Lenong Penolak Kawin Anak
Kampanye menolak perkawinan anak dilakukan dengan banyak cara. Kalangan remaja di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, memakai teater dan lenong sebagai sarana menekan pernikahan anak.
JAKARTA, KOMPAS — Isu perkawinan anak memantik keprihatinan kalangan pemuda Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Mereka turut mengampanyekan pencegahan perkawinan anak kepada remaja-remaja di sekitarnya melalui pementasan lenong dan teater.
Saat masih berusia belasan tahun, Andrianto (27) menganggap perkawinan usia dini adalah hal yang lumrah di lingkungannya. Tidak sedikit teman-temannya keluar dari sekolah dan memilih untuk menikah. Pemicunya beragam, mulai dari hamil di luar nikah hingga masalah ekonomi orangtua.
”Dulu di sini pergaulan bebas. Banyak teman yang hamil terus dikeluarin dari sekolah. Tapi, mereka santai-santai saja kalau kumpul sama teman-teman karena yang begitu sudah biasa,” kata Andrianto yang juga Ketua Karang Taruna RW 006 Kalibaru, saat ditemui di Jakarta, Selasa (16/2/2021).
Pada 2017, pandangannya berubah. Pelatihan dan edukasi yang diberikan Yayasan Rumah Kita Bersama (KitaB) melalui Program Berdaya menyadarkan Andrianto dan remaja lainnya. Bahkan, mereka kini terlibat mengampanyekan pencegahan perkawinan anak melalui Insani Teater Cilincing (Itaci).
Baca juga : Menikah Dulu, Menyesal Kemudian
Itaci adalah sebuah sanggar teater yang didirikan anak-anak muda di Kalibaru. Selain teater, Itaci juga menampilkan lenong. Pertunjukan yang ditampilkan Itaci bukan sekadar untuk menghibur penonton, melainkan juga berisi muatan edukasi.
”Awalnya, Itaci ini mau vakum karena anggotanya pada jenuh. Tapi, setelah digandeng oleh Rumah KitaB, jadi punya roh lagi. Dari yang awalnya anggotanya hanya 20-an orang, sekarang jadi 50-an,” kata Andrianto yang kerap menulis skenario Itaci.
Tema-tema perkawinan anak ini kerap dibawakan oleh Itaci dalam berbagai kesempatan. Mulai dari peringatan Hari Kemerdekaan RI hingga Festival Teater Jakarta. Cerita-cerita yang dibawakan memuat tentang permasalahan perkawinan anak dan bahayanya bagi perkembangan remaja.
”Salah satunya cerita anak yang dipaksa menikah oleh orangtuanya karena orangtua terlibat utang dengan keluarga lain. Kami ceritakan apa saja dampaknya,” ungkap Andrianto.
Menurut dia, meski fenomena perkawinan anak di Kalibaru belum sepenuhnya hilang, setidaknya pola pikir banyak remaja mulai berubah. Hal tersebut tecermin dari perilaku anak-anak yang membaik. ”Dulu anak 10 tahun di sini pergaulannya sudah kayak orang-orang dewasa. Sekarang pergaulan bebas seperti itu mulai berkurang,” lanjutnya.
Salah satunya cerita anak yang dipaksa menikah oleh orangtuanya karena orangtua terlibat utang dengan keluarga lain. Kami ceritakan apa saja dampaknya.
Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh Achmat Hilmi selaku program officer dari Program Berdaya Rumah KitaB pada 2017, perkawinan anak jamak terjadi di Kelurahan Kalibaru. Selain karena desakan ekonomi, anak-anak juga terpaksa menikah karena hamil di luar nikah.
Hilmi menganalogikan, dari 10 anak yang menikah karena hamil di luar nikah saat itu, delapan orang di antaranya mengalami trauma. Mereka yang berhasil ditemui mengaku pernikahan mereka tidak berjalan lama.
”Delapan anak itu menolak untuk ditemui. Mereka trauma karena setelah menikah mereka kehilangan segalanya. Mereka dikeluarkan dari sekolah hingga dikucilkan di pergaulan. Yang bisa ditemui ternyata pernikahannya berakhir sebelum satu tahun,” ujarnya.
