Memilih Masker yang Asli dan Sesuai Standar Penanganan Covid-19
Menggunakan masker menjadi salah satu jurus jitu menangkal penularan virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19, yang terus bermutasi. Namun, masyarakat masih belum terlalu peduli dan paham dengan masker berstandar.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menggunakan masker menjadi salah satu jurus jitu menangkal penularan virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19. Apalagi saat ini semakin banyak pasien tanpa gejala Covid-19 yang terdeteksi. Kemudian, seiring dengan berlanjutnya penyebaran virus yang menciptakan peluang mutasi-mutasi baru, penggunaan masker terstandar yang dapat menyaring virus menjadi yang terpenting.
Namun, masyarakat mesti berhati-hati dalam memilih masker. Liputan investigasi harian Kompas sepanjang Februari-Maret 2021 menemukan, masker medis, di antaranya masker respirator yang biasa digunakan tenaga kesehatan saat menangani pasien Covid-19, ternyata dipalsukan.
Selain itu, masker medis yang beredar di pasaran juga berkualitas rendah. Hasil uji sejumlah sampel masker medis yang diinisiasi harian Kompas di Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung mengungkapkan, masker-masker tersebut ternyata tak lolos sejumlah uji parameter penting, seperti filtrasi bakteri, filtrasi partikel, dan beda tekan.
Sekretaris Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Mariya Mubarinka mengatakan, masker berkualitas menjadi kebutuhan setiap orang. ”Kalau ada mutasi, tapi benteng pertahanan seperti masker ini enggak kuat, kita akan tereliminasi oleh virus,” ujarnya, Sabtu (3/4/2021).
Kami mendesak agar Kementerian Kesehatan mengawasi dan menindak importir dan distributor yang mengedarkan masker tidak sesuai standar. Jika pedagang kecil yang ditindak, sangat sulit karena jumlahnya terlalu banyak.
Lantas, bagaimana agar masyarakat bisa memilih masker yang berkualitas, sekaligus asli dan sesuai standar keamanan dalam penanganan pandemi Covid-19?
Dari komponennya, masker berkualitas yang diatur Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) harus memiliki setidaknya tiga lapisan pelindung cairan dan material partikel. Lapisan filter harus ada di antara dua lapisan kain nonwoven. Keterangan ini umumnya bisa dicantumkan di dalam kemasan masker sekali pakai.
Keberadaan lapisan filter atau penyaring tersebut juga harus lolos uji penetrasi partikel. Jika lolos, produk masker akan memiliki izin edar dari Kementerian Kesehatan.
Mariya pun mengingatkan masyarakat agar mengutamakan masker sekali pakai terstandar tersebut dibandingkan masker kain yang sulit dipastikan keefektifannya dalam mencegah penetrasi virus.
Meski demikian, masih banyak masyarakat yang mengandalkan masker kain untuk aktivitas sehari-hari, baik di dalam maupun luar ruangan. Salah satunya pengemudi ojek online (ojol) seperti Hengki Putro. Sejak sebelum Covid-19, ia mengaku lebih terbiasa memakai masker bahan untuk pengguna motor walau sesekali ia memakai masker medis yang bisa ia ambil secara gratis di kantor tempatnya bermitra.
”Dari sebelum pandemi saya sudah biasa pakai masker tebal, bukan selapis yang sempat banyak dijual waktu pandemi. Jadi, selama pandemi enggak ada yang berubah, sih. Paling sekali-sekali pakai masker bedah kalau dapat gratisan," katanya.
Hengki juga mengaku tidak terlalu peduli dengan saran penggunaan medis terstandar karena pemerintah dinilai tidak tegas dengan hal tersebut. Selain itu, membeli masker sekali pakai dengan kualitas baik juga bisa menguras kantongnya.
Rini Fergenata (30), yang bekerja di kantor konsultan arsitektur kecil di Jakarta, memakai baik masker kain maupun masker sekali pakai untuk bekerja. Untuk masker kain, ia memilih masker dua lapis seperti yang disarankan pemerintah dan WHO di awal pandemi. Ia pun berusaha menggantinya dua sampai tiga kali sehari ketika harus banyak keluar rumah.
