang dengan pelajarannya, bukan karena pikiran mau lanjut kerja atau kuliah di mana,” ujarnya.
Desta Maharani (16), yang duduk di bangku kelas XI SMA, sejak setahun terakhir, memiliki ketertarikan pada dunia arsitektur karena terpengaruh gim. Ketertarikan itu membuatnya berpikir untuk berkuliah di jurusan arsitektur.
”Tetapi, sekarang aku sudah telanjur ada di jurusan IPS dan masih senang belajar ilmu sosial. Padahal, kalau mau kuliah arsitektur syaratnya harus dari jurusan IPA,” tutur gadis yang berdomisili di Jakarta Pusat ini.
Jika ia bertahan di jurusan sosial, Desta mengaku belum terpikir keahlian apa yang bisa ia pelajari di jalur pendidikan yang lebih tinggi. Di sisi lain, orangtua tidak menuntut Desta untuk mengambil jurusan atau melanjutkan sekolah di lokasi tertentu.
Desta pun menjadi sedikit gamang karena ia masih ingin menikmati pelajaran yang ia sukai di sekolah, seperti sejarah dan geografi. Namun, ia juga menyadari realita bahwa ia tidak boleh salah langkah menentukan pendidikan agar tidak kesulitan bekerja di masa depan.
”Kalau fokus di pelajaran sejarah saja, misalnya, mungkin aku bisa kuliah ilmu sejarah. Cuma, yang saya enggak paham dari situ bisa kerja apa. Kalau belajar arsitektur, kan, bisa jadi arsitek yang menghasilkan karya dan uang,” imbuhnya.
Najwa (15), yang sebentar lagi menamatkan pendidikan di bangku SMP, juga sudah mulai menentukan jurusan di SMA. Kesukaannya pada mata pelajaran hafalan, seperti sejarah dan ekonomi, membuatnya ingin fokus belajar ilmu sosial.
Sementara itu, ia bercita-cita menjadi seorang psikolog klinis. ”Aku sudah kepikiran belajar psikologi, sih. Seru aja kalau bisa bantu masalah kejiwaan seseorang, apalagi sekarang marak perundungan di kalangan remaja,” katanya.
Peran orangtua
Selain bertanggung jawab dalam mendidik, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wikan Sakarinto mengatakan, orangtua juga berperan mengarahkan anak untuk menentukan minat dan bakat yang sesuai.
”Ini karena dalam memilih jalur pendidikan yang sesuai ada tiga poin, yaitu minat, tujuan, dan pahami pilihan. Guna mendukung ketiganya, orangtua berperan penting dalam pengembangan minat dan bakat peserta didik,” katanya dalam satu kesempatan webinar awal tahun ini.
Dalam melihat minat anak, jika anak lebih senang analitikal, anak bisa melanjutkan pendidikan sarjana atau S-1. Jika karakter anak lebih menyukai penerapan ilmu, orangtua disarankan menawarkan pendidikan vokasi.
”Jadi, harus ditentukan, ketika masuk ke sana (perguruan tinggi), mau jadi apa, kemudian pikirkan apakah pilihan pekerjaan itu akan membahagiakan calon mahasiswa tersebut. Jika pertanyaan ini bisa dijawab, minatnya sudah tepat,” kata Wikan.
Survei Kemendikbud dengan perusahaan manajemen pemasaran Markplus Inc, yang dipublikasikan awal April 2021, mendapati, kebanyakan dari responden siswa SMP dan SMA memiliki hobi dan minat pada keterampilan yang cocok dengan pendidikan vokasional.
Dari responden anak yang disurvei, hobi olahraga (46,3 persen), jalan-jalan (39,8 persen), bermain game (38,1 persen), membaca (32,2 persen), dan bernyanyi (26,1 persen) lebih diminati. Dari segi pelajaran, responden anak juga lebih menyukai olahraga (31,4 persen), bahasa Inggris (26 persen), bahasa Indonesia (24,9 persen), agama (21,9 persen), diikuti matematika (21,6 persen).
Adapun lima besar cita-cita yang diminati adalah pengusaha (20,2 persen), dokter (13,1 persen), polisi (11,9 persen), guru (11,1 persen), dan pekerja swasta (10,7 persen). Survei dilakukan di 10 wilayah di sejumlah provinsi di Indonesia dengan 890 responden yang terdiri dari anak SMP, SMA, dan SMK, serta orangtua murid dari tiga jenis sekolah menengah tersebut.
”Hasil riset ini bisa jadi acuan untuk lebih meningkatkan sosialisasi ke anak-anak yang perlu segera menentukan pendidikan lanjutan yang harus ia ambil, namun masih bingung harus ke mana,” ujar tim Markplus dalam webinar pada 9 April 2021.
Dalam riset bertajuk ”Survei Ketertarikan Masyarakat terhadap Pendidikan Vokasi” tersebut juga ditemukan, SMK dan pendidikan tinggi vokasi menjadi pilihan masyarakat untuk melanjutkan pendidikan. Sebanyak 82,05 persen responden tertarik melanjutkan pendidikan ke SMK dan 78,6 persen responden tertarik melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi vokasi.
Faktor ketertarikan terbesar terhadap SMK dipengaruhi oleh prospek kerja yang dinilai bagus (57,8 persen) dan pilihan jurusan yang banyak (51,95 persen). Secara keseluruhan, riset ini menggunakan margin of error 5 persen dengan tingkat confidence level 95 persen.