Anak-anak PAUD Pergi ke Sekolah dengan Perut Kosong
Pangan anak perlu mendapat perhatian demi mencegah kasus kurang gizi.
JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak anak di lembaga pendidikan anak usia dini ayang bersekolah dengan keadaan perut kosong. Jika hal ini dibiarkan, ditengarai dapat meningkatkan jumlah anak kurang gizi di Tanah Air.
Menurut Founder Foodbank of Indonesia (FOI) Hendro Utomo, 27 persen anak usia dini tidak sarapan hingga tengah hari. Persentase ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh FOI pada 284 lembaga PAUD di 14 kota, Agustus 2020. Bahkan, di daerah perkotaan yang padat penduduk, angkanya bisa 40-50 persen.
”Di beberapa kawasan padat penduduk, banyak anak tidak mau pergi ke sekolah. Tetapi, begitu tahu ada makanan di sana, mereka jadi tertarik. Sebuah gejala yang memprihatinkan,” katanya dalam acara Catatan di Hari Sumpah Pemuda: Media Bisa Akhiri Kelaparan Balita, Rabu (28/10/2020).
Ketika ditelisik, alasannya ternyata karena orangtua mereka tidak memasak di rumah. Para orangtua ini kemudian memberikan uang jajan kepada anak mereka. Alhasil, anak-anak tersebut membeli jajanan sekenanya yang belum tentu bernutrisi.
”Menurut Hendro, hal ini bisa menjadi salah satu pemicu tingginya angka kurang gizi pada anak-anak selama ini. Bahkan, kondisi ini bisa jauh lebih parah seiring dengan merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Banyaknya anak yang bersekolah dengan perut kosong ini diakui oleh Nurholis Sukmayanti, salah satu bunda PAUD yang juga sukarelawan dari FOI. Kenyataan tersebut tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga kota-kota besar. Dari sini, ia berinisiatif menyediakan pangan bagi siswa PAUD, khususnya pangan lokal.
Sejak 2017, Nurholis mengenalkan sayur-sayuran dan buah-buahan khas Indonesia kepada para siswanya. Ia menjelaskan mengenai jenis, manfaat, hingga ragam olahan pangan lokal. Bahkan, siswa-siswanya tersebut ikut terlibat dalam mengolah makanan.
”Awalnya, anak-anak ragu buat mencicipi. Mungkin karena mereka terbiasa makan makanan instan,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal ini, Nurholis punya tips khusus. Awalnya, ia selalu meminta anak-anak untuk mencicipi sayuran yang telah diolah sehingga rasanya samar. Ia melakukan trik itu secara bertahap hingga anak sepenuhnya bisa menyantap sayuran dengan rasa yang orisinal.
Langkah yang sama juga bisa dilakukan oleh para orangtua di rumah. Menurut Shahnaz Haque, ibu sekaligus figur publik, jika orangtua sudah mengenalkan rasa sayur dan buah kepada anak, setidaknya mereka akan merekam rasa tersebut ke dalam memorinya. ”Itu adalah salah satu cara yang kreatif agar anak-anak kita mau makan makanan yang bernutrisi,” katanya.
Di sisi lain, orangtua juga bisa memberikan makanan sehat yang selama ini tidak disukai ketika anak benar-benar lapar. Dengan begitu, peluang anak untuk makan sayur dan buah menjadi lebih besar karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Shahnaz juga menilai ada fenomena unik yang terjadi di kawasan perkotaan. Anak-anak yang kekurangan gizi bisa jadi bukan karena tidak bisa membeli makanan. Namun, karena orangtua mereka sedang melakukan diet ketat.
”Jadinya enggak ada makanan di rumah. Padahal, nutrisi ini penting untuk fisik dan kecerdasan anak,” ujarnya.
Kurang gizi
Berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita 2019, sebanyak 16,29 persen anak balita mengalami kekurangan gizi dan 27,67 persen mengalami tengkes. Sebelumnya, dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah anak balita yang mengalami kekurangan gizi sebanyak 17,7 persen dan tengkes sebanyak 30,8 persen.
