Eksploitasi anak yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi merupakan tindak pidana yang kerap luput dari perhatian masyarakat dan negara.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eksploitasi anak yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi merupakan tindak pidana yang kerap luput dari perhatian masyarakat dan negara. Padahal, anak punya hak untuk mendapat perlindungan dari praktik-praktik semacam itu.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, dan terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2016, Pasal 76, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
Pengajar Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Nathalina Naibaho, dalam webinar ”Peringatan Hari HAM: Lindungi Anak dari Eksploitasi Ekonomi oleh Sponsor Bakat”, mengatakan, tindakan eksploitasi secara ekonomi bisa terjadi dengan atau tanpa persetujuan anak.
”Eksploitasi anak secara ekonomi banyak ditemukan dalam kegiatan audisi bakat, seperti tari, menyanyi, ataupun olahraga,” katanya, dalam webinar pada Senin (14/12/2020).
Konsultan Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel, dalam kesempatan sama, mencontohkan kasus kontroversi Audisi Beasiswa Badminton Djarum pada tahun lalu.
Lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga dalam kegiatan audisi tersebut, Djarum, sebagai salah satu produsen rokok di Indonesia, melakukan eksploitasi ekonomi terselubung terhadap anak-anak. Alasannya, audisi itu memanfaatkan tubuh anak untuk mempromosikan brand image produk tembakau (Kompas, 9/9/2019).
Pihak Djarum telah merespons hal tersebut dengan menghilangkan kata ”Djarum” pada judul audisi menjadi ”Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis 2019”.
Polemik tersebut pun membuat program audisi untuk memberikan beasiswa bulu tangkis kepada anak-anak di Indonesia itu dihentikan tahun ini. Sementara itu, Yayasan Lentera Anak yang juga mendalami kasus tersebut menilai negara tidak boleh menjaga jarak terhadap bentuk eksploitasi tersebut.
”Eksploitasi merupakan pidana, tetapi belum pernah ada proses pidana untuk menguji narasi ’audisi adalah eksploitasi’,” ujarnya.
Padahal, perusahaan yang melakukan eksploitasi, sesuai aturan perundangan, jelas dapat dijatuhi hukuman pidana, baik kepada pengurusnya atau korporasinya. Hal ini sesuai Pasal 90 UU Perlindungan Anak, yang juga mengatur hukuman denda terkait pidana tersebut.
Dalam hal perlindungan anak, Nathalina menambahkan, bahwa baik negara, pengusaha, dan orangtua perlu bekerja sama untuk mencegah dan menanggulangi eksploitasi terhadap anak.
”Secara umum, anak belum mampu atau masih bergantung pada orang dewasa untuk memilih dan memutuskan sesuatu, utamanya hal-hal yang penting dan krusial dalam kehidupannya,” tuturnya.