Repotnya Menyalurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Tengah Pandemi
Tidak mudah menyalurkan bantuan untuk korban gempa, longsor, banjir, dan erupsi gunung berapi di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
Di bawah bayang-bayang pandemi Covid-19, para sukarelawan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) tetap bergerak untuk menyalurkan bantuan dari pembaca Kompas. Dalam situasi seperti ini, proses penyaluran bantuan menjadi jauh lebih menantang karena harus mempertimbangkan pandemi.
Akhir November 2020, Gunung Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, erupsi. Kolom abu vulkanik membubung sekitar 200 meter di atas puncak gunung pada Kamis (3/12/2020). Peristiwa itu memaksa lebih dari 7.000 warga yang tinggal di sekitar zona bahaya mengungsi. Berdasarkan data BPBD Kabupaten Lembata pada 2 Desember 2020, pengungsi tersebar di 20 pos penampungan dan rumah-rumah penduduk.
Di Jakarta, Yayasan DKK menerima permohonan bantuan darurat untuk para pengungsi. Manajer Eksekutif Yayasan DKK Anung Wendyartaka menceritakan, pengurus segera merespons permohonan tersebut. Namun, di tengah bayang-bayang pandemi Covid-19, DKK berhitung berkali-kali untuk mengirim tim ke Lembata. ”Saat pandemi belum terkendali, sangat berisiko mengirim tim dari Jakarta,” cerita Anung, Kamis (14/1/2020), di Jakarta.
Beruntung Yayasan DKK memiliki jaringan ke unit-unit usaha di bawah Kompas Gramedia (KG) yang tersebar di sejumlah daerah. Maka, pengurus DKK di Jakarta mengontak beberapa unit usaha KG yang ada di NTT. Dari situ, akhirnya disepakati bantuan pembaca akan disalurkan melalui Gramedia Maumere.
”Maumere dipilih karena lokasinya lebih dekat ke Lembata. Awalnya khawatir juga karena penyaluran bantuan harus segera. Tapi, karena ini untuk kemanusiaan, kami menyatakan siap,” ujar Gabriel Ivon Soraya, Store Manager Gramedia Maumere, yang baru pertama kali menjadi sukarelawan DKK.
Ivon pun menyiapkan timnya yang berjumlah 12 orang. Saat itu, ia belum mendapat daftar barang yang mesti dibeli untuk disalurkan kepada pengungsi. ”Waktu daftarnya saya terima, ternyata barang yang mesti dibeli banyak sekali. Bagaimana mencari barang sebanyak itu di kota kecil seperti Maumere dalam waktu singkat di tengah pandemi?” kenang Ivon.
Daftar barang yang mesti dibeli, antara lain, adalah bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari, pakaian dalam, buku bacaan, dan masker.
Rebutan barang
Meski agak ragu, Ivon dan tim segera bergerak. Mereka mengontak beberapa toko besar di Maumere. Pada saat yang sama, sejumlah lembaga yang juga akan menyalurkan bantuan untuk pengungsi Lewotolok juga mencari barang yang sama. ”Kami kayak rebutan barang, Mas. Padahal, stok barang yang ada terbatas. Beruntung akhirnya kami mendapatkan bahan kebutuhan pokok dengan bantuan Bulog. Itu pun stok terakhir,” tutur Ivon.
Tim Ivon juga berhasil mendapatkan pakaian dalam. Namun, mereka tidak berhasil mendapatkan masker sehingga kebutuhan masker standar mesti dipasok dari Jakarta.
Stok barang di kabupaten kecil seperti Maumere memang terbatas. Stok barang biasanya dipasok dari Surabaya atau Makassar melalui jalur laut. Namun, pada akhir November cuaca sedang tidak bersahabat dan pandemi belum juga terkendali. Akibatnya, kapal yang membawa pasokan barang ke Maumere sering terhambat.
Setelah semua barang diperoleh, Ivon dan tim menghadapi tantangan lain, yakni mengepak barang. Dalam situasi normal, pengepakan barang bisa dilakukan dengan lancar. Namun, saat pandemi dan penjarakan sosial digalakkan, proses ini jadi lebih rumit. Ivon mesti menggerakkan karyawan Gramedia yang sebagian sedang bekerja dari rumah. Selain itu, kegiatan pengepakan mesti memperhatikan protokol kesehatan selama pandemi.
