Di antara anak-anak jalanan, ada tangan-tangan yang berupaya membantu mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain memberikan pendapatan, rasa kekeluargaan juga andil mengubah kebiasaan turun ke jalan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Yayasan Kumala di Jakarta Utara mengubah anak-anak jalanan yang dianggap meresahkan menjadi bernilai di kalangan masyarakat. Mereka bukan sekadar mengubah nasib sendiri, melainkan juga menularkan aura positif di sekitar dengan keterampilan daur ulang kertas.
Pada periode 2001-2006, Saiful Rahman (33) banyak menghabiskan waktunya di jalanan untuk mengamen. Pria yang akrab dipanggil Ipul ini mulai turun ke jalan sejak duduk di bangku SD. Awalnya dia hanya mengikuti ajakan teman, tetapi lama-kelamaan ketagihan. Saat itu ia mengaku bisa mendapatkan uang Rp 100.000-Rp 150.000.
Hal itu tidak lantas membuatnya puas. Pada tahun 2004, selain mengamen, Ipul juga pernah bergabung dengan komplotan pencuri mobil dan berperan memodifikasi mobil hasil curian. Dari situ, dia bisa mendapatkan bayaran hingga Rp 2 juta per mobil.
Gemerlap dunia jalanan itu seketika dia tinggalkan saat salah satu pengurus Yayasan Kumala mendatanginya pada tahun 2006. Saat itu pengurus berjanji akan membekali Ipul keterampilan mendaur ulang kertas bekas. Yayasan Kumala adalah sebuah yayasan sosial di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang bergerak memberdayakan anak-anak jalanan.
”Saya langsung mau. Penasaran juga. Padahal, kalau dipikir-pikir, saya waktu itu sudah gampang cari uang. Begitu di yayasan saya baru sadar ternyata risiko pekerjaan saya sebelumnya sangat besar,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Pada pekan pertama, Ipul mengaku hanya mendapatkan imbalan Rp 2.500 untuk satu kali pelatihan. Nilai yang cukup jauh jika dibandingkan dengan pendapatannya ketika masih mengamen. Namun, di sana dia mengaku dihargai sebagai sebuah keluarga. Sebuah hal yang tak pernah dia dapatkan saat hidup di jalanan.
Setelah belasan tahun bergabung dengan Yayasan Kumala, kesabaran Ipul berbuah manis. Dari yang awalnya hanya bisa memotong pelepah daun pisang untuk bahan baku kertas, kini dia sudah menjadi pelatih daur ulang. Dia bahkan sudah mendampingi sejumlah komunitas dari beberapa daerah, seperti Riau dan Bali.
”Sekarang, dalam satu bulan saya bisa dapat Rp 5 juta. Saya juga bisa menikah dan punya satu anak. Mertua yang tadinya mencibir pelan-pelan bisa saya percaya dengan pekerjaan saya. Saya yang dulunya sampah masyarakat bisa seperti sekarang,” ujar pria yang kini menjadi pengurus Yayasan Kumala.
Yayasan Kumala juga mengubah nasib Muhammad Irfan (23) yang sebelumnya berprofesi sebagai sopir angkot di kawasan Tanjung Priok. Pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupannya. Bukan hanya tersisih dari pekerjaan, dia bahkan harus bercerai dengan sang istri. Masalah ekonomi menjadi pemicunya.
Setelah tak mampu membayar biaya kontrakan, Irfan sempat berbulan-bulan tidur di Pasar Ular Permai di Jakarta Utara bersama penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya. Siangnya, dia bergabung bersama anak-anak jalanan untuk mengamen.
”Dapat Rp 100.000 biasanya, tapi itu susah banget karena pas awal-awal pandemi banyak warung pada tutup,” katanya.
Dia dan belasan anak jalanan lainnya kemudian mendatangi Yayasan Kumala dan tertarik belajar daur ulang di sana. Kedatangan mereka ke sana awalnya untuk meminta makan. Kebetulan, saat itu Yayasan Kumala sedang menyediakan dapur umum bagi anak-anak jalanan dan pemulung.
