Secuplik Kisah Hijrah Muslim Perkotaan
Perjalanan spiritual menjadi pengalaman yang khas bagi setiap orang. Salah satunya mereka yang memilih hijrah. Hijrah pun beragam macamnya, termasuk mereka yang adaptif terhadap modernitas.
Perjalanan spiritualitas Melisa (30) penuh warna. Beberapa tahun lalu, dia masih bekerja di bidang keuangan, sebuah fase hidup yang dia sebut masa ”bergelimang riba”. Kini, dia dan keluarga memilih hijrah.
Ibu dua anak yang tinggal di Batam, Kepulauan Riau, ini bercerita, perubahan cara beragama dimulai pada 2015. Saat itu, suaminya pulang kampung ke Sumatera Barat. ”Di kampung, suami bertemu dengan teman SMA. Temannya itu sudah berhijrah, menjalankan semua perintah Al Quran dan sunah nabi,” katanya ketika dihubungi, Selasa (2/2/2021).
Lebih kurang tiga bulan intens berdiskusi dengan teman SMA, suami Melisa mulai memanjangkan jenggot dan menggunakan celana cingkrang. Ketika itu, Melisa belum berkerudung. ”Waktu itu, ibu saya sampai marah. Dia menganjurkan saya paling tidak pakai penutup kepala. Kan malu, suami sudah mulai mengerjakan sunah nabi, tetapi saya masih seperti dulu saja,” ujarnya.
Perlahan, Melisa pun mulai mengenakan jilbab. Awalnya, dia merasa gerah dan repot. ”Setiap keluar rumah harus pakai. Biasanya tinggal kuncir rambut, langsung deh jalan,” tambahnya.
Baca juga : Membicarakan Motif Gerakan Hijrah Kontemporer
Seiring berjalannya waktu, Melisa mulai betah mengenakan jilbab. Dari jilbab biasa, dia beralih ke jilbab yang lebih lebar. Kini, dia sudah betah mengenakan cadar. ”Perasaannya sekarang menjadi lebih tenang saja batinnya, meski di awal mengenakan cadar sempat minder dan harus menghadapi pandangan yang tidak mengenakkan dari orang di sekitar,” ujarnya.
Menurut dia, hijrah adalah ikhtiar untuk lebih serius beribadah. Selain itu, hijrah mengharuskan Muslim untuk mengikuti semua yang pernah dilakukan nabi (sunah). Dia prihatin masih ada saja orang berpandangan perempuan bercadar dengan kelompok teroris. Padahal, lanjutnya, dia dan suami hanya menjalankan sunah.
”Sampai sekarang, ayah saya masih belum bisa menerima saya bercadar. Dia bilang saya mirip teroris. Padahal, enggak ada hubungannya,” katanya.
Melisa menikah tahun 2014. Sebelum menikah, dia pernah bekerja di tiga perusahaan keuangan. Perusahaan terakhir tempatnya bekerja terpaksa ditinggalkan karena perusahaan tersebut belum membolehkan hamil pada tahun pertama bekerja.
”Waktu itu, saya belum hijrah dan baru bekerja tiga bulan. Perusahaan membolehkan menikah, tetapi belum boleh punya anak hingga setahun bekerja. Tapi, calon suami mau langsung punya anak, makanya berhenti,” ujarnya.
Setelah hijrah, dia meyakini bahwa praktik bisnis di perusahaan keuangan merupakan riba dan dilarang agama. ”Duh, kalau ingat dulu, saya itu bekerja di tempat yang bergelimang riba,” ungkapnya.
Kini, perekonomian keluarga Melisa bergantung pada suaminya yang berprofesi sebagai tukang servis printer. Mereka juga tak lagi berurusan dengan bank. Jika butuh uang, mereka meminjam kepada saudara. ”Alhamdulillah, kalau sudah hijrah, ada saja jalan untuk terhindar dari riba,” katanya.
Hariadi Nugraha Akbar (29), pelaut yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, hijrah enam tahun lalu. Waktu itu, dia sedang menjalani semester akhir di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran.
Akbar sedang galau waktu itu. Tujuh tahun pacaran, dia merasa bergelimang dosa. Lalu, dia menceritakan hal ini kepada temannya yang menjadi pengurus kerohanian Islam (rohis) di kampus. ”Di sini saya tercerahkan, ternyata Islam itu luas sekali ajarannya. Tak sesederhana guru saya di sekolah. Banyak aturan sunah yang selama ini belum dijalankan,” ujarnya.
Berhijrah, Akbar pun mulai memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang. Tahun 2015, dia mulai bekerja di kapal. Pada masa ini, hubungan asmaranya mulai memburuk. Si pacar merasa Akbar tak lagi mesra seperti dulu. ”Mungkin karena kami sudah tujuh tahun pacaran. Jadi, dia ingin komunikasinya harus selalu intens. Sementara saya baru kerja di kapal, enggak enak juga sama teman-teman sejawat di kapal. Akhirnya kami memutuskan untuk udahan,” ungkapnya.
