Lantaran ketidaktahuan, tenaga kesehatan bisa menggunakan masker yang salah. Karena alasan yang sama, potensi penularan pada mereka makin terbuka.
Oleh
Irene Sarwindaningrum, Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran masker-masker yang tak sesuai standar memicu kekhawatiran tenaga kesehatan yang menggunakannya. Kecemasan itu terjadi karena penularan virus SARS-CoV-2 di kalangan nakes belum dapat dikendalikan.
Dokter gigi Linda (27) awalnya yakin masker KN95 yang dikenakannya memang asli. Namun, saat mencermati kemasan maskernya, terdapat tulisan kecil ”This product is a non-medical device” atau produk ini bukan alat kesehatan. Keterangan ini terlihat kecil di antara tulisan besar ”Protective Mask” dan ”KN95”.
Linda membeli maker itu dari toko daring karena dia tak mempunyai akses ke distributor resmi. Karena ketidaktahuan ini, Linda mendapatkan masker berlogo KN95 yang seharusnya bukan untuk keperluan medis.
Meski yakin dengan masker yang dikenakannya, Rabu (10/3/2021), dia masih mengenakan gaun bedah, sepatu bot, dan helm mirip. Linda juga mengenakan tiga lapis masker, dua masker bedah di bagian tengah masker KN95.
Linda menyadari, pekerjaannya memiliki kerentanan tinggi terpapar virus selama pandemi. Karena itu, ia melindungi diri dengan perlengkapan yang diyakininya aman. Lembaga penelitian AS National Center for Biotechnology Information menyebut sumber penularan virus SARS-CoV-2 tertinggi dari inhalasi atau menghirup udara bervirus 57 persen inhalasi (airbone), sebanyak 35 persen terinfeksi dari droplet (percikan cairan), dan hanya 8 persen dari kontak fisik. Dari sini terlihat betapa pentingnya penggunaan masker berkualitas di fasilitas kesehatan untuk nakes dan pasien Covid-19.
Sekretaris Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Mariya Mubarika berpendapat, penggunaan masker yang tidak sesuai standar bisa memicu tingginya jumlah nakes terpapar Covid-19, yang sebagian berujung pada kematian.
Masker tiga lapis, katanya, tak selalu melindungi nakes di tempat kerjanya. Sebab, masker untuk nakes seharusnya memiliki lapisan antivirus. Banyak masker berlabel N95 yang dijual murah tanpa diketahui kualitasnya. Lebih berbahaya lagi, saat harga masker palsu sama dengan masker asli sehingga semakin sulit membedakannya.
Penelusuran Kompas, sebagian nakes di klinik-klinik kecil maupun praktik mandiri tidak memiliki alat perlindungan memadai. Tak seperti rumah sakit besar, akses mereka ke distributor resmi masker resmi terbatas. Mereka juga tak punya fasilitas untuk menguji kualitas masker.
Karena itu, banyak nakes yang membeli masker sendiri, baik karena jatah dari rumah sakit terbatas maupun tenaga kesehatan yang membuka praktik sendiri. Celah ini menjadi masuknya masker yang tidak terjamin keasliannya.
Sementara sebagian rumah sakit besar mempunyai tim khusus untuk menguji orisinalitas dan kelayakan masker sebelum dibagikan kepada para tenaga kesehatannya. Tim khusus ini di antaranya terdapat di RS Persabahatan dan RS Premiere Surabaya. Tim mereka selalu menguji masker yang diperoleh dari luar distributor resmi sebelum dipakai nakes.
Tim khusus rumah sakit bekerja dengan memeriksa masker mulai dari mengecek nomor izin edar, menanyakan langsung keaslian ke distributor resmi, hingga membongkar masker. RS Persahabatan bahkan memodifikasi alat particle counter untuk menguji langsung filtrasi masker. Setelah yakin akan kualitas masker, tim khusus akan membagikan masker sesuai bagian dan level perlindungan masker yang diperlukan atau memusnahkan masker yang tak layak guna.
Penggunaan masker berkualitas makin dibutuhkan sejalan dengan temuan varian baru Covid-19. Hal ini tidak lepas dari risiko penularan Covid-19 melalui udara di ruangan tertutup. Apalagi belakangan banyak pasien tanpa gejala mendatangi fasilitas kesehatan di berbagai level layanan. ”Dengan masker berkualitas, nakes bisa terlindungi dari virus,” kata Mariya.
Pada 1 Desember 2020, WHO menerbitkan panduan resmi penggunaan masker. Panduan itu memang tak mewajibkan seluruh nakes mengenakan masker respirator. Masker respirator hanya disarankan pada nakes yang menangani pasien Covid-19 dengan tindakan yang berpotensi aerosol. Aerosol adalah tindakan yang menimbulkan percikan cairan seperti memasang selang pernapasan dan scaling gigi.
Adapun masker respirator ini di antaranya terdiri dari masker N95 berstandar AS, KN95 berstandar China, dan FFP2 berstandar Eropa. Angka 95 menunjukkan angka filtrasi yang artinya masker itu mampu menyaring partikel berukuran 3 mikron hingga 95 persen sehingga dianggap cukup aman dalam mencegah masuknya virus Covid-19.
Anjuran WHO dapat berlaku dalam kondisi ideal, sementara banyak nakes yang hanya memperoleh jatah satu masker respirator tiap pekan sehingga masker tak bisa sekali pakai dan harus digunakan ulang. Karena alasan ini, RS Premiere Surabaya meminta nakes di tempat itu mengenakan masker respirator. ”Masker respirator lapisannya lebih banyak dan lebih efektif menyaring partikel,” kata Kepala Bidang Keperawatan RS Premiere Surabaya Janny Prihastuti.
Di Situbondo, Jawa Timur, dokter penyintas Covid-19, Muhammad Budiman Bahagia (37), yang sembuh dari Covid-19 tak tahu dari mana ia terinfeksi pada Oktober 2020. Selama bertugas sebagai Kepala ICU di RSUD Situbondo dan RS Elizabeth Situbondo, dokter spesialis anestesi dan terapi ontensif itu telah mematuhi panduan WHO dan Kementerian Kesehatan dalam mengenakan masker. Kendati mengenakan APD sesuai panduan, ia masih tertular Covid-19.
Budiman menduga faktor kelelahan dari tingginya beban kerja menjadi faktor yang membuatnya tertular. Di puncak pandemi, para nakes mengalami kelelahan karena tingginya beban kerja dan stres yang sangat menurunkan stamina yang membuat imunitas tubuh melemah.
”Saat saya tertular itu memang sedang puncak kasus Covid di Situbondo. Saya bisa pulang ke rumah pukul 7 pagi lalu beberapa jam kemudian sudah harus ke RS,” katanya. Setahun pandemi, telah banyak nakes berkorban jiwa. Selama berada di garis depan penanganan kesehatan, mereka semestinya mendapat perlindungan yang layak.