Peredaran masker-masker yang tak sesuai standar memicu kekhawatiran tenaga kesehatan yang menggunakannya. Kecemasan itu terjadi karena penularan virus SARS-CoV-2 di kalangan tenaga kesehatan belum dapat dikendalikan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum, Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Dokter gigi Linda (27) awalnya yakin masker respirator KN95 yang dikenakannya asli. Namun, saat mencermati kemasan maskernya, tertera tulisan kecil ”This product is a non-medical device” atau produk ini bukan alat kesehatan. Keterangan ini terlihat kecil di antara tulisan besar ”Protective Mask” dan ”KN95.”
Linda, dokter yang praktik pada sebuah klinik di Jakarta Barat, membeli masker dari toko daring karena dia tak mempunyai akses ke distributor resmi. Karena ketidaktahuan, Linda mendapatkan masker KN95 yang bukan untuk keperluan medis. KN95 adalah masker respirator standar China.
Meski yakin dengan masker yang dipakainya, Linda masih mengenakan gaun bedah, sepatu bot, dan penutup kepala. Dia juga mengenakan tiga lapis masker, dua masker bedah dan masker KN95.
Telusuri lebih lanjut tentang liputan investigasi ini
Sebagian dokter masih belum tahu keaslian ataupun kualitas masker medis yang mereka kenakan. Mereka hanya bisa menduga-duga, masker yang mereka pakai kemungkinan palsu atau berkualitas rendah.
Di Medan, Sumatera Utara, dr Suwarno Usman (67) mengaku menggunakan masker medis biasa dan kadang masker respirator N95 saat bekerja. Namun, Suwarno masih juga tertular. Istri, anak, pembantu, dan sopirnya turut terkena Covid-19. Bahkan, dia harus merelakan istrinya karena tak terselamatkan.
Dia prihatin dengan banyaknya peredaran masker respirator tak berkualitas yang justru mengancam keselamatan tenaga kesehatan. ”Sekarang ini banyak yang palsu. Dulu di awal memang N95 asli. Kita pakai juga terasa itu N95 asli. Sekarang, dilabeli N95, tetapi abal-abal,” ujarnya.
Dokter gigi di Surabaya, Jawa Timur, Elisea Kimora, menguatkan dugaan peredaran masker respirator tak berkualitas. Dia pernah membeli masker respirator melalui toko daring lantaran toko kesehatan langganannya kehabisan stok. Saat itu, Elisea mendapat masker yang bolong dan talinya mudah lepas ketika digunakan.
”Sebagai dokter, kami tak bisa memastikan masker yang dibeli itu asli atau palsu. Kan, masker ini bukan seperti barang elektronik, ya. Kami tidak bisa melihat ini asli atau palsu. Namun, kalau secara kualitas, kami bisa lihat, wah ini kalau talinya gampang putus, apalagi pas tengah-tengah kerja lepas, itu ya kurang bagus dan mutlak tidak bisa dipakai tenaga medis,” tuturnya.
Tak hanya dokter, tenaga medis lainnya juga ibarat bertaruh nyawa ketika alat pelindung diri yang mereka kenakan tak sesuai standar penanganan pandemi. Terutama tenaga kesehatan yang tugasnya mengharuskan mereka berinteraksi langsung dengan pasien Covid-19.
Bertatap muka
Salah satu yang berisiko tinggi tak lain para pelacak kontak erat. Sehari-hari mereka melacak orang-orang yang pernah berinteraksi langsung dengan pasien Covid-19. Karena itu, mereka seharusnya dilengkapi alat perlindungan yang layak dan aman.
Berbekal masker dobel, Anas, perawat yang juga pelacak kontak, menyusuri permukiman di Kelurahan Pademangan Timur, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (18/3/2021) siang. Hari itu, dia dan tiga rekannya mencari dua warga yang terpapar Covid-19. Namun, seorang yang dicari tidak dapat ditemukan.
Tak menemukan titik terang di lokasi pertama, Anas dan tim mencari warga kedua di RW 008 Pademangan Timur. Warga ini tinggal di rumah toko (ruko) yang menjadi tempat usaha konfeksi. Saat bertatap muka dengan petugas pelacak kontak di depan ruko, lelaki itu menceritakan keluhannya.
Aktivitas tatap muka dengan pasien Covid-19 seperti itu sudah biasa dijalaninya sejak empat bulan terakhir. Targetnya, mesti dapat kontak erat paling tidak 10 hingga 30 orang per hari. Anas makin terbiasa menghadapi situasi seperti itu.
Selama bertugas, lulusan D-3 keperawatan ini menambah alat perlindungan berupa masker medis biasa berlapis masker respirator KN95. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merekrut Anas membekalinya dengan rompi, ID card, topi, tas, dan beberapa lembar masker kain. ”Kalau masker kain, kan, tak sesuai standar, makanya saya beli sendiri,” katanya.
Masker KN95 dia beli seharga Rp 25.000 per kotak berisi 10 lembar. Lebih rendah dari harga masker respirator standar AS (N95) di tingkat distributor resmi sekitar Rp 20.000 per lembar. Dia memakai masker ini saat sedang melacak kontak saja. Sementara saat berada di puskesmas, dia menggantinya dengan masker medis biasa.
Soal maskernya asli atau tidak, Anas juga tak paham lantaran masker itu dibeli istrinya yang seorang asisten apoteker dan bekerja di puskesmas di Jakarta. Biasanya, ada saja yang menawarkan masker respirator dengan harga murah kepada istrinya. Masker-masker inilah yang lantas dibeli.
Dari penelusuran Kompas, saat ini beredar banyak masker respirator yang kualitasnya bermasalah. Mayoritas dari masker itu tak memiliki izin edar dari Kementerian Kesehatan sehingga tak bisa dipastikan kualitasnya.
Anas tahu dirinya berisiko tertular. Sebab, dia termasuk tenaga kesehatan pertama yang berinteraksi dengan pasien Covid-19. Kendati demikian, dia meyakini bahwa potensi penularan juga ditentukan oleh tindakan di lapangan. ”Usahakan selalu aman dengan menjaga jarak dan memakai masker. Setelah itu, ya, kita pasrahin saja. Tetapi alhamdulillah saya belum pernah terinfeksi,” katanya.
Meski dia yakin dengan alat pelindung itu, sebagian teman-temannya terpapar Covid-19. Salah satunya, pelacak asal Kepulauan Seribu, Jakarta, Ulul Elmah (22). Entah dari mana, bidan lajang ini terpapar Covid-19 pada 10 Februari lalu. Sebelum terinfeksi virus, Ulul rutin berkunjung ke rumah warga untuk melacak kontak erat pasien positif Covid-19 dan bertemu dengan banyak orang. ”Ada banyak OTG (orang tanpa gejala) juga yang kami temui,” ujarnya.
Ketika turun lapangan, Ulul menggunakan masker medis biasa, bukan masker respirator.
Dari penelusuran ke klinik-klinik kecil dan juga praktik mandiri, sebagian tenaga kesehatan ternyata tidak memiliki alat perlindungan memadai. Tak seperti rumah sakit besar, akses mereka ke distributor resmi masker resmi terbatas. Mereka juga tak punya fasilitas untuk menguji kualitas masker. Karena itu, banyak tenaga kesehatan yang membeli masker sendiri, baik karena keterbatasan jatah dari rumah sakit maupun karena akses tenaga kesehatan yang membuka praktik sendiri.