Kehidupan remaja yang diisi pencarian jati diri tidak lepas dari kompetisi, yang kerap dikeluhkan sebagai pemicu stres, depresi, bahkan keinginan mengakhiri hidup. Bagaimana keinginan bunuh diri bisa dihindari?
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Kehidupan remaja yang diisi pencarian jati diri tidak lepas dari kompetisi. Kompetisi kerap dikeluhkan sebagai pemicu stres, depresi, bahkan hingga berujung pada keinginan mengakhiri hidup. Lantas, bagaimana cara menghindari risiko terburuk dari kondisi kompetitif?
Kompetisi yang sejatinya tentang menjadi yang terbaik, sering kali dibenturkan dengan standar pencapaian tertentu. Situasi tersebut, menurut pendiri komunitas pencegahan bunuh diri oleh remaja, Into The Light, Benny Prawira Siauw, tidaklah sehat.
”Contoh, kalau di industri, kecakapan kita dihitung berdasarkan KPI (key performance indicators). Kalau di kampus pakai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Kemampuan kita disederhanakan dan dibenturkan dengan angka-angka,” tuturnya dalam perbincangan ”Mengapa Remaja Rentan Bunuh Diri?” melalui siaran langsung Instagram Kompas Muda, Selasa (6/10/2020).
Budaya kompetitif juga lebih terasa seiring terbukanya segala akses informasi melalui internet, terutama di media sosial yang digandrungi remaja. Media sosial memudahkan seseorang untuk membandingkan diri dengan orang lain, sehingga ada dorongan untuk mengejar banyak hal.
Dalam situasi tersebut, seseorang bisa mengalami peer presure, yaitu tekanan dari orang sebaya yang memicu pemikiran bahwa orang-orang di sekitarnya mengharapkan dia menjadi sesuatu. ”Padahal, menjadi yang terbaik bisa banyak versi,” ujarnya.
Kesadaran bahwa menjadi yang terbaik bisa dilihat dari banyak versi, menurut Benny, menjadi tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial. Orangtua, misalnya, harus menjalin komunikasi yang baik dan tidak memaksakan ekspektasi tertentu pada anaknya.
Lingkungan sosial seperti sekolah juga harus bisa menyediakan lingkungan yang aman dari kompetisi tidak sehat dan perundungan. Dengan demikian, risiko bunuh diri pada remaja usia 15-29 tahun dapat ditekan.
Pemantauan Into The Light terhadap pemberitaan tentang bunuh diri pada media daring Indonesia antara 2013-2017 menunjukkan, jumlah bunuh diri pada siswa SMP-SMA lebih banyak dibandingkan dengan kelompok mahasiswa.
Survei Perilaku Berisiko Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia yang dilakukan Kementerian Kesehatan 2015 menunjukkan, 5,14 persen siswa SMP-SMA berpikir ingin bunuh diri. Kemudian, 5,54 persen siswa punya rencana bunuh diri, dan 2,39 persen siswa pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Risiko bunuh diri dapat meningkat jika remaja tidak mendapat kesempatan untuk didengarkan. Sikap mau mendengarkan, menurut Benny, menjadi tugas orang-orang yang berada di sekitar remaja yang memiliki tanda-tanda untuk bunuh diri.
Tanda-tanda yang bisa dilihat, antara lain, perubahan perilaku yang mengabaikan kesehatan dan keselamatan, seperti konsumsi alkohol berlebih. Bisa juga lewat sikap menarik diri dari aktivitas sosial, hingga penyampaian ungkapan untuk mengakhiri hidup baik implisit maupun eksplisit.
"Ketika kita menemukan tanda-tanda itu, tahan asumsi apa yang membuat mereka bunuh diri. Tugas kita adalah mendengarkan dan mendampingi. Kalau ada yang tiba-tiba bikin status mau bunuh diri atau cerita, terima dulu, jangan dinasihati, didebat atau dihakimi,” pesannya.
Ketika orang yang menunjukkan tanda-tanda tersebut sudah lebih terbuka, selanjutnya penting untuk menunjukkan sikap empati. Jika risiko bunuh diri nyata, mereka sebaiknya dihubungkan dengan sumber dukungan yang lebih kuat, seperti psikolog.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta, Nova Riyanti Yusuf, dalam rubrik opini Kompas (10/10/2019), mengatakan, program kesehatan jiwa remaja di Indonesia sudah cukup menemukan titik terang.
Kebijakan sekolah ramah anak seperti pengadaan Rapor Kesehatanku yang berisi laporan data kesehatan fisik dan mental pelajar dilakukan secara berkala. Pada tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) ada kebijakan standar pelayanan minimal, berupa Program Kesehatan Peduli Remaja.
”Ketahanan jiwa remaja sangat membutuhkan kesehatan fisik dan mental sehingga remaja akan mampu memaksimalkan talenta yang dimiliki,” katanya.