Aktivitas anak di rumah saja nyatanya tidak cukup melindungi mereka dari ancaman penularan Covid-19. Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi di awal tahun 2021, pengujian dan pelacakan kontak harus ditingkatkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas anak di rumah saja ternyata tidak cukup melindungi mereka dari ancaman penularan Covid-19. Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi pada awal 2021, pengujian dan pelacakan kontak Covid-19 terhadap anak harus ditingkatkan.
Herman (34), warga Cimanggis, Depok, Jawa Barat, tidak menyangka rumahnya belum cukup aman bagi anak-anaknya untuk terlindung dari ancaman penularan Covid-19. Belum lama ini, keponakan yang juga tetangganya terkonfirmasi positif Covid-19 setelah mengalami gejala kehilangan indera perasa.
Keponakan berusia 20 tahun itu sebelumnya biasa bermain dengan putra sulungnya, Deniz Rafa, yang masih berusia 7,5 tahun. Sejauh yang ia ingat, keduanya kerap bersama untuk membuat konten video pendek di sela waktu mereka yang lebih banyak dihabiskan di rumah saja, termasuk untuk bersekolah. Interaksi tersebut terjadi ketika anak dan keluarganya tidak mengenakan masker saat di rumah.
Sementara itu, ia mengaku keluarganya sudah memproteksi diri dengan mengonsumsi suplemen vitamin dan menerapkan 3M ketika keluar rumah. Herman, yang berprofesi sebagai pekerja media swasta, juga sudah lama bekerja dari rumah dan menemani istri yang hanya ibu rumah tangga.
”Walaupun kita sudah jaga (diri), ternyata enggak juga menjamin karena lingkaran keluarga kita juga bisa ke mana-mana,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Rabu (6/1/2021).
Kini, Herman dan keluarga telah sebelas hari mengisolasi diri secara mandiri di rumah, sebagaimana saudara mereka yang terinfeksi. Sejauh ini, tidak ada satuan tugas atau perangkat daerah yang melacak dan mengajak mereka melakukan tes Covid-19. Herman pun mengaku belum berani mengetes anggota keluarganya karena takut tertular saat pergi ke tempat tes.
”Jadi, kita lindungi diri sendiri saja. Sekarang, kalau keluar rumah, walaupun di teras depan atau belakang, kami pakai masker. Terus tetap jaga kesehatan dengan banyak minum vitamin. Anak saya pun jadi makin patuh sama protokol kesehatan setelah kejadian ini,” tuturnya.
Anak kedua Ratna, warga Pejompongan, Jakarta Pusat, juga pernah hampir menjadi korban positif Covid-19 ketika sekolah swasta tempat anaknya mengenyam pendidikan menengah pertama mengadakan pembelajaran keliling pada akhir 2020.
Sekolah itu mengadakan kegiatan belajar yang dilakukan dalam kelompok kecil oleh guru kelas di rumah murid secara bergilir. Setelah mengikuti kegiatan pertama, Ratna tidak mengizinkan anaknya untuk melanjutkan kegiatan belajar tersebut. Tidak lama kemudian, ada kabar salah satu keluarga murid dalam kelompoknya terinfeksi Covid-19.
”Kekhawatiran saya hampir terjadi kepada anak saya. Saya pikir, kegiatan yang mendatangkan orang asing ke rumah sangat berisiko. Kita yang satu rumah saja masih bisa saling menularkan,” ujarnya.
Di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ibu tiga anak, Sri Yanti (40), juga mengaku mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya setelah wilayah RW di sekitar tempat tinggalnya berstatus zona merah, belum lama ini.
Kendati anak-anaknya yang masih di bawah umur tetap menjalani pembelajaran jarak jauh di awal tahun ini, aktivitas anak di rumah saja dinilai belum aman untuk memastikan mereka tidak tertular Covid-19.
”Saya sendiri masih melepas anak-anak saya untuk main sama teman-temannya. Kasihan juga kalau mereka dikurung di rumah. Namun, ini juga membuat saya serba salah karena, ketika mereka keluar, saya enggak bisa kontrol,” tutur ibu rumah tangga itu.
Hingga saat ini, Sri mengaku belum ada satu pun anggota keluarganya di rumah yang pernah dites Covid-19. Namun, ia selalu mengingatkan suami dan anak-anaknya untuk memakai masker ketika keluar rumah dan minimal membersihkan tangan ketika kembali ke rumah.
Sampai 1 Januari 2021, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan, dari total 743.198 kasus positif, 2,7 persen di antaranya adalah anak berusia 0 hingga 5 tahun dan 8,8 persen merupakan anak berusia 6 hingga 18 tahun.
Sementara, pada hari pertama tahun 2021 tersebut, terdapat penambahan kasus sebanyak 8.072 dari 27.401 orang yang diperiksa sehingga rasio kasus positif 29,46 persen. Ini berarti dari 3 orang yang diperiksa terdapat 1 kasus positif.
Dalam sepekan terakhir, dari rata-rata 34.164 orang yang diperiksa, ditemukan 7.310 kasus positif atau rasio kasus positif 21,4 persen. Rasio kasus positif di atas 20 berarti penyebaran tidak terkendali karena idealnya di bawah 5 persen.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menilai, anak usia 18 tahun ke bawah tetap menjadi kelompok masyarakat yang rentan terinfeksi dan menularkan Covid-19.
Pembatasan mobilitas, seperti dengan tetap menunda pembelajaran tatap muka yang diterapkan sebagian kepala daerah awal semester ini, baru menjadi satu cara untuk menekan penularan kasus terhadap anak.
Adapun praktik 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan menjaga jarak, disarankan untuk tetap dijalankan kendati anak di rumah saja.
Tidak hanya itu, ia juga berharap penyaringan (tes) dan penelusuran (tracing) kontak terus ditingkatkan, termasuk di kalangan anak-anak.
”Tes dan tracing kita masih sangat kurang. Belakangan, anak juga masih dibolehkan liburan ke mana-mana. Padahal, kami tetap merekomendasi sebaliknya. Kalau tidak, sampai kapan pun ini tidak akan teratasi,” ujarnya.