Komitmen Perusahaan terhadap Pencegahan Kebakaran Masih Rendah
Lembaga pembiayaan bisa berperan dalam mendorong perusahaan konsesi yang dimodalinya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di area kerjanya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini terdapat ribuan titik api pemicu kebakaran hutan dan lahan atau karhutla yang terdeteksi di dalam wilayah konsesi perusahaan. Kondisi ini menegaskan belum maksimalnya komitmen perusahaan dalam upaya pencegahan dan penanganan karhutla.
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia Edi Sutrisno mengemukakan, dari data yang dihimpun sejak Januari hingga 14 Agustus 2020, terdapat 5.825 titik api yang berada di dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit. Jambi menjadi wilayah dengan jumlah titik api terbesar yang terdeteksi di dalam konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), disusul Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau.
”Pada bulan Juli dan Agustus terjadi peningkatan titik api yang sangat luar biasa. Pada bulan Agustus, selama dua minggu saja di dalam wilayah konsesi terdapat 1.629 titik api. Ini sedikit mengkhawatirkan karena bisa terus meningkat pada bulan September,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (2/9/2020).
Dari hasil kajian Tuk Indonesia, perusahaan yang bertanggung jawab terhadap karhutla juga didukung oleh pembiayaan dari bank Tanah Air. Hal ini terungkap dari identifikasi dan analisis berdasarkan laporan keuangan setiap perusahaan. Bank tersebut memberikan pembiayaan hingga ratusan juta dollar AS.
Koordinator Jikalahari Riau, Made Ali, menyampaikan, dari investigasi yang dilakukan Jikalahari, titik api terbanyak, yaitu 1.388 titik, berada di areal korporasi HTI. Ini disusul 336 titik di kawasan konservasi dan 119 titik di area hak penebangan hutan (dulu hak pengusahaan hutan/HPH kini IUPHHK-Hutan Alam). Dari temuan lapangan kemudian disimpulkan bahwa karhutla merupakan kejahatan terorganisasi oleh korporasi untuk tujuan ekonomi tertentu.
Terkait dengan temuan ini, pihak penegak hukum telah menindak korporasi yang diduga bertanggung jawab terhadap karhutla. Kepolisian Daerah Riau menangani 71 kasus karhutla, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel 11 konsesi perusahaan di Riau.
Jikalahari terus memantau perkembangan kasus penegakan hukum 11 perusahaan tersebut. Pada 2019 telah dilakukan penegakan hukum terhadap pelaku perorangan dan baru mulai naik sidang pada 2020 untuk empat tersangka.
Dari 11 perusahaan yang disegel, KLHK kemudian melakukan gugatan perdata pada dua perusahaan, sedangkan sembilan perusahaan lainnya dijatuhi sanksi administrasi. Namun, Made menyebut perwakilan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Riau sampai saat ini tidak melakukan penegakan hukum dan ulasan izin korporasi.
”Putusan perkara karhutla sebenarnya dapat digunakan perbankan untuk me-review kredit yang diberikan kepada korporasi karena syarat sahnya perjanjian telah dilanggar, salah satunya klausa yang halal. Selain putusan pengadilan, temuan lapangan masyarakat juga dapat dijadikan bukti untuk me-review pembiayaan kepada korporasi,” ujarnya.
Karhutla yang terjadi di Riau pada 2019 menyebabkan 300.000 warga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena menghirup asap. Asap karhutla juga diduga menyebabkan tiga orang meninggal. Bahkan, saat itu Gubernur Riau menetapkan status darurat pencemaran udara di wilayahnya.
Lemahnya kontrol
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Jambi Rudiansyah menyampaikan, karhutla yang terjadi pada 2015 dan 2019 di Jambi terjadi di wilayah yang sudah dibebankan izin, seperti di HTI, HPH, dan perkebunan sawit. Karhutla terjadi karena perusahaan tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk pencegahan dan penanganan kebakaran.
”Kami melihat lemahnya kontrol monitoring dan evaluasi dalam melakukan audit kepatuhan terhadap pemegang izin. Pemerintah tidak bisa memastikan bahwa perusahaan tersebut siap secara infrastruktur apabila menguasai dan mengelola lahan,” tuturnya.
Berulangnya karhutla di Jambi juga terjadi akibat perusahaan tidak melakukan upaya pemulihan atau restorasi gambut di wilayah konsesinya masing-masing. Selain itu, pemerintah dinilai hanya menangani kebakaran hanya pada saat kejadian dan tidak menyelesaikan hingga ke akar masalah.
Di sisi lain, Rudi menyebutkan bahwa perusahaan pemegang konsesi sampai saat ini masih terus menciptakan konflik lahan dengan masyarakat. Walhi Jambi mencatat, perusahaan telah menciptakan potensi konflik dengan 120 desa atau komunitas di mana 30 di antaranya terjadi konflik aktif dan belum terselesaikan.
”Dalam catatan kami, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan perusahaan, mulai dari konflik lahan maupun intimidasi menggunakan oknum aparat negara untuk mengamankan konsesi mereka. Mereka juga melakukan upaya kriminalisasi dan yang lebih parah mereka menggunakan kekerasan sampai menghilangkan nyawa petani,” ungkapnya.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan dan Lingkungan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, masalah para perusahaan pemegang konsesi yang bertanggung jawab terhadap karhutla tidak bisa dilihat secara parsial. Namun, perlu juga melihat dari mana perusahaan mendapatkan pendanaan dan bagaimana usaha tersebut dijalankan.
Hariadi menambahkan, lembaga yang memiliki otoritas terhadap keuangan jangan hanya melihat skema perusahaan tersebut dalam mengembalikan uang kepada bank atau investor. Sejumlah pihak juga harus melihat dan memastikan uang tersebut digunakan dengan baik tanpa merusak lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat.
”Rencana, kajian, dan analisis digunakan sebagai identifikasi awal atau janji perusahaan dalam mengelola lingkungan hidup dan dampak sosial dengan baik. Kalau janji tidak terpenuhi, pendanaan hijau dapat menjadi instrumen operasional,” ucapnya.