Meski menyadari dampak dari perkawinan anak sangat membahayakan anak-anak perempuan, hingga kini masih banyak masyarakat yang menikahkan anaknya di bawah umur. Upaya stop perkawinan anak harus dilakukan secara masif.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Situasi pandemi Covid-19 yang berlangsung selama hampir delapan bulan terakhir ini mengakibatkan proses pendidikan terganggu. Hal itu meningkatkan kerentanan anak-anak perempuan menjadi korban perkawinan anak, terutama di daerah terpencil.
Situasi dan kondisi anak-anak yang putus sekolah dan akhirnya menikah di usia anak ini terjadi, antara lain, di Sulawesi Tengah. Anak-anak yang tinggal di pelosok dan korban bencana alam di Sulawesi Tengah, selama pandemi Covid-19 kesulitan mengakses pembelajaran jarak terganggu sekolahnya, bahkan berhenti sekolah, hingga akhirnya menikah.
Hal itu diungkapkan Dewi Rana, Pendiri Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Sulawesi Tengah, dalam Webinar bertema ”Refleksi Satu Tahun Perubahan Batas Minimal Usia Kawin dalam Menurunkan Angka Perkawinan Anak di Indonesia” yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan KPI, di Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Dalam materi ”Perkawinan Anak dalam Bingkai Budaya Masyarakat Sulawesi Tengah”, Dewi memaparkan sejumlah temuan praktik perkawinan anak di Sulawesi Tengah sebelum dan saat pandemi saat ini. Bahkan, dari informasi terbaru yang diperoleh Dewi dari tokoh adat di Dusun Salena, Kota Palu, bahwa ada lima anak-anak yang mau menikah dalam waktu dekat ini.
”Bulan ini ada sekitar 7 atau 8 anak yang mau kawin di atas, dorang so malas sekolah, tidak ada sinyal juga di gunung,” kata Dewi mengutip pernyataan seorang guru di Dusun Raranggonau Kabupaten, Sigi. Bahkan, pada bulan lalu sudah terjadi tiga perkawinan anak di Donggala.
Sebelum pandemi, angka perkawinan anak di beberapa sudah tinggi. Pada tahun 2019, data yang diperoleh dari Kementerian Agama, total perkawinan anak di empat daerah di Sulteng (Kota Palu, Parigi, Sigi, dan Parigi Moutong) terdapat 539 anak perempuan dan 66 anak laki-laki.
”Masa pandemi memperparah naiknya angka perkawinan anak yang terutama terjadi di wilayah-wilayah yang aksesnya sulit terjangkau,” papar Dewi.
Pada sesi pertama webinar tersebut, Megawati, Program Officer Inequality INFID, bersama tim memaparkan Temuan Studi Kualitatif dan Kuantitatif tentang Perkawinan Anak di Indonesia. Selain itu, Mike Verawati, Sekretaris Jenderal KPI, juga memaparkan Temuan Studi Perkawinan Anak.
Masa pandemi memperparah naiknya angka perkawinan anak yang terutama terjadi di wilayah-wilayah yang aksesnya sulit terjangkau.
Hadir menjadi penanggap atas temuan studi INFID dan KPI, Lenny Nurhayati Rosalin (Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Mardi Candra (Hakim Yustisial Mahkamah Agung), dan Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Direktorat KPAPO, Kementerian PPN/Bappenas).
Di sesi kedua, juga hadir pembicara Fadilla Dwianti Putri, Program Manager Rumah KitaB, yang membawakan materi ”Praktik Baik Pencegahan Perkawinan Anak di Cianjur, Lombok Utara, dan Sumenep”.
Penelitian
Dari penelitian kuantitatif INFID terkait perkawinan anak, terhadap 2.210 responden melalui survei telepon di 34 provinsi, Ema Mukarramah dan Arsa Ilmi Budiarti, peneliti Studi Kuantitatif INFID, mengungkap sejumlah temuan, antara lain, potensi perkawinan anak masih mungkin akan terus terjadi, terutama bagi anak perempuan.
Hal itu terjadi karena sejumlah faktor, seperti masih ada anggapan bahwa anak perempuan lebih boleh menikah daripada anak laki-laki, masih ada stereotip jender mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, yakni laki-laki lebih berperan menafkahi dan memimpin. Selain itu, masih ada anggapan perkawinan dapat mencegah kehamilan dan hubungan seks di luar nikah.
Perkawinan anak juga dilakukan karena sejumlah alasan. Bahkan sebagian besar responden tanpa memperhatikan usia akan menikahkan anak ketika anak sudah hamil (84 persen) dan anak sudah berhubungan seksual (61 persen).
Kendati demikian, menurut Arsa, ketika ditanya soal risiko perkawinan anak, para responden umumnya setuju bahwa perkawinan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, dapat menimbulkan potensi meninggal dunia saat melahirkan dan perkawinan anak dapat menimbulkan potensi keguguran karena calon ibu tidak kuat rahimnya.
Meskipun mengetahui soal risiko perkawinan anak, sejumlah responden menikahkan anak karena ketakutan menanggung malu ketika anak hamil dan berhubungan seksual di luar nikah lebih dianggap bermasalah dari risiko perkawinan itu sendiri. ”Bahkan, masih adanya anggapan bahwa perkawinan adalah satu-satunya solusi atas anak yang hamil dan sudah berhubungan seksual di luar nikah,” kata Arsa.