Media kini banyak memonetisasi konten untuk meraup pendapatan dan jumlah audiensi dibandingkan dengan strategi iklan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
DIDIE SRI WIDIYANTO
Kilasan Ekonomi Hal 9
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan media kini banyak memakai cara monetisasi konten untuk meningkatkan pendapatan dan jumlah audiensi. Tantangannya cukup berat karena survei menunjukkan, masih sedikit audiensi yang rela membayar untuk berlangganan media.
Co-founder & CCO perusahaan penyedia dompet pembayaran mikroglobal, Fewcents, Dushyant Khare, mengatakan, pendapatan dari audiensi yang berlangganan konten jadi masa depan media, menggantikan iklan. Pendapatan bersumber iklan telah lama menurun. Situasi ini dipercepat pandemi Covid-19 dan rezim cookie pihak ketiga.
Pernyataan ini juga didukung data Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel). Laporan mereka menyebut, belanja iklan di media televisi, radio, ataupun cetak turun sejak April 2020 karena terdampak pandemi Covid-19. Padahal, pada 2019 dan tiga bulan pertama 2020, pendapatan iklan masih tumbuh.
Belanja iklan di media pada Januari 2020 sebesar Rp 15,3 triliun, pada Februari Rp 17,3 triliun, dan pada Maret Rp 20,3 triliun. Pada 2019 bahkan ada pertumbuhan 10 persen sampai Rp 168 triliun dibandingkan dengan pada 2018.
”Pendapatan dari pengguna jadi pemenang karena bisa menargetkan pasar khusus dengan konten berkualitas,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan Indonesian Digital Association (IDA), Selasa (9/2/2021).
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Co-Founder & CCO Fewcents, Dushyant Khare
Namun, strategi menggarap penghasilan dari audiensi masih memiliki tantangan, yaitu tingginya keluar-masuk pelanggan (high subscriber churn). Hal ini bisa dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya kelelahan untuk berlangganan.
Menurut laporan berita digital Reuters, rata-rata orang hanya berlangganan satu berita berbayar. Biaya juga bisa jadi beban karena banyaknya pengeluaran digital. Menurut survei Statista, misalnya, rata-rata orang Indonesia pada 2021 mengeluarkan 30 dollar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 400.000 untuk pengeluaran digital.
Berdasarkan survei pada 400 responden di delapan negara, kurang dari 50 persen orang yang mau membayar untuk berlangganan media dalam periode tertentu, seperti bulanan atau tahunan. Negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, India, Jerman, Korea, Filipina, dan Indonesia.
Untuk menjembatani hal tersebut, pembayaran mikro jadi solusi. ”Pembayaran mikro memungkinkan media penerbit konten teks, audio, video, atau dokumen mengenakan biaya per konten,” ucap Dushyant.
Dari survei sama yang dilakukan November 2020 ditemukan bahwa 86 persen responden dari sejumlah negara asal dan usia mau menikmati konten premium dengan pembayaran mikro.
Survei tersebut juga memetakan jenis konten yang rela dibayar oleh audiensi dengan pembayaran mikro. Responden global cenderung mau membayar konten kategori masakan, makanan dan minuman, kesehatan dan kebugaran, pariwisata, olahraga, berita lokal, serta keuangan dan investasi.
KOMPAS/M FAJAR MARTA
Tampilan laman Kompas.id, salah satu situs berbayar di Indonesia
Di Indonesia, responden mau membayar untuk konten bertema masakan, makanan dan minuman, kesehatan dan kebugaran, gawai, serta pariwisata.
Adapun responden Indonesia dan negara berkembang yang disurvei lainnya cenderung memakai dompet digital (32 persen) dan online banking (37 persen) daripada kartu kredit (28 persen) sebagai alat pembayaran. Sebaliknya, responden di negara maju yang disurvei cenderung memilih kartu kredit (44 persen) dan online banking (40 persen) daripada dompet digital (16 persen).
Keuntungan monetisasi
Strategi pembayaran mikro untuk mengakses konten berbayar kini digunakan media daring, seperti DailySocial.id. Media yang didirikan sejak 2008 itu baru-baru ini meninggalkan strategi iklan yang pernah dijajal sejak 2014.
Founder & CEO DailySocial.id Rama Mamuaya mengakui, pendapatan dari iklan perlahan menurun. Selain itu, rasio klik-tayang (CTR) iklan di media mereka maksimal 1 persen. Kini, mereka mencoba strategi berlangganan kendati sempat mendapatkan resistensi dari pemangku kepentingan.
”Saat kami melakukan ini, sempat takut jumlah pelanggan akan turun. Di satu sisi, kami masih punya konten gratis. Namun, ternyata jumlah yang berlangganan tetap bisa terus naik,” kata Rama.
Media yang fokus menghadirkan konten gaya hidup dan teknologi digital tersebut menghadirkan tiga skema berlangganan. Pertama berlangganan tahunan dengan biaya sekitar Rp 1 juta, bulanan Rp 150.000, dan bayar per artikel Rp 3.000-Rp 50.000.
Rama mengungkapkan, sejak akhir 2020 hingga saat ini, tingkat bayar per tayang di media mereka mencapai 12 persen dan tingkat konversi dari pembaca gratis ke berlangganan 14 persen dengan pertumbuhan bulanan 25 persen.
Tangkapan Layar Zoom
Founder & CEO DailySocial.id Rama Mamuaya
Pencapaian yang terbilang masih rendah tersebut diakui terjadi karena masalah pada sistem UX (pengalaman pengguna) serta sistem pembayaran berlangganan yang harus mendukung dompet digital dan transfer bank.
Di satu sisi, strategi monetisasi tersebut semakin mendorong peningkatan kualitas konten. ”Saat ini, kami tidak lagi membuat atau meniru konten yang sedang banyak orang perbincangkan, tetapi membaca tren data untuk menghasilkan konten bermutu,” katanya.