Merumuskan Jakarta Biennale yang Bisa Dirasakan Publik
Tantangan penyelenggaraan Jakarta Biennale adalah merumuskan gagasan yang akan diangkat. Butuh kerja keras untuk menempatkan Jakarta Biennale sebagai ruang ekspresi permasalahan dan keresahan warga kota.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhelatan seni rupa kontemporer tidak boleh berhenti sebagai diseminasi artistik. Ia harus menangkap sekaligus mengekspresikan permasalahan dan persoalan publik. Di sisi lain, seni rupa kontemporer memiliki keterbatasan ketika berinteraksi dengan publik.
Hal ini mengemuka dalam diskusi ”Melampaui Biennale: Kerja-kerja yang Tak Selalu Tampak” sesi II dengan tema ”Berpihak pada Publik”, Jumat (11/12/2020). Diskusi diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan menjadi salah satu persiapan menuju Jakarta Biennale (JB) 2021.
Dalam diskusi itu, hadir kurator Jakarta Biennale 2009 Ardi Yunanto, Ketua DKJ 2009-2012 Firman Achsan, dan Direktur Eksekutif Jakarta Biennale Farah Wardani.
Farah menjelaskan, kegiatan ini untuk merefleksikan kembali pengalaman penyelenggara Jakarta Biennale dalam satu dekade terakhir. Di Jakarta Biennale 2009, misalnya, penyelenggara menggunakan pendekatan publik. Setelah sepuluh tahun, apa yang berubah dari publik Jakarta.
Akhirnya, publik yang akan menentukan apakah mereka merasakan betul kehadiran kita atau gelaran ini lewat begitu saja. Meskipun kita tak terlalu berambisi agar mereka mengenang kita (Jakarta Biennale), paling tidak mereka bisa merasakan kehadiran Jakarta Biennale.
Selaku kurator di JB 2009, Ardi Yunanto menjelaskan ada tantangan tersendiri menghadirkan seni rupa di ruang publik. Pertama, seni rupa tak selalu hadir setiap hari di ruang publik. Kedua, mediumnya kadang kala tak naratif dan tak komunikatif. Artinya, belum tentu publik akan mengerti.
JB 2009 waktu itu dibagi menjadi tiga zona, yakni Zona Pemahaman, Zona Pertarungan, dan Zona Cair. Ardi mengurus Zona Pertarungan. Dengan kata lain, dia menguratori seniman-seniman yang akan memajang karya di ruang publik.
Ardi membayangkan ruang publik waktu itu sebagai arena pertarungan bagi banyak pihak. Ada berbagai orang dari latar belakang dengan kepentingan yang berbeda-beda.
”Konteksnya waktu itu, orang-orang di jalan sudah sibuk dengan pikiran masing-masing. Seni rupa harus bersaing untuk merebut perhatian. Namun, persoalannya kemudian, setelah diperhatikan, apa yang bisa kita kasih atau yang bisa dihadirkan,” ujarnya.
Pilihan sederhananya adalah seniman membuat karya lalu dijelaskan ke publik bahwa itu karya seni. Akan tetapi, sebagai kurator, dia ingin bergerak lebih jauh, yaitu agar publik berinteraksi dengan karya seni. Paling tidak, publik mendapatkan pengalaman tertentu setelah melihat karya itu.
Sedikitnya butuh waktu dua bulan bagi Ardi untuk berdiskusi dengan para seniman dalam merumuskan ide. Seniman harus memulai dari nol dan berkarya di luar kebiasaan.
Salah seorang seniman, Bujangan Urban, misalnya, menggambar mural di depan pusat perbelanjaan Cilandak Town Square alias Citos, Jakarta Selatan. Ardi menjelaskan, Bujang Urban butuh berhari-hari duduk di depan Citos untuk memikirkan teks apa yang akan ditambahkan di mural. Biasanya, Bujangan Urban jarang sekali menambahkan teks di muralnya.
Setelah menjalani hari seperti penyair mencari ilham itulah, Bujangan Urban menuliskan teks ”Sabar Sebentar Ku Kan Datang”. Karya itu terkesan ingin menyampaikan suara hati pekerja Citos ketika dijemput suami, pacar, atau keluarga. Kondisi jalanan yang macet membuat penjemput lama menjemput.
”Kita perlu menyadari keterbatasan seni rupa. Pameran seni pada dasarnya menjual pengalaman. Orang mungkin lupa, setelah pameran selesai, yang tinggal hanya artefak berupa foto dan katalog. Jadi, dalam proses dokumentasi, sangat penting untuk dijelaskan bagaimana karya itu sampai ke publik dan bagaimana kisahnya. Agar pembaca di masa depan bisa mengetahui apa yang terjadi di zaman itu,” tambahnya.
Konteksnya waktu itu, orang-orang di jalan sudah sibuk dengan pikiran masing-masing. Seni rupa harus bersaing untuk merebut perhatian. Namun, persoalannya kemudian, setelah diperhatikan, apa yang bisa kita kasih atau yang bisa dihadirkan.
Firman Achsan menambahkan, salah satu tantangan terbesar penyelenggaraan Jakarta Biennale adalah gagasan yang akan diangkat. Tren perkembangan seni rupa kontemporer secara kualitatif bisa dipantau. Namun, butuh kerja keras untuk menempatkan Jakarta Biennale sebagai ruang ekspresi permasalahan dan keresahan warga kota. Butuh diskusi dengan berbagai pihak agar persoalan yang diangkat benar-benar merefleksikan kenyataan di masyarakat.
”Akhirnya, publik yang akan menentukan apakah mereka merasakan betul kehadiran kita atau gelaran ini lewat begitu saja. Meskipun kita tak terlalu berambisi agar mereka mengenang kita (Jakarta Biennale), paling tidak mereka bisa merasakan kehadiran Jakarta Biennale,” ujarnya.