”Kami mesti lembur Mas. Setelah tiga hari, pengepakan selesai. Lalu muncul lagi persoalan baru, yakni kami mesti mencari truk untuk mengangkut,” katanya. Ternyata tidak mudah mencari truk yang menganggur saat itu. Beruntung ada toko yang meminjamkan dua truk untuk mengangkut semua bantuan ke lokasi pengungsi.
Bantuan dibawa melalui jalur darat terlebih dulu menuju Larantuka yang ditempuh dalam waktu enam jam. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan kapal menuju Lembata. Pada akhirnya, bantuan tersebut berhasil diserahkan sukarelawan dari Toko Gramedia Maumere dan Biro Kompas TV Flores kepada pengungsi.
Dua pekan sebelumnya, tim DKK juga menyalurkan bantuan pembaca Kompas kepada warga yang terdampak erupsi Merapi di Jawa Tengah dan Yogyarkarta. Pada pekan yang sama, tim DKK lainnya bergerak ke Cilacap untuk menyerahkan bantuan kepada warga yang mengungsi akibat bencana banjir.
Bencana di awal tahun
Baru saja tahun berganti, bencana alam kembali terjadi di beberapa lokasi, antara lain longsor di Sumedang, gempa bumi di Mamuju dan Majene, serta banjir besar di banyak wilayah di Kalimantan Selatan. Bencana yang memakan banyak korban jiwa dan membuat belasan ribu orang mengungsi itu segera direspons oleh para pengurus Yayasan DKK.
Pada Sabtu (16/1), sukarelawan dari Jakarta dan Bandung telah bergerak ke lokasi longsor di Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat, untuk menyalurkan bantuan pembaca senilai Rp 50 juta dalam bentuk alas tidur, bantal, selimut, masker, sarung tangan, obat-obatan dan vitamin, keperluan pribadi, kantong sampah, dan lain-lain. Bantuan telah diserahkan secara resmi, Minggu (17/1), dan diterima Ahmad Aradea, Sekretaris Kecamatan Cimanggung merangkap Penanggung Jawab Posko Logistik.
Selain itu, Yayasan DKK menyiapkan sukarelawan untuk diberangkatkan ke lokasi bencana di Majene-Mamuju dan Kalsel. Untuk bantuan tahap pertama, DKK mengalokasikan dana masing-masing Rp 200 juta.
Bayang-bayang pandemi
Pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan yang lebih berat di lokasi bencana. Para korban, selain harus mengungsi dan hidup dalam ketidakpastian akibat bencana, juga harus menghadapi ancaman tertular Covid-19. ”Kondisi ini juga dihadapi tim DKK yang harus datang ke lapangan guna memastikan bantuan tersalurkan dengan baik. Protokol kesehatan mutlak dipenuhi guna memastikan tidak terjadi penularan Covid-19,” ujar Direktur Yayasan DKK Tomy Nugroho di Jakarta.
Pada situasi normal, lanjut Tomy, Yayasan DKK akan dengan cepat mengirim tim begitu mendengar terjadi bencana besar. Saat pandemi seperti sekarang, pengiriman tim dan bantuan harus dipersiapkan lebih matang. Sukarelawan yang dikirim, misalnya, harus dipastikan kesehatannya. Selain itu, mereka harus menjalani tes usap antigen sebelum berangkat ke lokasi bencana dan ketika pulang. Pengepakan barang dan pengirimannya juga mesti memperhatikan protokol kesehatan.
Sukarelawan DKK, Rendra Sanjaya, menceritakan, tidak selalu muda menjalankan protokol kesehatan ketika bertugas di lokasi bencana. ”Saya mencoba disiplin memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak. Tapi, di lokasi pengungsi banyak pengungsi dan perangkat desa yang kurang disiplin dengan protokol,” kata Rendra yang menyalurkan bantuan pembaca kepada pengungsi di Merapi dan pengungsi korban longsor di Sumedang.