Negara-negara Asia Tenggara Berkomitmen Mengatasi Sampah Plastik
Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk mengatasi persoalan sampah plastik. Upaya itu dilakukan melalui penerapan berbagai kebijakan dan kerja sama internasional.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan pencemaran sampah plastik di perairan dunia masih dihadapi sejumlah negara. Kondisi ini membuat negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berkomitmen menanggulangi sampah plastik melalui sejumlah upaya di tingkat internasional ataupun regional.
Hal itu mengemuka dalam dalam webinar bertajuk ”Inovasi untuk Mencari Jalan Keluar dari Permasalahan Plastik” di Jakarta, Senin (30/11/2020), yang diadakan Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN-PSL).
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyampaikan, salah satu persoalan utama plastik di Indonesia terjadi karena rendahnya kesadaran dan perilaku masyarakat dalam membuang sampah. Hasil kajian menunjukkan 72 persen masyarakat Indonesia masih tidak peduli terhadap persoalan sampah.
”Kita juga menghadapi persoalan dengan perubahan pola konsumsi dan zaman di mana kita semakin mudah menggunakan produk kemasan plastik karena lebih praktis dan murah. Perubahan konsumsi yang lebih praktis ini akhirnya membuat kita meninggalkan perilaku ramah lingkungan,” ujarnya.
Ekosistem perairan
Novrizal menjelaskan, hasil kajian terbaru berjudul ”Predicted Growth In Plastic Waste Exceeds Efforts To Mitigate Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science pada September lalu menyebut 19 hingga 23 juta metrik ton atau 11 persen sampah plastik yang dihasilkan secara global masuk ke ekosistem perairan pada tahun 2016.
Sebanyak 53 juta metrik ton sampah plastik diperkirakan masuk ke ekosistem perairan dunia pada tahun 2030 jika tidak ada upaya serius setiap negara dalam mengatasi masalah ini.
Perubahan konsumsi yang lebih praktis ini akhirnya membuat kita meninggalkan perilaku ramah lingkungan.
Dalam riset ini, para peneliti juga menyebut ada dua skenario yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan sampah plastik itu. Pertama, setiap orang harus mengurangi penggunaan plastik hingga 85 persen. Kedua, lebih dari 99 persen sampah plastik yang dihasilkan harus terkelola dengan baik dalam sistem pengelolaan sampah dan sistem daur ulang.
Novrizal menegaskan, kondisi itu membuat penanganan sampah plastik secara maksimal harus dilakukan sekarang. Hal ini juga telah menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dengan menetapkan target 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan sampah plastik pada 2025.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah menetapkan strategi, mulai dari pembuatan kebijakan, peningkatan kapasitas, pelayanan sampah di daerah, hingga perluasan kerja sama internasional untuk mengurangi sampah plastik.
Di sisi lain, pendekatan perubahan perilaku masyarakat juga terus ditingkatkan melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi serta penegakan hukum secara bersamaan.
Vietnam dan Filipina
Selain Indonesia, komitmen penanggulangan sampah plastik juga dilakukan Vietnam dan Filipina. Anggota Departemen Kerja sama Internasional, Administrasi Laut dan Pulau, Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Vietnam, Nguyen Kien menyatakan, upaya penanganan sampah plastik di Vietnam telah dilakukan pada tingkat internasional, nasional, dan regional.
Pada tingkat internasional, Vietnam terus berpartisipasi secara aktif dalam konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan dan pencegahan serta pengurangan sampah laut. Pada 2018, Vietnam juga mempromosikan pembentukan mekanisme kerja sama global untuk pengurangan sampah plastik menuju laut.
Sementara di tingkat nasional, pada Desember 2019, Vietnam mengadopsi rencana aksi nasional untuk manajemen sampah plastik pada tahun 2030. Rencana aksi nasional ini mulai diimplementasikan di 28 provinsi pesisir di Vietnam. Pada Agustus 2020, Vietnam kembali memperkuat upaya pengelolaan, penggunaan kembali, daur ulang, pengolahan, dan pengurangan limbah plastik.
”Kami juga berkampanye di media dan penyadaran publik. Kami memobiliasi konsumen untuk mengubah perilaku mereka dan mendorong penggunaan biodegredable, dapat didaur ulang, dan produk yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Manajer Program Villgro Filipina Katherine Khoo menuturkan, dengan populasi sebanyak 110 juta penduduk sekitar, Filipina menghasilkan 2,7 juta ton sampah plastik setiap tahun.
Hal itu membuat Filipina menjadi negara penyumbang sampah plastik laut terbesar ketiga secara global. Pada masa pandemi saat ini, diperkirakan 129 miliar masker wajah dan 65 miliar sarung tangan plastik digunakan setiap bulannya di Filipina.
Salah satu langkah Filipina untuk mengatasi masalah sampah plastik adalah menerbitkan Undang-Undang Pengelolaan Limbah Padat Ekologis. Regulasi itu mengatur tentang penyiapan daftar produk yang tidak ramah lingkungan. Sebanyak tujuh wilayah di Metro Manila dan lima kota provinsi juga telah melarang atau membatasi penggunaan plastik sekali pakai.
”Ke depan, inovasi dan kolaborasi memainkan peran penting dalam membantu memerangi masalah plastik yang berkembang saat ini. Pemerintah di tingkat nasional ataupun daerah dapat menetapkan kebijakan, akademisi mengembangkan inovasi, perusahaan dan bisnis kecil perlu bertanggung jawab atas limbahnya, dan organisasi sipil bisa meningkatkan advokasi dan pendanaan,” tuturnya.