”Kalau masker sekali pakai saya beli yang ada di minimarket atau supermarket. Saya enggak berani beli online sejak ramai pedagang menaikkan harga seenaknya dan kabar banyak masker palsu. Sejauh ini saya cukup yakin dengan merek-merek masker yang dijual di toko ritel ternama,” tuturnya.
Dari sebelum pandemi saya sudah biasa pakai masker tebal, bukan selapis yang sempat banyak dijual waktu pandemi. Jadi, selama pandemi enggak ada yang berubah, sih. Paling sekali-sekali pakai masker bedah kalau dapat gratisan.
Sementara itu, Yanto (29), pekerja usaha rintisan, mengakui mulai memperhatikan kualitas masker yang dikenakan, salah satunya sejak PT Kereta Commuter Indonesia melarang penumpang kereta menggunakan masker skuba dan buff pada September 2020.
”Saya juga sempat tersentak karena ditegur kenalan yang menjadi penyintas Covid-19 ketika pakai masker kain selapis,” katanya.
Sejak saat itu, warga Bekasi yang biasa menggunakan kereta untuk pergi ke kantor tersebut pun beralih dari masker skuba ke masker medis sekali pakai. Merek ternama pun menjadi pertimbangan memilih masker meski harganya relatif lebih mahal.
”Ada harga ada kualitas. Ketika pakai masker medis dengan merek tertentu itu rasanya juga enggak sesak seperti pakai masker kain. Kalau keamanannya, saya percayakan ke produsen tersebut,” lanjutnya.
Kebijakan pemerintah
Untuk mendorong penggunaan masker terstandar di masyarakat, Mariya menilai, masyarakat tidak perlu ditekan dengan aturan yang menghukum, apalagi setelah satu tahun pandemi masyarakat mulai lelah dan cenderung abai akibat belum pulihnya aktivitas mereka.
Adapun pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang tepat. Salah satunya mengenai aturan peredaran masker yang tidak terstandar.
”Kita sudah punya aturan mengenai standar masker dan izin edar, jadi tidak perlu diubah lagi. Tinggal bagaimana aplikasi dan pengawasannya,” ujarnya.
Sebagaimana temuan tim investigasi Kompas, saat ini masih banyak masker tidak sesuai standar yang beredar di masyarakat, termasuk kalangan tenaga kesehatan yang lebih membutuhkan. Peredaran masker tidak terstandar tersebut dilakukan distributor hingga pedagang yang mengemas ulang produk impor, mengelabui calon pembeli dengan label lembaga pemerintah, hingga mengecoh konsumen dengan standar filtrasi palsu (Kompas, 3/4/2021).
Tidak hanya itu, masker tidak terstandar yang beredar juga rata-rata dijual dengan harga murah sehingga membuat masyarakat lebih tertarik. Sebagai contoh, salah satu sukarelawan pelacak kontak pasien Covid-19 yang ditemui Kompas pernah membeli masker jenis KN95 tidak jelas yang dijual seharga Rp 25.000 per kotak berisi 10 lembar. Harga masker itu lebih rendah dari harga masker respirator standar AS (N95) di tingkat distributor resmi sekitar Rp 20.000 per lembar.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima sekitar 150 aduan konsumen terkait alat kesehatan, termasuk masker untuk tenaga kesehatan. Menurut Tulus, konsumen dirugikan secara materiil jika masker abal-abal itu dijual dengan harga yang mahal seperti seakan-akan masker asli. Ia pun menjelaskan, secara kasatmata, konsumen sulit membedakan mana masker yang sesuai SNI atau tidak.
”Karena itu, kami mendesak agar Kementerian Kesehatan mengawasi dan menindak importir dan distributor yang mengedarkan masker tidak sesuai standar. Jika pedagang kecil yang ditindak, sangat sulit karena jumlahnya terlalu banyak,” ujarnya.