Hasil penelitian menunjukkan, interaksi manusia dan komodo bisa membuat perubahan perilaku hewan liar itu. Hal ini menguatkan argumen agar pembangunan habitat fauna dilindungi tersebut tidak mendekatkan manusia-komodo.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku komodo di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, dapat berubah jika terjadi interaksi yang terlalu tinggi dengan wisatawan. Oleh karena itu, penataan kawasan wisata di Taman Nasional Komodo disarankan agar tidak membuat komodo terlalu dekat dengan manusia.
Hal tersebut disampaikan akademisi dari IPB University dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR, Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores, dan yayasan konservasi serta lingkungan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/11/2020).
Peneliti herpetologi yang juga pengajar di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Mirza Kusrini, menyampaikan, dari penelitian yang dilakukan mahasiswa IPB pada 2019, komodo di kawasan wisata Loh Buaya dan nonwisata di Pulau Rinca memiliki perilaku yang berbeda. Komodo yang ada di kawasan wisata cenderung lebih terbiasa dengan keberadaan manusia.
”Hal ini berbahaya karena dapat membuat lengah manusia karena komodo adalah satwa liar yang masih memiliki sifat liar. Jadi, kadang-kadang kalau kita lengah bisa tergigit. Ini juga bisa meningkatkan kemungkinan konflik antara manusia dan komodo di Loh Buaya. Jadi, sebaiknya dikurangi interaksinya dengan manusia,” ujarnya.
Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa keberadaan komodo di pulau kecil di luar Taman Nasional Komodo dapat terancam karena aktivitas manusia, seperti pemasangan jerat untuk burung di lebih dari separuh sarang komodo. Meski bukan ditujukan untuk komodo, keberadaan jerat burung cukup mengganggu biawak besar tersebut untuk kawin. Ini juga dibuktikan dari pantauan kamera tersembunyi (camera trap) yang menunjukkan tidak adanya komodo yang kawin di daerah tersebut.
Sementara dari hasil penelitian terbaru pada Juni-September 2020 atau saat minimnya aktivitas wisatawan, menurut Mirza, komodo di kawasan wisata, yakni Loh Buaya, cenderung bergerak lebih aktif dan jauh. Dari hasil penelitian ini, ia pun menyarankan penataan kawasan untuk wisata tidak membuat komodo terlalu dekat dengan manusia.
”Perilaku biawak komodo dapat berubah jika terjadi interaksi yang terlalu tinggi dengan wisatawan. Oleh karena itu, intensitas interaksi ini perlu dikurangi. Biawak komodo di luar Taman Nasional Komodo juga kami harapkan bisa mendapatkan perhatian lebih,” tuturnya.
Peneliti utama Yayasan Komodo Survival Program, Achmad Ariefiandy, mengemukakan, setiap aktivitas manusia di alam liar pasti akan menimbulkan dampak bagi lingkungan. Dampak terebut akan memengaruhi luasan area aktivitas, perilaku atau cara bertahan hidup (survival), upaya mitigasi dan restorasi, serta timbal balik aktivitas tersebut terhadap ekosistem.
Namun, Achmad tidak dapat menjelaskan dampak pembangunan wisata di TN Komodo terhadap perilaku komodo secara rinci karena belum ada kajian yang membahas hal tersebut. Akan tetapi, selama 30 tahun lebih, komodo di Loh Buaya dinilai sudah beradaptasi dengan aktivitas manusia karena area tersebut sudah dibuka untuk kegiatan wisata sejak 1989. Selama ini populasi komodo di Loh Buaya juga relatif stabil, yaitu rata-rata sekitar 60 ekor.
”Ada satu penelitian yang menunjukkan bahwa komodo di kawasan wisata terjadi habituasi atau perubahan perilaku yang cenderung tidak menghindari manusia. Ini karena komodo sudah sangat terbiasa dengan aktivitas manusia, bahkan terkadang mereka penasaran dan mendekat jika ada aktivitas manusia,” katanya.
Pembatasan pengunjung
Guna mencegah terjadinya dampak yang signifikan, Achmad menyatakan perlunya pembatasan jumlah kunjungan wisata di TN Komodo. Aktivitas pariwisata yang berlebihan di kawasan konservasi dan pembukaan area wisata baru sebisa mungkin harus dihindari. Pembangunan juga harus benar-benar dikaji secara ilmiah agar aktivitas tersebut sesuai dengan kaidah konservasi dan tidak memberikan dampak negatif terhadap ekosistem.
”Menurut kami, mass tourism di kawasan konservasi kurang begitu tepat. Kami melihat justru bukan ke terrestrial (daratan) komodonya. Bayangkan ketika pengunjungnya terus meningkat dan memakai kapal, justru dampak ke ekosistem lautnya lebih besar daripada di terrestrial. Area di terrestrial itu dibatasi, sedangkan di laut tidak dan kapal bisa berlalu lalang,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi menegaskan, pembangunan kawasan wisata di TN Komodo harus memperhatikan asas konservasi dengan memegang prinsip perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Hal ini penting karena biawak purba tersebut merupakan ikon utama bagi wisatawan yang mengunjungi TN Komodo.
Selain itu, kata Dedi, pembangunan TN Komodo juga penting untuk tetap memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Sebab, selama ini pembangunan wisata berkonsep premium kerap menyingkirkan dan menutup akses ekonomi bagi masyarakat lokal karena tidak dapat bersaing dengan pihak swasta.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina menyatakan, wisata di Labuan Bajo tidak diperuntukkan bagi wisata umum (mass tourism), tetapi wisata minat khusus. Artinya, wisata Labuan Bajo diperuntukkan bagi masyarakat yang mencintai ekowisata, alam, budaya, dan bisa menghargai keanekaragaman hayati di TN Komodo.
Selain itu, Shana juga menyebut bahwa penataan kawasan secara terintegrasi membuat kunjungan wisatawan dapat diatur secara jelas. Semua pihak yang beroperasi dalam kawasan TN Komodo juga resmi tercatat sebagai pembayar pajak untuk Manggarai Barat sehingga secara signifikan hasil pembangunan pariwisata dapat dinikmati pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
”Desain pariwisata dan penyediaan infrastruktur tujuannya berdasarkan ekosistem. Jadi, kami melihat dulu di mana titik ekosistem dan satwa yang ada untuk diproteksi. Kemudian sisanya meliputi pembangunan infrastruktur, pelabuhan, kabel laut, termasuk untuk mendukung masyarakat di dalam kawasan,” katanya.