Pengembangan Ubi untuk Peningkatan Ketahanan Pangan
Jauh di Afrika, diaspora Indonesia berhasil mengembangan ubi untuk mengatasi persoalan sosial dan meningkatkan ketahanan pangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ubi tidak hanya dapat dikembangkan untuk mengatasi persoalan sosial, seperti kelaparan, gizi buruk, dan tengkes atau stunting. Sumber karbohidrat ini juga dapat menjadi solusi meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan di negara-negara miskin dan berkembang.
Pengembangan ubi untuk mengatasi persoalan sosial dan meningkatkan ketahanan pangan telah dilakukan diaspora Indonesia yang juga merupakan CEO Reputed Agriculture for Development Stichting, Erna Abidin. Pengembangan ubi tersebut dilakukan Erna di sejumlah negara-negara di Afrika, yakni Malawi, Ghana, Burkina Faso, dan Nigeria sejak 2009.
Dalam diskusi daring bertajuk ”Mengatasi Masalah Pangan, Kelaparan, Gizi Buruk, Ketidaksetaraan Gender, dan Konflik Etnis di Afrika”, Rabu (16/9/2020), Erna mengungkapkan, ubi merupakan salah satu makanan pokok di Afrika. Namun, mayoritas pemerintah di negara-negara Afrika menilai ubi bukanlah tanaman yang mampu menggerakkan perekonomian pertanian.
”Kami memilih mengembangkan ubi karena ubi merupakan makanan orang-orang kecil, seperti petani. Ubi juga gampang ditanam di mana-mana. Penanaman ubi hanya membutuhkan air, penyiraman, dan dibiarkan selama tiga minggu,” ujarnya.
Dari sejumlah jenis ubi, Erna mengembangkan ubi oranye untuk mengatasi masalah gizi buruk dan tengkes di Afrika. Ubi oranye dipilih karena memiliki kandungan betakaroten yang tinggi dan jika dikonsumsi akan menjadi sumber vitamin A. Ubi juga dapat merendahkan kadar kolesterol dalam tubuh dan meningkatkan metabolisme karena memiliki serat tinggi.
Kandungan manfaat yang sangat tinggi ini membuat Erna terus mendorong dan mengembangkan ubi di negara-negara Afrika dengan strategi diseminasi kepada para petani maupun pihak lain. Petani juga mendapatkan penyuluhan dan pendampingan; mulai dari penyemaian ubi, penanaman, hingga produksi secara mandiri.
Pengembangan ubi di Afrika dengan suhu cenderung panas juga memiliki sejumlah tantangan, seperti masa penyimpanan yang tidak bisa bertahan lama, yakni hanya sekitar dua minggu. Untuk mengatasi tantangan tersebut, Erna mengembangkan metode penyimpanan ubi di dalam pasir bersuhu rendah. Dengan metode ini, ubi dapat tetap segar hingga empat bulan.
”Dalam dua tahun dampak dari proyek pengembangan ubi ini mulai terlihat. Ubi banyak dijual di pasar, perempuan dan pemuda juga berperan sebagai pengecer penjualan ubi di sepanjang jalan. Kondisi ini seakan-akan mengikis permasalahan jender,” tuturnya.
Membangun partisipasi
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan IPB University Sumardjo mengatakan, kegiatan pengembangan ubi di Afrika terbukti berhasil membangun komunikasi dan partisipasi para petani. Hal ini menandakan bahwa inovasi yang dikembangkan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Salah satu kunci keberhasilan ini adalah penggunaan petani penyuluh. Mereka mampu berkomunikasi dengan mengatasi kendala budaya dan bahasa sehingga perempuan dan anak-anak muda menyukai produk dalam inovasi ini,” ungkapnya.
Selain itu, keberhasilan pengembangan ubi hingga menjadi ketahanan pangan terjadi karena penguatan produksi di sektor hilir terutama di pengolahan dan pasar. Inovasi yang tepat dalam mengatasi sifat ubi yang mudah rusak membuat petani dapat memaksimalkan nilai produksi dari ubi tersebut.
”Semua upaya tersebut berhasil membangun energi sosial kreatif dengan pendekatan partisipatif, yaitu membangun kekuatan dari dalam yang tidak didominasi oleh pihak luar. Ini dapat menjadi faktor sustainability,” tambahnya.