Setelah beberapa tahun berlayar ke banyak tempat, Akbar mengakhiri masa lajang pada 2018. Dia dijodohkan oleh teman di satu komunitas pengajian. Tak butuh waktu lama baginya untuk meminang perempuan itu. Selepas shalat Jumat, Akbar mengunjungi rumah perempuan itu di Bogor, Jawa Barat. ”Alhamdulillah, diterima,” katanya.
Menurut Akbar, beragama dengan menjalani sunah nabi banyak tantangannya, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Keluarga Akbar, misalnya, belum menerima perubahannya. ”Saya selalu memberi pengertian kepada mereka. Sekarang, mereka sudah menerima, tetapi tidak mau mengikuti. Ya sudah, ini soal keyakinan, tak bisa dipaksakan,” ujarnya lagi.
Di sisi lain, Akbar bekerja di lingkungan beragam. Pekerja kapal terdiri dari orang-orang dengan latar belakang negara dan agama yang beragam. Atasannya pernah menganjurkan agar dirinya tak memanjangkan jenggot agar pekerja lain tak risi. Namun, Akbar bergeming. Dia lebih baik berhenti daripada tak mengikuti sunah. ”Memang harus pintar-pintar membawa diri. Yang penting saya tidak mengganggu dan tidak membenci mereka,” katanya.
Dalam konteks pemerintahan, Akbar tak mempermasalahkan sistem demokrasi yang berlangsung saat ini. Di pengajian, materi lebih fokus pada tema terkait ibadah dan sunah. Dia juga tak tertarik membahas diskusi yang berhubungan dengan politik. ”Saya mendukung semua program pemerintah selama tidak sampai melarang kami dalam beribadah,” katanya.
Konversi agama
Penelitian bertajuk ”Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer” oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan, hijrah merupakan bagian dari konversi keagamaan yang bersifat intensifikasi terhadap keyakinan yang bergeser dari pengalaman atau praktik individual ke komunal. Gerakan hijrah berkembang di kelas menengah urban, terutama generasi muda.
Baca juga : Nahdlatul Ulama: Indonesia Bukti Islam Berdemokrasi
Sebagian dari komunitas hijrah termasuk konservatif. Mereka menolak penafsiran ulang modernis, liberal, ataupun progresif terhadap ajaran Islam. Kelompok ini juga menolak gagasan kesetaraan jender, tantangan terhadap otoritas yang mapan, serta pendekatan hermeneutis modern terhadap kitab suci. Sementara itu, ada pula yang tergabung dalam kelompok Islamisme. Ini merujuk pada kelompok yang mempromosikan negara berdasarkan tatanan Allah, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat.
Perubahan simbol ini tidak semata-mata tuntutan agama, tetapi lebih untuk menjadi identitas pembeda dengan masa lalu mereka yang katakanlah kelam.
Direktur Eksekutif PPIM Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ismatu Ropi, ketika dihubungi pada Rabu (3/2/2021), menjelaskan, gerakan hijrah menuntut konversi cara beragama. Mereka yang hijrah akan meninggalkan kehidupan masa lalu dan menjalani kehidupan yang sama sekali baru.
Ini salah satunya ditandai dengan perubahan perilaku ataupun tampilan. Secara perilaku, mereka menjadi lebih taat dalam menjalankan ibadah. Pakaian pun berubah dengan mengenakan celana cingkrang bagi laki-laki dan cadar untuk perempuan.
”Perubahan simbol ini tidak semata-mata tuntutan agama, tetapi lebih untuk menjadi identitas pembeda dengan masa lalu mereka yang katakanlah kelam,” ujarnya.
Banyak ragam
Di Tanah Air, gerakan hijrah yang mengusung paham salafime banyak pula ragamnya. Ada gerakan yang sepenuhnya menutup diri dari masyarakat. Kelompok dengan kecenderungan takfiri ini sangat konfrontatif. Mereka memaksakan paham dan keyakinannya kepada orang lain. Dengan kondisi Indonesia yang masyarakatnya memiliki cara beragama beragam, kehadiran kelompok ini menjadi masalah.
Namun, dia melanjutkan, gerakan hijrah kontemporer yang sedang berkembang pada generasi muda Muslim perkotaan tidak konfrontatif. Gerakan ini mengajak anak muda kembali ke agama secara karitatif.
Para anggotanya pun lebih adaptif terhadap moderinitas. Mereka tak alergi dengan teknologi.
”Gerakan ini memberikan penyadaran dan identitas baru sebagai Muslim kepada generasi muda yang selama ini tak mendapat perhatian. Kajian-kajian mereka pun biasanya tidak mendalam. Dan karena itu, banyak sekali kalau yang lebih ingin mendalami lebih lanjut memilih gabung ke pesantren atau komunitas salafisme yang tradisional,” katanya.
Jika dalam perubahan terjadi ketegangan dalam keluarga, seperti cerita Melisa dan Akbar, Ismatu menyarankan kehadiran orang ketiga. Orang ketiga ini diharap bisa memberikan pandangan yang mendamaikan.
”Orang yang bisa menjelaskan bahwa cara pandang mereka yang hijrah boleh jadi tak sepenuhnya salah. Cuma, harus diingat bahwa agama tak seperti itu semua. Harus dilihat juga yang dikatakan orangtua atau anggota keluarga lain, boleh jadi itu perspektif yang berbeda,” tuturnya.