Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan tak luput dari sasaran ekstensifikasi perkebunan sawit. Perubahan ekosistem dan lanskap ini merusak perlindungan alam masyarakat setempat dari ancaman bencana alam.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspansi perkebunan sawit ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dapat mengancam kelestarian dan kualitas ekosistem kawasan yang rentan tersebut. Ke depan, ancaman kerusakan ini juga dipandang masih tinggi karena telah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan jalan investasi untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Ekspansi Perkebunan Sawit di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dimana dan Bagaimana Dampaknya?”, yang diselenggarakan Sawit Watch, Rabu (4/11/2020).
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengemukakan, ekspansi perkebunan sawit dapat mengancam kawasan pesisir terutama ekosistem mangrove. Kiara mencatat, lebih dari 6.000 desa pesisir mendapat manfaat ekologi dan ekonomi dari keberadaan mangrove.
Selain wilayah pesisir, pulau-pulau kecil juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kelestarian alam seperti menjaga sistem tata air dan mencegah intrusi air laut. Pulau kecil juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan ekosistemnya memberikan perlindungan dari ancaman bencana alam.
Berdasarkan data Kiara pada 2018 yang dihimpun dari berbagai sumber, proyek perkebunan sawit di pesisir dan pulau-pulau terbanyak berada di wilayah Papua serta Papua Barat. Wilayah lainnya yang juga tercatat memiliki banyak proyek perkebunan sawit di pesisir dan pulau-pulau kecil, di antaranya Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Bangka Belitung, Aceh, Kalimantan Barat, dan Maluku.
Proyek perkebunan sawit di wilayah pesisir Papua, antara lain, berada di pesisir Nabire dengan luas 20.760 hektar, pesisir Mimika (40.000 hektar), pesisir Sarmi (29.589 hektar), dan pesisir Jayapura (29.589 hektar). Sementara di Papua Barat, proyek sawit berada di pesisir Sorong utara (23.205 hektar), pesisir Sorong Selatan (15.631 hektar), Teluk Bintuni (35.371 hektar), dan pesisir Manokwari (18.000 hektar).
”Data 2018 ini, menurut saya, masih relevan dan masih terbuka adanya ekspansi di daerah lain. Artinya, angka ini tidak mungkin berkurang dan sepertinya semakin bertambah. Ini fakta yang tidak banyak disadari orang, apalagi Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak pernah berposisi untuk kasus-kasus seperti ini,” ujarnya.
Susan memandang bahwa ke depan, ancaman kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih tinggi karena pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, terdapat ketentuan dalam UU Cipta Kerja, yakni Pasal 26A dan 26B, yang memberikan jalan investasi untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.
”Jika lewat omnibus law, izin-izin industri ekstraktif ini diteruskan, ada berapa banyak orang yang akan terdampak dan terampas ruang hidupnya. Omnibus law juga mengizinkan kapal asing masuk dan 70 persen pekerja di antaranya harus di Indonesia. Jadi, kita tidak menjadi tuan, tetapi menjadi penonton,” tuturnya.
Kondisi di Maluku Utara
Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Maluku Utara, Munadi Kilkoda, mengatakan, kegiatan industri ekstraktif, seperti pertambangan di pulau-pulau kecil Maluku Utara, sudah mulai dilakukan sejak tahun 1980-an. Namun, ekspansi perkebunan sawit baru mulai meningkat beberapa tahun terakhir.
”Realitas ini tidak disertai dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk memproteksi agar ekspansi ini tidak semakin meluas dan melindungi ruang hidup masyarakat yang bsia dijamin secara hukum. Di Halmahera Tengah sendiri, meski luas wilayahnya terkecil di Maluku Utara, izin usaha pertambangannya terbesar kedua setelah Kepulauan Sula,” ungkapnya.
Guna melindungi ruang hidup masyarakat, Munadi terus mendorong pemerintah daerah menyusun kebijakan tentang masyarakat adat. Namun, upaya ini juga diakui Munadi masih terkendala akibat dinamika politik dan kepentingan ekonomi yang dikendalikan pemilik modal besar.
”Sampai hari ini peraturan daerah masyarakat adat yang kami perjuangkan belum disahkan karena ada kekuatan ekonomi dan politik di tingkat lokal yang menghalangi. Saya tahu mereka disokong oleh kekuatan di luar yang hari ini berinvestasi di Halmahera Tengah,” ungkapnya.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Rifai Lubis menambahkan, pencegahan ekspansi perkebunan sawit dapat dilakukan dengan memperkuat masyarakat adat sebagai konstituen gerakan penolakan. Hal ini juga telah dilakukan langsung YCMM saat mendampingi advokasi penolakan masyarakat terhadap rencana ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Pascaadvokasi penolakan tersebut, menurut Rifai, pihaknya melakukan upaya untuk memperkuat dasar kebijakan di daerah guna menghambat laju industri ekstraktif. Beberapa upaya yang dilakukan ialah mendorong revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kepulauan Mentawai dengan menghilangkan peruntukan lahan untuk skala besar menjadi perkebunan rakyat.
”Pada 2016 kami juga berhasil mendorong bupati mengeluarkan instruksi tentang pembangun berkelanjutan. Selain itu, kami juga mendorong Perda Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan perbup (peraturan bupati) sebagai peraturan pelaksanaannya,” tambahnya.