Laki-laki Berperan Penting dalam Menghapus Kekerasan Berbasis Jender
Peran laki-laki dan perempuan sama penting dalam mewujudkan kesetaraan jender dan mengatasi berbagai persoalan, terutama dalam mencegah dan menghapus kekerasan berbasis jender, termasuk di masa pandemi Covid-19.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Peran laki-laki dalam penghapusan kekerasan berbasis jender dan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender sangat penting. Namun, dalam kenyataan di masyarakat hingga kini belum banyak laki-laki yang terlibat dan berperan dalam menghapus berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebaliknya, laki-laki masih lekat sebagai pelaku kekerasan.
Harapan tersebut setidaknya terungkap dalam webinar bertema ”Gerakan Laki-laki Pro Feminis: Kajian dan Refleksi ALB sebagai Bagian dalam Gerakan Feminis” yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), United Nation Population Fund (UNFPA), dan Aliansi Laki-laki Baru (ALB), Selasa (3/11/2020).
”Pengintegrasian, pendekatan, dan pelibatan laki-laki dalam isu kekerasan berbasis jender sangat penting karena kekerasan berbasis jender berkaitan erat dengan norma dan praktik maskulinitas yang berbahaya,” ujar Dodi Mohamad Hidayat, Kepala Bidang Partisipasi Organisasi Keagamaan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, Kementerian PPPA, saat membuka diskusi tersebut.
Selain itu, menurut Dodi, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan membawa dampak negatif bagi kedua pihak. Padahal, laki-laki dapat berperan positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis jender dan pencapaian keadilan jender, karena hingga kini laki-laki menduduki posisi strategis di berbagai tingkat serta memiliki kontrol atas sumber daya yang diperlukan perempuan untuk mendapatkan keadilan.
Namun, pendekatan pelibatan laki-laki memiliki beberapa risiko, di antaranya apabila tidak diterapkan secara tepat, justru akan memperlemah upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan pelibatan laki-laki harus dipandu oleh prinsip-prinsip yang akan memastikan pendekatan tersebut diterapkan dalam rangka menciptakan kesetaraan jender yang hakiki.
Karena itulah, menurut Dodi, pada waktu lalu, Kementerian PPPA bersama UNFPA menyusun panduan tentang pelibatan dalam isu yang terkait perempuan dan anak, yakni dalam isu kekerasan berbasis jender; penanggulangan bencana, kesehatan reproduksi remaja, keluarga berencana, HIV/AIDS, serta kesehatan ibu dan Anak.
”Kami berharap pelibatan laki-laki dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian keadilan dan kesetaraan jender sehingga perempuan tidak selalu di dalam inferior, (seperti) yang selama ini banyak diperlakukan laki-laki, terutama dari aspek agama ada beberapa yang masih memandang inferior dan superior. Padahal kedudukan manusia di mata Tuhan adalah sama,” tegas Dodi.
Hasil riset
Pada webinar tersebut, hadir tiga pembicara yang melakukan penelitian dan kajian terkait peran laki-laki dan gerakan ALB, yakni Febi Rizki Ramadhan dengan topik ”Resistensi pada Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial”, Elisabeth Windy Ancesia Simaibang dengan topik ”Representasi Male Feminist di Media Sosial (Studi Etnografi Virtual)”, dan Ira Larasati dengan topik ”Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru dalam Membongkar Konstruksi Maskulinitas”.
Hasil penelitian tersebut ditanggapi oleh Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan, sejarawan, serta pegiat Ruang Arsip, dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS). Diskusi dipandu Syafirah Hardani, penggagas ALB.
Febi, yang melakukan riset ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2016, mengungkapkan riset yang mulai dilakukannya tahun 2016, dilatarbelakangi oleh tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun, terutama data yang dikompilasi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam catatan tahunan.
Dari wawancara terhadap beberapa pendiri ALB yang diwawancarai, Febi menemukan beragam pemaknaan atas kekerasan terhadap perempuan dan penyebab kekerasan terhadap perempuan di kalangan partisipan gerakan ALB. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan dilegitimasi oleh patriarki dan katarsis dari kegagalan laki-laki untuk memenuhi citra idealnya.
ALB memaknai bahwa kekerasan terhadap perempuan berada di atas fondasi budaya patriarki yang kuat dalam masyarakat karena ditopang oleh sistem pelestari yang melibatkan multiagen (media, institusi agama, institusi keluarga, institusi pendidikan, dan negara). Selain itu, maskulinitas yang hegemonik lahir karena adanya budaya patriarki dan memengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun ada sejumlah upaya yang dilakukan oleh ALB untuk terlibat dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Febi menilai gerakan pelibatan laki-laki seperti ALB harus selalu berusaha semaksimal mungkin agar menjadi akuntabel pada gerakan perempuan.
Ita Fatia menilai, sejauh ini ALB belum merumuskan arah gerakannya. ALB yang ada sekarang mereka masih recycle konsep yang ada dan menumpang pada gerakan perempuan. Sementara organisasi perempuan sendiri tidak atau belum mampu merekonstruksi di mana lokasinya di dalam kontestasi politik saat ini.
”Belum ada gerakan perempuan, yang ada organisasi perempuan. Adapun organisasi feminis yang didominasi orang muda belum bisa menentukan arah gerakannya,” kata Ita.