Data dan perizinan pertambangan dinilai belum transparan. Hal itu dikhawatirkan memunculkan celah untuk menguntungkan pihak tertentu dan menghambat partisipasi publik sebagai mekanisme kontrol.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didesak untuk menerapkan transparansi atau membuka kontrak, daftar nama, dan perkembangan evaluasi sejumlah perusahaan pertambangan di Indonesia. Ketiadaan transparansi dikhawatirkan memunculkan celah untuk menguntungkan pihak tertentu dan menghambat partisipasi publik sebagai mekanisme kontrol.
Desakan itu disampaikan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan Bersihkan Indonesia melalui konferensi pers secara daring, Minggu (27/9/2020). Sejumlah organisasi yang tergabung dalam gerakan itu meliputi, antara lain, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, dan Trend Asia.
Direktur program Trend Asia, Ahmad Ashov, mengemukakan, hari hak untuk tahu sedunia yang diperingati setiap tanggal 28 September menjadi momentum untuk mendesak pemerintah untuk membuka data perusahaan pertambangan dan detail dari proses evaluasi. Hal ini disebabkan keterbukaan informasi berkaitan dengan hajat hidup masyarakat seharusnya ditunaikan pemerintah.
Ashov menegaskan, ketidakterbukaan informasi terkait evaluasi perizinan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dikhawatirkan menguntungkan pihak tertentu saja. Padahal, kegiatan pertambangan kerap merugikan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan proyek dan merusak lingkungan jika tidak ada mekanisme kontrol yang ketat.
”Kami melihat pemerintah sangat memberikan keistimewaan pada perusahaan tambang khususnya batubara yang ditunjukkan dari disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) Minerba (Mineral dan Batubara) serta omnibus law (RUU Cipta Kerja). Konteks lainnya adalah saat ini perusahaan batubara mengalami penurunan harga dan permintaan serta hutang yang begitu besar sehingga memerlukan perpanjangan izin,” ujarnya.
Kami melihat pemerintah sangat memberikan keistimewaan pada perusahaan tambang khususnya batubara.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradana Rumpang menambahkan, sejumlah kontrak PKP2B dari perusahaan besar di Kaltim akan berakhir akhir tahun ini. Keterbukaan informasi evaluasi dibutuhkan agar masyarakat di sekitar kawasan pertambangan mengetahui kewajiban yang dilakukan ataupun diingkari perusahaan itu.
Sejumlah informasi hasil evaluasi atau audit yang perlu disampaikan ke publik, yakni kewajiban perusahaan tentang penerimaan negara, pajak, obligasi pasar domestik (DMO), pemulihan lingkungan, hukum, hingga tanggung jawab sosial kepada masyarakat terdampak.
Dari catatan koalisi, perusahan-perusahaan yang sedang dalam permohonan perpanjangan operasi memiliki rekam jejak seperti kasus perusakan lingkungan, perampasan tanah petani dan masyarakat adat, hingga kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bahkan, lima pemegang PKP2B pada tahun 2020 rata-rata mendapatkan izin operasi selama 33 tahun dengan empat perusahaan di antaranya berada di Kalimantan Timur.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menegaskan, evaluasi harus disampaikan ke publik karena saat ini Kalsel mengalami darurat ruang dan bencana ekologis akibat penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam. Walhi Kalsel mencatat, dari total wilayah Kalsel seluas 3,7 juta hektar, sebanyak 1,2 juta hektar atau 32 persen di antaranya ditetapkan sebagai izin pertambangan.
Eksploitasi alam berupa pemberian izin tambang di Kalsel juga dinilai sebagai penyebab banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penyakit saluran pernapasan, perubahan iklim, hingga pencemaran sungai. Selain itu, banyak masyarakat juga menjadi korban karena lubang bekas kegiatan pertambangan yang tidak ditutup oleh pemegang konsensi.
Penyampaian surat
Pada 8 September 2020, Jatam Kaltim mengajukan surat permohonan keterbukaan informasi evaluasi pertambangan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, sampai saat ini surat tersebut tidak kunjung mendapatkan tanggapan dari Kementerian ESDM.
Ketika dimintai tanggapannya terkait penyampaian surat tersebutmelalui pesan singkat, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial tidak memberikan responsnya. Jatam akan kembali melayangkan surat keberatan pada minggu ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, termohon wajib memberikan tanggapan dan informasinya kapada pemohon selambat-lambatnya 10 hari sejak permohonan diterima pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID).
”Tentu akan ada sanksi yang muncul jika Kementerian ESDM tidak memberikan tanggapan atau jawaban terhadap permohonan kami. Kami akan serius mendesak agar keterbukaan informasi ini dilaksanakan sehingga proses perizinan pertambangan yang ada di Kalimantan taat hukum dan dapat dikontrol masyarakat,” ujarnya.