Konsumsi Air Meningkat, Perbaikan Pengelolaan Mendesak Dilakukan
Selama pandemi Covid-19, pola konsumsi air masyarakat meningkat hingga tiga kali lipat dari kondisi sebelum pandemi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menuntut masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan, di antaranya dengan senantiasa mandi dan mencuci tangan menggunakan sabun. Kondisi ini membuat pola pemakaian air masyarakat meningkat tiga kali lipat dari kondisi normal. Perbaikan pengelolaan dan manajemen mutlak dilakukan agar tidak terjadi kelangkaan atau krisis air.
Hal tersebut terangkum dalam kajian ”Pola Konsumsi Air Bersih Masyarakat Selama Pandemi Covid-19” yang dilakukan Indonesia Water Institute (IWI). Kajian dilakukan pada 15 Oktober hingga 12 November 2020 dengan melibatkan 1.296 responden yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, tetapi mayoritas berada di Jawa.
Pendiri IWI, Firdaus Ali, menyampaikan, kajian tersebut disusun berdasarkan 12 indikator, di antaranya ketersediaan air, cakupan layanan air, perpipaan, kontinuitas sumber daya air, kualitas air tanah, kualitas air perpipaan, banjir, tata guna lahan, dan ketersediaan sarana sanitasi. Indikator lain meliputi kebutuhan air, tingkat pendidikan, serta daya beli air dan tingkat kepercayaan masyarakat.
Hasil kajian menyebutkan, 67 persen responden meningkatkan aktivitas mencuci tangan menjadi lebih dari 10 kali sehari atau lima kali lipat dari kondisi normal. Dalam parameter lain, aktivitas mandi dari 65 persen responden juga meningkat menjadi lebih dari tiga kali sehari atau tiga kali lipat dari kondisi normal.
”Pada riset IWI sebelum pandemi tahun 2013, pemakaian air untuk mandi responden yang mayoritas di Jakarta ini 50-70 liter per orang per hari, sedangkan saat pandemi meningkat menjadi 150-210 liter per orang per hari. Angka inilah yang membangun peningkatan kebutuhan air bersih oleh masyarakat selama pandemi,” ujarnya saat peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Kamis (11/2/2021).
Hasil kajian menyimpulkan bahwa pola pemakaian air bersih masyarakat yang disurvei meningkat hingga tiga kali lipat dari kondisi sebelum pandemi.
Firdaus menyatakan, hasil kajian menyimpulkan bahwa pola pemakaian air bersih masyarakat yang disurvei meningkat hingga tiga kali lipat dari kondisi sebelum pandemi. Peningkatan konsumsi juga diikuti dengan peningkatan belanja atau beban ekonomi masyarakat sampai 20 persen untuk membeli air bersih.
Permintaan yang terus meningkat ini, kata Firdaus, menjadi tantangan dalam penyediaan air bersih di Indonesia. Pada akhirnya, kelangkaan atau krisis air disebabkan oleh tidak tersedianya infrastruktur, perilaku buruk masyarakat dalam menjaga air, hingga penyebaran populasi yang tidak merata.
Menurut Firdaus, saat ini kemampuan sistem penyediaan air bersih sebanyak 188 meter kubik per detik baru mencakup 15.379 sambungan rumah. Kondisi ini baru mencakup 21,08 persen yang terlayani dengan air perpipaan dan 79,92 persen lainnya dari air nonperpipaan.
Tiga permasalahan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono yang turut memberikan sambutan dalam acara tersebut mengakui bahwa selama pandemi masyarakat kian bergantung pada air untuk kebutuhan mandi ataupun cuci tangan sehingga mengubah konsumsi terhadap air. Bahkan, setiap keluarga juga menyediakan sarana cuci tangan di halaman rumahnya.
Menurut Basuki, terdapat tiga hal terkait permasalahan air. Pertama, manajemen untuk air bersih tentang air baku. Manajemen pengelolaan air dipastikan keliru dan bermasalah jika ada kekurangan atau kelebihan air. Sebab, secara hidrologis jumlah air itu tetap dan tidak pernah berkurang ataupun bertambah.
”Tentang air baku ini, sekarang waduk-waduk juga airnya coklat karena ada kerusakan atau perubahan di daerah hulu. Sekarang, intensitas hidrologi yang biasanya dihitung berdasarkan return period dulu didesain Q50 dan sekarang debitnya sama dengan Q100 karena tutupan lahan berkurang sehingga banyak waduk yang meluap,” tuturnya.
Hal kedua yang perlu dibenahi dalam permasalahan air adalah tingginya air yang belum diakumulasikan (unaccounted for water/non-revenue water). Basuki menilai, hal ini menjadi masalah karena banyak permasalahan perhitungan antara jumlah pipa air dan kuitansi di salah satu perusahaan daerah air minum (PDAM).
Sementara permasalahan ketiga, menurut Basuki, terkait dengan tarif air. Ia menjelaskan, penghitungan debit air menggunakan rumus perkalian antara koefisisen, curah hujan, dan area. Hal ini akan membuat tarif air tidak akan sama karena adanya faktor koefisien yang berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain.
”Jika hal tersebut dijadikan pedoman, biaya-biaya yang dibutuhkan tidak hanya bersumber dari APBN. Akan tetapi, bisa juga melalui kerja sama badan usaha dengan nilai per meter kubik tertentu meskipun koefisiennya tetap harus dihitung dengan persetujuan dari DPRD karena menyangkut hajat orang banyak,” katanya.
Basuki berharap IWI dan sejumlah pihak terkait lain dapat bekerja sama dengan Kementerian PUPR, khususnya mengenai langkah untuk mengatasi permasalahan air bersih. Melalui diskusi dan dukungan para pakar, kebijakan yang dikeluarkan Kementerian PUPR dapat menjadi kebijakan berbasis riset dan bukan berdasarkan keputusan politik.