Kebijakan Perubahan Iklim Perlu Mengarusutamakan Sains
Laporan IPCC perlu diarusutamakan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia agar selaras dengan upaya global mencegah kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat celsius.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam memperbaiki dan memperkuat kebijakan perubahan iklim, Indonesia perlu mencermati sejumlah substansi sains yang tertuang dalam laporan Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Ke depan, diharapkan sains lebih berperan penting sebagai dasar pengambilan kebijakan dan pertimbangan dalam negosiasi dibandingkan faktor ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman dalam diskusi daring bertajuk ”Di Bawah 2 Derajat: Sains di Balik Negosiasi Perubahan Iklim”, Rabu (4/11/2020).
Ruandha mengatakan, saat ini terdapat sejumlah laporan dari IPCC yang ditujukan sebagai rujukan bagi para negara anggota untuk memperbaiki metodologi, penggunaan faktor emisi, dan data aktivitasnya di setiap negara. Namun, laporan tersebut bersifat tidak mengikat untuk para negara-negara anggota.
”Oleh sebab itu, dalam assignment report dibuat summary for policy maker atau ringkasan bagi pembuat kebijakan. Ini digunakan sebagai jembatan antara sains dalam laporan dan perumusan kebijakan yang akan dituangkan secara nasional di negara masing-masing,” ujarnya.
Beberapa laporan itu di antaranya terkait Laporan Pemanasan Global 1,5 Derajat Celsius, Penyempurnaan 2019 pada Pedoman IPCC 2006 untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, Laporan Khusus tentang Laut dan Kriosfer dalam Iklim yang Berubah, Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Lahan, Dasar Ilmu Fisika, Kerentanan Adaptasi Dampak, dan Mitigasi dalam Perubahan Iklim.
Ruandha berharap, ke depan sains lebih berperan sebagai pertimbangan dalam negosisasi dibandingkan faktor ekonomi, status demokrasi suatu negara, dan tekanan pemangku kepentingan (stakeholder). Diharapkan juga sains dapat menghadirkan netralitas dan obyektivitas dalam bernegosiasi terkait agenda perubahan iklim.
Peneliti Ahli Utama Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Haruni Krisnawati, menyatakan, dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting untuk menyempurnakan upaya penanggulangan perubahan iklim. Salah satu peran sains yang sangat penting dalam penanggulangan perubahan iklim yaitu inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK).
Inventarisasi ini dapat dilakukan dengan menghitung perubahan stok karbon melalui pendekatan berbasis proses dan stok. Pendekatan berbasis proses dilakukan dengan memperkirakan keseimbangan bersih penambahan dan pengurangan stok karbon. Sementara pendekatan berbasis stok yakni dengan memperkirakan perbedaan stok karbon pada dua titik waktu.
”Penurunan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aksi-aksi mitigasi perubahan iklim tentunya harus dapat diukur. Tentunya hal ini diperlukan metode penghitungan yang tepat untuk menghasilkan data dan informasi yang akurat sehingga memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akurasi, konsistensi, dan komparasi,” katanya.
Menurut Haruni, hasil-hasil riset di Indonesia telah berkontribusi dalam pengembangan sains di IPCC untuk penghitungan emisi GRK. Bahkan, hasil riset tersebut telah dituangkan dalam dokumen Penyempurnaan 2019 pada Pedoman IPCC 2006 untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dan dokumen Basis Data Faktor Emisi IPCC.
Kontribusi nasional
Wakil Ketua I Kelompok Kerja IPCC Edvin Aldrian menjelaskan, pesan penting dari IPCC berdasarkan Laporan Pemanasan Global 1,5 Derajat Celsius yakni dunia membutuhkan tiga kali lipat kontribusi nasional dalam penurunan emisi. Upaya ini perlu dilakukan secara berkelanjutan sebelum 2030 untuk menghindari kenaikan suhu 1,5 derajat celsius.
Edvin juga menyebut bahwa laporan IPCC perlu diarusutamakan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia. Hal ini karena Indonesia memiliki tujuan untuk mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta mendapat keuntungan dari upaya mitigasi dan adaptasi yang diterapkan.
”Garis besar kepentingan Indonesia ini yaitu menetapkan pola kebijakan pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan, pengelolaan perkotaan hijau dan sumber energi ramah lingkungan, politik pengurangan kebakaran hutan, hingga kebijakan energi berkelanjutan dan pengurangan energi fosil,” tuturnya.