Program Kampus Mengajar di daerah tertinggal mendapat sambutan baik dari sebagian mahasiswa. Mereka berharap bisa berbagi ilmu ke siswa SD.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah mahasiswa antusias dengan tawaran pemerintah untuk mengajar di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Mereka bakal menjadikan program Kampus Mengajar sebagai laboratorium sosial dan mempraktikkan pengetahuan yang didapat selama di kampus.
Pendaftaran program Kampus Mengajar angkatan pertama berlangsung 9-21 Februari 2021. Setelah itu, proses seleksi 22 Februari-12 Maret 2021, pembekalan 15-21 Maret 2021, dan penugasan 22 Maret-25 Juni 2021. Setelah itu, mereka kembali ke kampus. Mahasiswa bisa mendaftar melalui http://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id/auth/register.
Program 3T diutamakan bagi mahasiswa minimal sudah semester V. Mahasiswa yang ikut program ini akan mendapat konversi satuan kredit per semester (SKS) sampai dengan 12 SKS. Mereka pun mendapat bantuan biaya hidup per bulan dan potongan uang kuliah tunggal (UKT).
Adapun sekolah dasar (SD) sasaran diprioritaskan ada di wilayah 3T dan dekat dari tempat tinggal mahasiswa. SD tujuan diprioritaskan berakreditasi C.
Yosi Anggraini (21), mahasiswa semester X Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, baru saja mendaftar program ini. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) ini berdomisili di Kepulauan Mentawai, satu-satunya daerah tertinggal di Sumatera Barat.
”Program ini pas sekali. Aku kan mendapat beasiswa ikatan dinas dari lembaga swasta yang mengharuskan untuk mengajar setahun di salah satu SD terpencil di Siberut Selatan, Mentawai, setelah wisuda. Jadi, ya, ini semacam persiapan sebelum mengajar di sana. Mudah-mudahan lulus (seleksi),” katanya, ketika dihubungi Rabu (3/2/2021).
Menurut Yosi, SD di sekitar rumahnya kewalahan selama pandemi Covid-19. Berdasarkan pengalamannya ketika magang di sebuah SD di Siberut Utara tahun lalu, pembelajaran jarak jauh (PJJ) tak efektif karena banyak murid bermain gim. Para orangtua mengeluh karena tak mampu mengendalikan anak yang kecanduan gawai.
Saat ini, dia melanjutkan, pola pembelajaran SD di sekitar rumahnya beragam. Ada SD yang belajar tatap muka selama tiga hari dan PJJ tiga hari. Ada pula SD yang selama seminggu penuh belajar tatap muka dengan pembagian sif.
Jika lolos seleksi 3T, Yosi berencana untuk mengajar anak-anak di luar ruangan. Setiap anak dibagi per kelompok, maksimal 10 orang. Selain untuk memperkecil risiko penularan virus korona baru, belajar di luar ruangan juga akan memberikan suasana baru untuk siswa.
”Tantangan terbesar itu adalah membatasi kecanduan mereka terhadap gawai. Makanya, nanti aku tawarkan ke sekolah untuk mengajar siswa di pinggir pantai. Kan, tempatku di pinggir pantai,” katanya lagi.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Papua, Vallentinus Mafiti (23), juga sudah mendaftar program ini. Jika lulus, mahasiswa jurusan Jurnalistik ini akan membantu pelajaran Bahasa Indonesia.
Menurut dia, anak-anak Papua perlu belajar Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, ada masanya anak-anak Papua akan meninggalkan kampung halaman. Dengan memperbaiki bahasa Indonesia, mereka akan mudah bersosialisasi dengan orang lain.
Di Nusa Tenggara Timur, mahasiswa Universitas Timor, LambertusNesi Bria (22), akan mengajarkan nilai-nilai sosial yang tergerus oleh zaman. Menurut dia, banyak anak yang begitu saja menggunakan berbagai aplikasi terkini tanpa memedulikan sopan santun.
”Perilaku kita mengikuti perkembangan zaman. Tetapi, nilai-nilai sosial, seperti tenggang rasa dan toleransi, kadang luput diajarkan. Lihat saja anak-anak yang main Tiktok. Kadang konten mereka bisa saja menyinggung orang lain,” jelasnya.
Tantangan terbesar itu adalah membatasi kecanduan mereka terhadap gawai. Makanya, nanti aku tawarkan ke sekolah untuk mengajar siswa di pinggir pantai.
Sementara itu, mahasiswa Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur, Rezkhy Ully (23), mengikuti program ini untuk merasakan tantangan mengajar di SD pelosok yang minim fasilitas. Meski besar di provinsi yang banyak memiliki daerah tertinggal, selama ini Rezkhy selalu sekolah di kota. Jadi, fasilitas selalu lengkap.
”Ini akan menjadi kesempatan langka untuk mengajar dengan berbagai keterbatasan. Melihat sisi lain pendidikan Indonesia yang mungkin masih banyak yang perlu dibenahi,” ujar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris ini.
Perlu kompetensi
Dihubungi terpisah, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Diponegoro Budi Setiono menjelaskan, program pembekalan untuk mahasiswa yang mengikuti Kampus Mengajar harus sungguh-sungguh. Sebab, pengajar membutuhkan kompetensi tertentu. Mereka harus belajar metode pembelajaran, mengerti cara menyusun materi, dan menetapkan target pembelajaran.
Para mahasiswa juga harus dibekali pengetahuan tambahan mengenai karakteristik wilayah 3T. Menurut dia, fasilitas di wilayah tersebut sudah pasti tak selengkap laboratorium di kampus. Mahasiswa harus bisa beradaptasi. ”Kalau mahasiswa tak siap, bukannya bisa membantu, nanti malah merepotkan,” ujarnya.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas berpendapat, masa penugasan yang hanya tiga bulan itu tak akan efektif mengatasi persoalan guru di sekolah wilayah 3T. Sebab, waktu itu hanya cukup untuk sosialisasi dengan lingkungan sekolah dan persiapan mahasiswa dalam mengajar. Belum lagi pengenalan wilayah sekitar.
Kalau mahasiswa tak siap, bukannya bisa membantu, nanti malah merepotkan.
Ini karena mahasiswa bukan tenaga profesional. Mereka masih dalam tahap belajar. Jadi, akan butuh waktu lama untuk beradaptasi di depan kelas. Dia menawarkan agar pemerintah membuat ikatan dinas dengan calon sarjana lulusan terbaik di berbagai universitas di Indonesia. Minta mereka mengajar sedikitnya lima tahun di wilayah 3T. Ini dinilai lebih konkret dibandingkan dengan Kampus Mengajar yang hanya akan memboroskan anggaran, tapi tak begitu berdampak terhadap sekolah di wilayah 3T.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam menyatakan, 25.000 mahasiswa sudah mendaftarkan diri hingga hari ini. Program ini diprioritaskan di daerah 3T lantaran SD-SD di wilayah itu masih perlu ditingkatkan mutunya. Namun, tak tertutup kemungkinan wilayah non-3T juga masih memiliki SD berakreditasi C. Oleh sebab itu, mahasiswa yang di tempat tinggalnya terdapat SD berakreditasi C juga bisa mengikuti program ini.