Lima pusat sumber benih dan persemaian yang akan dibangun pemerintah tersebar di sejumlah wilayah. Bibit yang dihasilkan akan disebar di antaranya ke daerah yang sering banjir dan longsor.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyiapkan sedikitnya lima pusat sumber benih dan persemaian. Targetnya adalah produksi benih sejumlah pohon kayu keras yang berfungsi ekologi sekaligus ekonomis untuk ditanam di daerah-daerah rawan banjir dan longsor.
Sebagai pionirnya adalah Pusat Sumber Benih dan Persemaian di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dengan areal yang disiapkan seluas 159,58 hektar (ha).
Presiden meninjaunya pada Jumat (27/11/2020) atau sehari menjelang Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Pohon Indonesia, yakni Desember. Mendampingi Presiden antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
”Ini adalah sebuah lokasi pembibitan yang kita persiapkan. Kita harapkan tahun depan sudah selesai dan sudah berproduksi. Dan kita harapkan dari sini bisa diproduksi lebih kurang 16 juta bibit. Nanti akan kita sebar di lokasi-lokasi yang sering banjir, kabupaten dan kota yang sering longsor,” kata Presiden.
Selain fungsi ekologi, Presiden meminta agar bibit yang dikembangkan merupakan jenis tanaman yang memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakat. ”Karena ke depan, kita ingin mengembangkan green economy,” kata Presiden.
Beberapa jenis tanaman yang masuk kategori itu, menurut Presiden, antara lain abasia, ekaliptus, mahoni, kaya, merbau, eboni, jati, dan tanaman buah-buahan, seperti durian.
Selain di Rumpin, Presiden menyatakan, pembangunan pusat sumber benih dan persemaian akan dikerjakan di Toba (Sulawesi Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Likupang (Sulawesi Utara). Pembangunannya ditargetkan mulai tahun depan.
Presiden juga menyatakan bahwa pemerintah akan membangun lokasi pembibitan pohon bakau untuk perbaikan hutan bakau di Indonesia. Target perbaikannya mencakup areal hutan bakau seluas 630.000 ha.
”Ke depan, Indonesia ingin menuju ke sebuah green economy yang berkelanjutan. Dan kita harapkan dampak ekonomi ke masyarakat bawah akan semakin kelihatan,” kata Presiden.
Di saat Presiden menyiapkan pusat sumber benih dan persemaian, sejumlah aktivis lingkungan dalam negeri mengkritik deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia. Kritik paling mutakhir misalnya kebijakan pemerintah membangun food estate atau korporasi pangan terpadu.
Mengutip berita sebelumnya, proyek food estate berpotensi meningkatkan laju deforestasi seiring dengan penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Aturan ini juga dinilai akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana menyampaikan, potensi peningkatan deforestasi disebabkan substansi Peraturan Menteri LHK itu memahami food estate sebagai usaha pangan skala luas. Di sisi lain, monokultur dalam skala luas juga dinilai memiliki dampak buruk bagi lingkungan.
”Sepanjang sejarah kita dalam konteks proyek pangan skala luas mulai dari proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar, proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hingga proyek food estate lainnya di beberapa daerah itu juga tidak pernah sukses,” ujar Wahyu, Senin (16/11/2020), di Jakarta.
Pengamat lingkungan hidup Kalteng, Fatkhurohman, menjelaskan, dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020, salah satu alasan yang diberikan ialah food estate merupakan program pangan dengan skala luas, termasuk untuk perkebunan. Pembuat kebijakan, menurut dia, lupa bahwa sejarah kawasan hutan di Kalteng pernah mengeluarkan kebijakan serupa pada 1981. Kini eks proyek itu kembali disasar menjadi lokasi lumbung pangan nasional.
”Saat itu, kawasan hutan yang seharusnya dilindungi justru dilepas begitu saja untuk pertanian dan perkebunan skala luas yang berakhir produktivitas hancur dan tidak optimal. Belum lagi konflik sosial yang timbul saat itu,” katanya.
Fatkhurohman mengatakan, di luar kawasan gambut, fungsi lindung hutan akan sangat tergantung dari tutupannya dan hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2014 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan laju deforestasi atau kehilangan hutan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun dan stabil. Deforestasi neto periode 2018-2019 sebesar 462.400 ha dan pada periode 2017-2018 sebesar 439.400 ha.