Menata Kembali Masa Depan Siswa yang Rentan
Kendala pembelajaran jarak jauh membuat siswa dari keluarga miskin semakin tertinggal dalam belajar. Kebijakan yang berpihak kepada mereka akan membantu mereka menata kembali masa depan yang lebih baik.
Setahun pandemi Covid-19, sebagian besar sekolah masih menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. Tingginya kasus Covid-19 membuat sebagian besar daerah menunda pembelajaran tatap muka yang sedianya dimulai pada Januari 2021.
Penutupan sekolah yang berkepanjangan berdampak pada pembelajaran siswa, dengan derajat yang berbeda-beda. Siswa dengan akses ke infrastruktur digital dan sumber daya sekolah yang memadai semakin dapat beradaptasi dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring.
Namun, akses yang tidak merata ke sumber daya pembelajaran daring semakin meminggirkan siswa yang miskin. Tanpa gawai dan akses internet, banyak siswa yang kurang belajar, bahkan tidak belajar. Mereka umumnya juga kurang mendapat dukungan orangtua selama belajar di rumah karena kurangnya kemampuan orangtua ataupun karena harus bekerja di luar rumah.
Penutupan sekolah yang berkepanjangan membuat mereka semakin tertinggal dalam belajar. Bukan saja memperlebar kesenjangan pendidikan, kondisi ini berdampak nyata pada hilang pengalaman belajar (learning loss) dan putus sekolah. Ancaman hilang generasi (lost generation) akibat pandemi pun kian nyata.
Belum ada kajian menyeluruh mengenai dampak penutupan sekolah selama setahun ini. Namun, apa yang terjadi di Kota Cimahi, Jawa Barat, di mana 15 persen siswa kelas dua sekolah dasar saat ini belum bisa membaca (Kompas, 22/2/2021), merupakan bukti nyata hilang pengalaman belajar akibat pandemi ini.
Baca juga : Ancaman Hilang Belajar Kian Nyata
Mereka berasal dari keluarga tidak mampu, yang umumnya di bawah pengasuhan kakek/nenek atau kakak karena orangtuanya bekerja di luar rumah. Sementara tingginya kasus Covid-19 menghambat guru kunjung. Tanpa guru kunjung, pembelajaran mereka tidak hanya berhenti, tetapi cenderung mengalami kemunduran.
Kondisi tersebut berpotensi terjadi di daerah lain, terutama di daerah dengan akses internet kurang memadai. Dari sisi infrastruktur, hampir semua wilayah di Kota Cimahi terjangkau akses internet. Fasilitas-fasilitas publik hingga tingkat rukun warga dilengkapi jaringan internet nirkabel (Wi-Fi) gratis, tetapi belum semua siswa memiliki gawai untuk pembelajaran daring.
Akses internet yang tidak merata dan jangkauan jaringan yang buruk juga membuat banyak guru tidak dapat mengajar secara optimal. Studi SMERU Research Institute yang dipublikasi pada 22 Oktober 2020 menyebutkan, sekitar 30 persen guru di Jawa tidak mengajar setiap hari kerja, di luar Jawa mencapai 50 persen guru.
Baca juga : Tantangan Semakin Besar untuk Mengatasi Kesenjangan Pendidikan
Pengurangan waktu belajar telah menghambat pembelajaran siswa dan juga memengaruhi perkembangan mereka secara keseluruhan. Semakin lama anak tidak belajar, potensi putus sekolah juga semakin tinggi. Krisis akibat pandemi yang berdampak pada perekonomian masyarakat memperparah kondisi ini.
Perkiraan Bank Dunia yang dipublikasi pada Agustus 2020, penurunan pendapatan akibat pandemi sebesar 1,1 persen akan menambah 91.000 anak di Indonesia yang putus sekolah. Data Badan Pusat Statistik pada Desember 2020 menunjukkan, penurunan pendapatan akibat pandemi telah mencapai 2,53 persen.
Pada 2020, paling tidak 938 anak usia 7-18 tahun putus sekolah akibat pandemi (Kompas, 24/12/2020). Ini berdasar pemantauan terhadap 145.000 anak dari 109.000 keluarga miskin di 1.104 desa penerima Program Keluarga Harapan dan bantuan langsung tunai-dana desa. Secara nasional, ada sekitar 10 juta keluarga peserta program ini.
Kajian Unicef Indonesia bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tersebut juga menunjukkan, sekitar 70 persen anak yang dipantau berpotensi putus sekolah, 30 persen di antaranya berpotensi tinggi putus sekolah.
