Ketimbang Pernikahan Selebritas, Warga Memilih Tayangan di Platform Video
Publik punya hak atas frekuensi siaran sehingga tayangan di stasiun televisi harus mewakili kepentingan publik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga belum mengetahui tayangan di stasiun televisi harus mewakili kepentingan publik. Mereka pun tak memprotes tayangan prosesi pernikahan selebritas yang disiarkan di salah satu stasiun televisi meskipun tayangan itu diduga tak mewakili kepentingan publik.
Walaupun tak memprotes, mereka juga menganggap muatan dalam tayangan pernikahan itu tak mereka butuhkan. Sebagai gantinya, untuk memenuhi kebutuhan informasi dan tayangan yang berkualitas, mereka pun lebih memilih berpaling ke platform video, seperti Youtube, Netflix, dan VIU.
Hak publik atas frekuensi siaran tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Bunyinya bahwa spektrum frekuensi radio untuk penyiaran merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga.
Henly (49), ibu rumah tangga di Jakarta Barat, tidak tahu kalau publik punya hak atas penggunaan frekuensi siaran oleh stasiun televisi. Ia pun mengaku sudah jarang menonton televisi karena minim tayangan yang menghibur dan mendidik. Salah satunya tayangan lamaran atau pernikahan pasangan selebriti.
”Aku enggak tahu soal frekuensi publik. Aku juga sudah jarang nonton televisi kerena tayangannya lebay menurutku. Mending streaming, pilihannya beragam,” ujar Henly, Senin (15/3/2021).
Henly pun mengaku, meskipun ada televisi di rumahnya, untuk memenuhi kebutuhan tayangan berkualitas, ia pun berlangganan platform video Netflix dan VIU. Menurut dia, platform tersebut dapat memenuhi kebutuhannya akan tayangan yang lebih beragam dan berkualitas, mulai dari hiburan hingga pendidikan.
Tuti Alawiyah (47), ibu rumah tangga di Tangerang Selatan, juga baru tahu tentang frekuensi publik ketika ditanyai Kompas. Apalagi, ia mengaku sudah jarang menonton televisi karena baginya tayangan di televisi didominasi acara tentang gosip seputar selebritas.
”Baru tahu ada hak publik. Saya sudah lama enggak nonton tayangan artis-artis, kebanyakan ngalor-ngidul-nya. Sekarang lebih sering nonton dari handphone, ada drama Korea Selatan, ulasan masakan, dan produk rumah tangga,” kata Tuti.
Di Youtube ada tutorial dan tayangan yang spesifik membahas ilmu pengetahuan. Kalau di Netflix, ada dokumenter. Porsinya (film dokumenter) di televisi sedikit.
Tayangan berkualitas
Ignatya Evelin (22), warga Kota Bekasi, Jawa Barat, juga nyaris meninggalkan televisi dan berpaling ke tayangan di Netflix dan Youtube. Pilihannya menikmati tayangan di kanal digital karena tayangan di stasiun-stasiun televisi semakin tidak berkualitas. Film-film dokumenter yang memuat banyak informasi dan pengetahuan, lanjutnya, semakin langka ditemukan di siaran televisi.
”Di Youtube ada tutorial dan tayangan yang spesifik membahas ilmu pengetahuan. Kalau di Netflix, ada dokumenter. Porsinya (film dokumenter) di televisi sedikit,” ucap Evelin.
Suwastika Wijayanti (24), warga Jakarta Utara, juga sudah jarang menonton televisi karena rutinitas pekerjaannya. Ia pun beralih ke kanal digital dengan tayangan hiburan yang lebih beragam.
”Pindah ke online untuk nonton film. Kalau orangtua, lebih banyak nonton kajian-kajian agama (di kanal digital),” ujar Suwastika.
Berulang
Tayangan lamaran atau pernikahan pasangan selebritas di stasiun televisi bukan kali ini saja terjadi, melainkan sudah terjadi beberapa kali. Lembaga Studi dan Pemantauan Media, Remotivi, mencatat, sejak 2012 setidaknya sudah tiga pernikahan selebritas disiarkan secara langsung di televisi.
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) yang beranggotakan organisasi masyarakat sipil serta 160 akademisi dan pegiat penyiaran publik menolak keras seluruh rencana penayangan langsung itu. Sebab, program seperti itu tidak berpihak kepada kepentingan publik secara luas dan semena-mena menggunakan frekuensi publik.
Perwakilan KNRP sekaligus dosen The London School of Public Relations, Jakarta, Lestari Nurhajati, dalam siaran pers, Sabtu (13/3/2021), menyampaikan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) cenderung abai dan terkesan pasif menunggu aduan dari masyarakat. Rencana siaran tersebut mengabaikan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan tayangan yang lebih berkualitas.
Padahal, Pasal 11 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran mengatur bahwa lembaga penyiaran publik wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik.
”Kami akan terus mengawasi dan memantau kinerja komisioner KPI. Kami juga terus mengingatkan mereka tentang kewajibannya untuk secara kritis dan sungguh-sungguh bekerja melaksanakan kewenangannya apabila melihat konten penyiaran yang merugikan publik,” kata Lestari.
Sebelumnya, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Mimah Susanti mengakui, program siaran bertemakan pernikahan pasangan selebritas sudah sering muncul di stasiun televisi swasta. Tema seperti itu tidak dilarang. Hanya saja, durasi penayangannya harus diperhatikan agar tidak berlebihan.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, dia menerangkan, kepentingan publik harus dijunjung tinggi oleh lembaga penyiaran. Hal ini berkaitan dengan penggunaan spektrum frekuensi sebagai sumber daya terbatas.
Pada 2014, salah satu stasiun televisi swasta pernah menayangkan pernikahan pasangan selebriti dengan durasi waktu yang berlebihan. Kala itu, KPI turut memberikan teguran.
”Kami menyayangkan kejadian seperti itu terulang. Lembaga penyiaran swasta tidak belajar dari pengalaman,” ujar Mimah.