”Terutama untuk stunting. Pemerintah kini fokus menurunkannya menjadi 14 persen pada 2024,” ungkapnya.
Dalam hal ini, pola konsumsi rumah tangga seharusnya diprioritaskan untuk pemenuhan gizi. Sayangnya ini belum banyak disadari oleh orangtua. Hal ini terlihat dari Laporan Sensus Penduduk dari Badan Pusat Statistik pada Maret 2020. Dalam laporan itu dipaparkan bahwa rokok menjadi komoditas tertinggi kedua yang dikonsumsi oleh rumah tangga setelah beras.
Tingkat konsumsi rokok 12,2 persen untuk rumah tangga di perkotaan dan 10,9 persen untuk perdesaan. Angka ini jauh melebihi konsumsi telur ayam yang hanya 4,3 persen oleh rumah tangga perkotaan dan 3,7 persen di wilayah perdesaan.
Padahal, ada sekitar 79,5 juta anak-anak dan anak balita yang saat ini berada dalam lingkup rumah tangga. ”Konsumsi telur ayam dan ayam jika dijumlahkan belum mampu menandingi konsumsi rokok,” tambah Lenny.
Merujuk data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Eni Harmayani menyampaikan, 690 juta orang mengalami kelaparan pada 2019. Angka ini meningkat 10 juta dari tahun 2018 dan naik sebanyak 60 juta dari tahun 2014.
”Dengan adanya pandemi Covid-19, diperkirakan ada penambahan 130 juta pada akhir tahun ini,” katanya.
Masalah tentang kelaparan tidak hanya berkaitan dengan ketersediaan makanan, tetapi juga berkaitan dengan makanan yang tidak sehat, ketidakcukupan pangan, dan gizi yang tidak seimbang. Dalam hal ini, daya beli masyarakat kerap menjadi penyebabnya.
Peran media
Menurut Eni, peran media sangat penting untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Tanpa keberadaan media, masyarakat akan kesulitan mencerna informasi-informasi dari para akademisi.
”Hal ini akan membuka akses pangan bagi anak balita atau memanfaatkan pangan lokal sebagai pangan pilihan,” katanya.
Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Dian Sulistiawati, menilai, media menjadi penyalur pengetahuan yang sangat vital. Salah satu pengetahuan yang menurut dia perlu lebih sering disampaikan melalui media adalah mengenai pangan lokal.
”Media bisa memperkaya informasi mengenai jenis panganan-panganan lokal, terutama media yang ada di daerah,” ujarnya.
Di sisi lain, media juga bisa memberikan alternatif cara mengolah panganan lokal menjadi makanan yang kekinian. Khususnya makanan kekinian yang kini banyak digemari oleh anak-anak.
”Ini menjadi pekerjaan rumah. Bagaimana agar pangan lokal diolah menjadi makanan kekinian tanpa menghilangkan nutrisinya. Media harus menjelaskan mengapa makanan ini perlu dikonsumsi,” tambahnya.
Menurut wartawan harian Kompas, Andreas Maryoto, jika sebuah media hendak menulis soal permasalahan pangan anak, jangan hanya berhenti pada fakta yang ada di permulaan. Media harus masuk pada persoalan mikro. ”Misalnya bisa diulas, apa kesulitan keluarga yang dihadapi atau bagaimana penderitaan yang mereka alami,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Maryoto, tren penulisan berita soal pangan saat ini masih sebatas mengungkap masalah. Padahal, menulis sebuah karya jurnalistik seharusnya tidak hanya selesai pada titik itu. Tulisan juga harus memberikan tawaran solusi. Bahkan, jika perlu, media dapat membuat solusi.
”Sayangnya, berita-berita tentang persoalan pangan masih dianggap tidak laris dibaca dan tidak banyak menghasilkan klik. Padahal, media seharusnya tetap menyajikan itu meski tidak digemari pembaca,” ujarnya.