Anak-anak di wilayah timur Indonesia berisiko lebih tinggi untuk putus sekolah dibandingkan wilayah lain, paling tinggi di Papua. Ada sejumlah faktor yang berisiko menyebabkan anak putus sekolah, terutama karena bekerja, baik diupah maupun tidak diupah, kurangnya fasilitas PJJ, mengasuh adik. Selain itu, juga tidak ada pengawasan orangtua dan monitoring dari guru, maupun karena menikah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengkhawatirkan meningkatnya angka putus sekolah karena perkawinan usia anak. Bukan hanya pembelajaran anak terhenti, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan baru di kemudian hari. Pantauan KPAI di sejumlah sekolah di delapan provinsi hingga Februari 2021, paling tidak ada 119 siswa yang menikah.
Aktivitas belajar di rumah tanpa pengawasan orangtua berpotensi mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Kondisi ini memicu terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, misalnya, selama pandemi hingga September 2020 terdapat 408 kehamilan pada anak.
Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menunjukkan adanya peningkatan dispensasi kawin yang sebagian besar terkait perkawinan usia anak. Jika pada 2019 terdapat 23.000 permohonan dispensasi kawin, pada Januari-Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan. Dari jumlah itu, 97 persen dikabulkan dan 60 persen di antaranya dispensasi untuk perkawinan anak di bawah usia 18 tahun.
Prioritas kebijakan
Apa yang terjadi pada anak-anak saat ini akan menentukan masa depan mereka. Tanpa prioritas kebijakan untuk menata kembali masa depan yang lebih baik bagi anak-anak yang rentan tersebut, potensi mereka akan hilang.
Vaksinasi Covid-19 kepada guru memberikan harapan sekolah dapat segera dibuka. Namun, membuka sekolah saja tidak akan cukup membantu mereka untuk mengatasi ketertinggalan.
Baca juga : Kehilangan Pengalaman Belajar Tak Terbendung meski Sekolah Mulai Dibuka
Tanpa penanganan khusus, siswa kelas dua sekolah dasar yang belum bisa membaca rawan mengalami miskin belajar (learning poverty), yaitu kondisi di mana hingga usia 10 tahun anak tidak bisa membaca. Menurut perkiraan Bank Dunia pada 2019, sekitar 35 persen anak di Indonesia pada usia akhir sekolah dasar tidak bisa membaca.
Secara global, berdasar kajian Bank Dunia, learning poverty diperkirakan meningkat 10 persen akibat pandemi. Learning poverty merupakan ujung tombak krisis pembelajaran yang menyebabkan defisit sumber daya manusia, karena membaca merupakan keterampilan dasar yang menentukan pembelajaran selanjutnya.
Anak-anak yang putus sekolah akan kehilangan potensi pekerjaan di masa depan. Tanpa menyediakan sebanyak mungkin alternatif kepada mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, mereka hanya akan terserap di sektor informal dengan upah rendah. Jangankan bicara bonus demografi, mereka justru bisa menjadi beban ekonomi.
Menurut peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, Sabtu (27/2/2021), pemetaan menjadi prasyarat untuk mengatasi dan mencegah dampak pandemi pada pendidikan tersebut kian berlanjut. Ini harus dilakukan secara sistematis, cepat, dan transparan untuk menentukan langkah-langkah penanganan sesuai kebutuhan siswa.
Dari pemetaan tersebut akan diketahui siswa mana saja yang tertinggal pembelajarannya, faktor-faktor apa yang menghambat pembelajaran mereka. Selain itu, juga untuk mengetahui kendala apa yang dihadapi guru untuk mengajar anak-anak tersebut, serta investasi seperti apa harus dilakukan untuk mengatasi tantangan ini.
Sejumlah daerah mungkin saja sudah mulai melakukan hal tersebut, seperti Pemerintah Kota Cimahi yang mulai memetakan siswa yang terdampak PJJ dan menetapkan tindakan tambahan untuk mendukung siswa yang rentan. Langkah serupa, menurut Anggi, harus dilakukan secara nasional, oleh pemerintah daerah dengan koordinasi pemerintah pusat.
Baca juga : Akselerasi Kebijakan untuk Siswa yang Rentan
Inger Ashing, CEO Save the Children, dalam laporan yang dipublikasi pada Januari 2021, mendorong negara-negara untuk memprioritaskan investasi pendidikan bagi anak-anak yang rentan. Jika 2020 adalah tahun penemuan vaksin, maka 2021 perlu menjadi tahun investasi untuk masa depan anak-anak.