Dari belasan anak jalanan yang saat itu tertarik untuk belajar daur ulang kertas, saat ini hanya tersisa tiga orang termasuk Irfan. Sejak enam bulan terakhir, Irfan tinggal di rumah Yayasan Kumala dan mendapat gaji.
”Enggak penting nilainya, yang penting saya bisa dapat uang buat beli makan,” ungkapnya.
Bukan hanya uang
Yayasan Kumala didirikan pada tahun 2008 oleh Dindin Komarudin (48) yang saat ini juga menjabat sebagai ketua yayasan. Nama Kumala merupakan kepanjangan dari Kreatif, Usaha, Mandiri, Alami. Yayasan ini terbuka untuk para anak-anak jalanan yang ingin meninggalkan dunia jalanan dan beralih menjadi pekerja kreatif.
Menurut Dindin, yayasan ini dibentuk untuk memberdayakan anak-anak jalanan menjadi pekerja industri daur ulang kertas rumahan. Pada awal terbentuknya, yayasan ini diisi oleh sekitar 23 anak-anak jalanan. Kini, hanya tersisa 10 anak jalanan. Namun, mereka sejatinya adalah trainer atau pelatih.
Yayasan Kumala telah melebarkan sayap dengan membentuk basis-basis komunitas rumah produksi di berbagai daerah seperti Jakarta, Sukabumi, Bandung, hingga Luwuk di Sulawesi Selatan. Anggota-anggota komunitas tersebut selama ini dilatih oleh mantan anak-anak jalanan di Yayasan Kumala.
”Komunitas-komunitas ini ada yang dari anak-anak jalanan, ada juga yang kelompok disabilitas,” katanya.
Kertas-kertas hasil daur ulang Yayasan Kumala sudah dilirik oleh sejumlah perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut meminta kepada Yayasan Kumala untuk mengemas suvenir-suvenir perusahaan dengan kertas hasil daur ulang mereka.
Teranyar, sebuah perusahaan asal Amerika Serikat memesan kertas daur ulang dari Yayasan Kumala sebagai kemasan mug dan tumbler berlabel perusahaan mereka. ”Pesanan ini datang saat pandemi. Saat anak-anak kesulitan memasarkan barang dan beralih ke pasar daring,” ujar Dindin.
Menurut Dindin, bukan perkara yang mudah untuk meyakinkan anak-anak jalanan agar mau bergabung dengan Yayasan Kumala. Selama ini banyak anak jalanan yang hanya sekadar mampir karena pertimbangan ekonomi. Mereka beranggapan bahwa pendapatan saat menjadi pengamen jauh lebih besar dibandingkan menjadi pendaur ulang.
Sementara anak-anak jalanan yang masih bertahan menganggap Yayasan Kumala adalah rumah. Uang bukan menjadi prioritas utama bagi mereka.
”Saya juga heran kenapa mereka mau bertahan di sini. Ternyata mereka sudah menganggap orang-orang di sini sebagai keluarga. Di sini mereka bisa mencari uang tanpa intimidasi. Tidak seperti di jalan,” ungkapnya.
Alasan ini yang membuat Dindin enggan menjadikan Yayasan Kumala sebagai rumah singgah. Pada awal berdiri pada 2008, Yayasan Kumala memang pernah menjadi rumah singgah. Karena banyak anak jalanan yang sekadar mampir, label ini kemudian diubah menjadi rumah kreatif.
”Saya enggak mau kalau mereka cuma mampir. Saya mau mereka berdaya juga di sini. Makanya saya ganti rumah singgah dengan rumah kreatif,” ujarnya.
Kreativitas Yayasan Kumala terus dikembangkan. Sebelumnya, yayasan ini juga telah mendirikan bank sampah dengan menggandeng para pemulung. Kini, mereka mulai berinovasi kembali dengan membuat lilin dari minyak jelantah, misalnya.
Menurut Dindin, sampai kapan pun Yayasan Kumala masih terbuka bagi anak-anak jalanan yang ingin bangkit dari jerat kemiskinan. Terbukti, yayasan ini telah berhasil mengubah kalangan yang merasa dirinya sebagai ”sampah” masyarakat menjadi bernilai. Seperti halnya sampah kertas yang mereka ubah menjadi ”emas”.