Ada beberapa hal yang memicu banyaknya kasus kehamilan yang tidak diinginkan di Kalibaru. Sebut saja ruang bermain anak yang terbatas hingga padatnya jumlah anggota keluarga dalam satu rumah.
Hal ini kerap membuat anak tidak betah di rumah. Mereka kemudian lebih banyak menghabiskan waktu dengan bergaul bersama teman atau pasangan di luar rumah. Ujungnya adalah pergaulan bebas karena minimnya kontrol orangtua.
Berdaya
Kondisi itu membuat Rumah KitaB membuat Program Berdaya di Kalibaru. Program ini hasil kerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan. Para remaja diberi pelatihan pencegahan perkawinan anak dan bahaya-bahayanya. Pelatihan serupa menyasar perwakilan orangtua di setiap RW.
”Ada juga pelatihan untuk tokoh formal dan informal. Seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala sekolah, dan pengurus kelurahan,” ujar Hilmi.
Salah satu produk pelatihan yang masih aktif sampai saat ini adalah Itaci. Meski Itaci tidak spesifik dibentuk oleh Program Berdaya, karya-karya mereka terinspirasi dari pelatihan yang diberikan dari program tersebut.
”Mereka membuat naskahnya sendiri, setelah itu dikonsultasikan kepada saya. Saya membantu mereka meluruskan bahasa-bahasanya agar tidak menyinggung orang lain,” kata Hilmi.
Baca juga: Lindungi Anak dari Informasi yang Menyesatkan
Sementara itu, pelatihan yang menyasar orangtua dan tokoh masyarakat menghasilkan sebuah deklarasi pencegahan perkawinan anak. Dalam acara deklarasi tersebut, warga juga sepakat mengubah nama salah satu gang yang dulunya menjadi tempat prostitusi di Kalibaru untuk menghilangkan stigma negatif.
”Gang sempit yang dulunya dikenal sebagai tempat prostitusi diubah menjadi Gang Berkah,” ungkapnya.
Menurut Hilmi, pekerjaan rumah kini masih menanti. Meski kasus perkawinan anak di Kalibaru tidak sebanyak empat tahun lalu, potensi masih bisa terjadi di kelurahan ataupun kecamatan lain. Khususnya di masa pandemi Covid-19 ini.
Masih ada sebagian kecil orangtua yang berniat untuk menikahkan anak mereka karena terimpit masalah ekonomi. Beberapa orangtua yang ditemui Hilmi mengaku kehilangan pekerjaan saat pandemi ini. Untuk meringankan beban keluarga, orangtua tersebut berniat menikahkan anak di usia belia.
Menurut Ketua RW 006 Kalibaru Abdul Karim, setidaknya ada 5.764 warga yang bermukim di RW 006 Kalibaru saat ini. Total ada 1.203 keluarga. Artinya, satu keluarga di RW 006 Kalibaru rata-rata memiliki 3-4 anggota keluarga. Padahal, rumah yang mereka huni relatif mungil.
”Kepadatan penduduk ini mendorong kenakalan remaja. Makanya saya keras memberikan peringatan kepada orangtua agar memperhatikan putra-putri mereka,” katanya.
Menurut Abdul, isu perkawinan anak sudah menjadi fokusnya sejak pertama kali menjabat pada 2018. Dia tidak sekadar ingin mengurangi angka perkawinan anak di RW-nya, tapi bahkan menghilangkannya. Dia berusaha menutup potensi-potensi perkawinan anak dengan berbagai upaya.
”Saya bilang ke orangtua, kalau sampai anaknya bikin masalah saya tidak akan fasilitasi jika mengajukan permohonan-permohonan. Untuk Kartu Jakarta Pintar (KJP), misalnya,” tegasnya.
Abdul mengakui, kampanye-kampanye anti-perkawinan anak yang kerap ditampilkan oleh Itaci juga memberikan pengaruh yang tak kalah besar. Menurut dia, cara semacam ini bisa lebih mengena ke warga, khususnya remaja. Dengan lenong, misalnya, remaja-remaja merasa seperti dibacakan dongeng.