Biden Bawa Harapan Penurunan Emisi Global Bisa Lebih Ambisius
Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS dinilai membawa angin segar dan semangat global untuk kian ambisius dalam menekan emisi gas rumah kaca demi menjaga bumi dari kehancuran akibat perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
AFP/ANDREW HARNIK
Presiden terpilih AS, Joe Biden, dan wakil presiden terpilih, Kamala Harris, menyampaikan sambutan di Wilmington, Delaware, 7 November 2020, setelah dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden.
JAKARTA, KOMPAS — Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat dinilai akan mengubah beberapa kebijakan penting terkait perubahan iklim yang kemudian dapat berdampak pada kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bersama wakilnya, Kamala Harris, AS dinilai bisa memberikan kepemimpinan politik global sehingga dapat memberikan tekanan bagi banyak negara untuk menguatkan komitmen penurunan emisi yang lebih ambisius.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menyampaikan, sesuai dengan janji Joe Biden, AS berniat akan kembali bergabung ke dalam Kesepakatan Paris. Hal ini dinilainya dapat memberikan pengaruh kuat pada forum perubahan iklim tersebut dan negara-negara peratifikasi Kesepakatan Paris.
”Kepemimpinan politik AS membuat kebijakan ini tidak hanya berdampak di AS, tetapi juga memberikan tekanan bagi negara-negara seperti Indonesia untuk memiliki komitmen iklim yang lebih ambisius,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Menurut Tata, keluarnya AS—negara pengemisi gas rumah kaca utama di dunia—dari Kesepakatan Paris pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump cukup berdampak pada upaya penanggulangan perubahan iklim. Sikap AS ini seolah memberikan legitimasi negara-negara lain untuk mengendurkan komitmen iklim yang ambisius dalam menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius.
Selain itu, kebijakan ramah lingkungan yang dijanjikan Biden, seperti mencapai pembangunan yang bebas emisi selambat-lambatnya tahun 2050, dinilai Tata bakal berdampak pada sektor ekonomi. Sebab, AS ataupun negara-negara maju lain akan banyak mengalokasikan anggaran untuk investasi hijau dan proyek ramah lingkungan.
Hal ini, kata Tata, juga bisa didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada akhirnya, upaya ini bisa mengubah arah investasi bagi tiga sistem sosial-ekonomi kunci menurut forum ekonomi dunia, yakni sektor pangan, penggunaan lahan dan laut; infrastruktur dan lingkungan buatan; serta energi dan industri ekstraktif.
”Pemerintah AS harus mendorong perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di AS untuk menggunakan energi terbarukan, termasuk di Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia. Perusahaan tersebut harus menjadi pionir energi terbarukan. Saat ini di Indonesia sendiri sektor energi merupakan penghasil emisi terbesar,” tuturnya.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa pun menilai, jika AS kembali bergabung ke dalam Kesepakatan Paris akan mendorong pencapaian target menjaga kenaikan suhu global tak lebih dari 2 derajat celsius, bahkan bisa 1,5 derajat celsius. Peran AS di antaranya bisa memelopori transisi ekonomi hijau dan meninggalkan energi fosil untuk pembangunan berkelanjutan.
REUTERS/RICARDO MORAES
Hutan Amazon, salah satu paru-paru utama dunia, terbakar, seperti terlihat di Rio Pardo, Rondonia, Brasil, 15 September 2019. Dalam sorotan pada isu perubahan iklim, kebakaran melanda sejumlah kawasan, termasuk di California, AS, dan wilayah pantai timur Australia.
Perkuat adaptasi
Mahawan juga mengatakan kembalinya komitmen AS dalam menanggulangi perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pada kondisi di Asia Tenggara. Sebab, wilayah Asia Tenggara memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim.
”Upaya adaptasi menjadi hal yang sangat penting di negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, negara Asia Tenggara yang didominasi oleh negara-negara berkembang kontribusi AS dan negara maju terhadap pendanaan iklim sangat penting. Jadi, ketahanan orang terhadap perubahan iklim di Asia Tenggara akan semakin banyak dengan pendanaan dari AS,” ucapnya.
Terkait kepentingan nasional, kembalinya komitmen AS dalam perubahan iklim juga perlu dimanfaatkan Indonesia dalam menjalin kerja sama bilateral, khususnya terkait pendanaan. Ini karena Indonesia memiliki keterbatasan anggaran dan finansial yang sangat diperlukan dalam menjalankan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga menuntun motornya yang mogok saat melintasi genangan pasang air laut di Tambakmulyo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/5/2020). Abrasi pantai, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim menjadi penyebab semakin meluasnya pasang air laut di pesisir utara.
Terpilihnya Joe Biden memberikan harapan kepada negara-negara di dunia dalam memperkuat upaya penanggulangan perubahan iklim. Saat memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga berharap kerja sama antarnegara akan semakin erat, salah satunya di bidang perubahan iklim.
Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS menarik diri dari Kesepakatan Paris yang merupakan komitmen negara-negara di dunia untuk menurunkan emisi sebagai upaya penanggulangan perubahan iklim. Namun, Biden dengan tegas menyatakan bahwa jika ia terpilih, AS akan kembali bergabung ke dalam forum tersebut.
Selain itu, Biden juga menyebut akan menganggarkan dana hingga 2 triliun dollar AS untuk rencana perubahan iklim serta investasi dalam energi baru dan terbarukan. AS dalam kepemimpinan Biden juga berencana mencapai pembangunan yang bebas emisi selambat-lambatnya tahun 2050. Sementara di kancah global, AS akan membuat komitmen yang lebih ambisius demi mengurangi emisi karbon.