Komunitas Sant’Egidio, Bersahabat dengan Orang-orang yang Terabaikan
Komunitas Sant’Egidio memiliki misi jadi sahabat bagi orang-orang miskin dengan berbagai latar belakang. Tak hanya memberi bantuan materi, komunitas ini juga menghabiskan waktu untuk bercengkerama atau bertukar pikiran.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Ada yang kurang dalam pemberian bantuan kepada masyarakat kurang beruntung. Pemberian bantuan hanya berorientasi pada kebutuhan materiil. Anggapan itu melekat kuat sehingga pemberian bantuan kerap mengabaikan aspek untuk memanusiakan mereka.
Padahal, masyarakat kurang beruntung juga memiliki kebutuhan sosial. Mereka membutuhkan teman untuk sekadar bercerita, berkeluh kesah, dan tertawa bersama. Mereka juga membutuhkan teman diskusi untuk membahas isu-isu yang terjadi di sekitar.
Penanggung Jawab Regional Komunitas Sant’Egidio Indonesia-Filipina, Teguh Budiono, menceritakan, Komunitas Sant’Egidio memiliki misi untuk menjadi sahabat bagi orang-orang miskin dengan berbagai latar belakang, seperti pedagang pasar, penjual makanan, dan pemulung. Tak hanya memberi bantuan materi, komunitas ini secara teratur juga menghabiskan waktu untuk bercengkerama atau bertukar pikiran dengan mereka.
”Topik yang kami bicarakan bermacam-macam, bisa dari yang remeh sampai topik pribadi, seperti berapa banyak mereka memulung atau ada saudara sakit. Mereka setidaknya memiliki teman untuk diajak bicara sehingga ada harapan dalam kesulitan. Mereka mendapatkan nilai persahabatan,” kata Teguh saat ditemui di Kedoya, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Komunitas Sant’Egidio adalah komunitas doa sukarelawan Kristen yang dibentuk pada 1968 atas inisiatif Andrea Riccardi di Roma, Italia. Komunitas ini telah tersebar di lebih dari 70 negara. Di Indonesia, gerakan ini muncul pertama kali di Padang pada tahun 1990 dan kemudian menyebar.
Berdasarkan salah satu pilarnya, Komunitas Sant’Egidio ingin komunitas pelayanan sosial yang membantu kehidupan orang kurang beruntung menjadi lebih bermakna. Komunitas ini memiliki beberapa program, antara lain Sekolah Damai, Pelayanan Lansia, Temu Sahabat Jalanan, dan Mensa atau makan gratis di kantin.
Saat ini, Komunitas Sant’Egidio berada di 13 kota, di antarnya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Denpasar, Medan, Padang, Kupang, dan Atambua. Program pelayanan di setiap kota berbeda-beda sesuai kebutuhan. Di Atambua dan Kupang, misalnya, mereka memiliki program yang berorientasi untuk melayani dan bersahabat dengan pengungsi dari Timor Leste.
Anggota Komunitas Sant’Egidio yang aktif sekarang berjumlah sekitar 500 orang dan memiliki mitra-mitra lintas agama. Para sukarelawan merupakan orang-orang dari beragam rentang usia.
Program Sekolah Damai, misalnya, berlangsung sejak 1996. Program ini menjadi wadah berinteraksi dan berdiskusi dengan anak-anak tidak mampu agar mereka menyadari tidak sendirian. Interaksi bersama sukarelawan dan teman sebaya membantu meningkatkan rasa percaya sehingga mereka merasa berarti.
Di Jakarta, Sekolah Damai berlangsung setiap Minggu di Sekolah Santo Lukas Penginjil, Sunter. Sementara program pelayanan Mensa, yang memberikan makanan kepada orang kurang beruntung, dilangsungkan di sebuah ruko di Kedoya, Jakarta Barat, berlangsung setiap hari Minggu sore.
Para warga lansia sering sendiri dan tidak terlalu mandiri sehingga membutuhkan orang yang mereka kenal untuk bercakap.
Penanggung Jawab Komunitas Sant’Egidio Jakarta dan Bandung, Tarsisius Erlip Vitarsa, menambahkan, di Jakarta, Pelayanan Lansia mengunjungi warga lansia yang di Panti Lansia St Anna, Teluk Gong, Jakarta Utara. Setiap hari Minggu, mereka mengunjungi dan memasak untuk para warga lansia.
Dalam beberapa kesempatan, mereka juga mengajak para warga lansia merayakan hari raya dan berjalan-jalan. Namun, di masa pandemi seperti ini, pelayanan beralih untuk sekadar mengirim makanan.
”Para warga lansia sering sendiri dan tidak terlalu mandiri sehingga membutuhkan orang yang mereka kenal untuk bercakap. Orang mengganggap warga lansia sudah tidak aktif dan produktif lagi. Walaupun lansia, mereka juga bisa berkontribusi dan mendoakan orang lain. Kita juga bisa belajar dari mereka,” tutur Erlip.
Tanpa menghakimi
Teguh melanjutkan, dalam program-program itu, hal sederhana yang menjadi perhatian adalah mengingat nama orang-orang yang dilayani. Ini merupakan salah satu gestur yang menunjukkan bahwa semua orang yang terlibat adalah sahabat. Program-program yang dibuat pun adalah program jangka panjang untuk menjaga tali persahabatan.
”Sering kita mendapati ada yang memanggil orang lain dengan sebutan ’Si Gondrong’ atau ’Si Ompong’. Sikap itu menghilangkan identitas diri seseorang dan membuatnya minder. Dulu, pernah ada yang bernama sebutan ’Si Jabrik’, akhirnya kami mencari tahu namanya ternyata Sutanto,” tutur Teguh.
Ia melanjutkan, komunitas Sant’Egidio merupakan sekolah hidup kepada seluruh pihak yang terlibat dalam program-program itu. ”Selain melayani orang miskin, ini mengajarkan teman-teman yang bergabung untuk memberikan dengan cuma-cuma. Mereka belajar untuk memandang orang miskin tanpa menghakimi dan menolong tanpa melihat latar belakang,” ujar Teguh.
Erlip menyebutkan, persahabatan membantu menghapus stigma negatif yang melekat kepada orang-orang kurang beruntung. Ini penting agar kita dapat membangun komunitas bersama yang inklusif.
”Kalau tidak, kita tidak bisa membangun dialog bersama, dan dialog itu akan memberikan hasil yang indah. Anak muda bisa belajar menghargai kehidupan, kesederhanaan, dan ketulusan dari mereka,” ujarnya.