Penguatan Kelembagaan Optimalkan Program Desa Peduli Gambut
Peran desa di tingkat tapak sangat penting dalam memastikan kesuksesan restorasi gambut. Keberadaan desa-desa peduli gambut ini agar dilembagakan agar upaya tersebut bisa optimal.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Yohana (44), Ketua Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut di Desa Saka Kajang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memeriksa pembukuan hasil dari penjualan sayuran organik mereka. Mereka memanfaatkan lahan gambut di pekarangan belakang rumah untuk menjaga pangan keluarga bahkan daerah sekitar.
JAKARTA, KOMPAS — Desa peduli gambut terus didorong untuk meneruskan program restorasi gambut, salah satunya melalui pengembangan komoditas dan produk unggulan. Namun, pengembangan potensi di daerah desa peduli gambut kerap menemui sejumlah kendala dan tantangan. Penguatan kelembagaan bisa menjadi pilihan agar program desa peduli gambut dapat berjalan dengan optimal.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Peluang dan Tantangan Kelembagaan Ekonomi dalam Mendukung Pembangunan Pedesaan Gambut” yang diselenggarakan Universitas Sriwijaya dan Badan Restorasi Gambut (BRG), Selasa (1/9/2020).
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri menyampaikan, komoditas dan produk unggulan di sektor pangan menjadi program andalan dari desa peduli gambut (DPG). Produk unggulan kawasan tersebut dihasilkan dari kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan.
”Ada beberapa yang sudah mengembangkan ekonomi kreatif, termasuk desa di Sumatera Selatan yang melihat bagaimana peluang ekonomi bisa dimaksimalkan dengan kegiatan kerajinan dan fashion. Ekowisata juga sudah mulai tumbuh seperti di Kalimantan Tengah dan Riau,” ujarnya.
Myrna mengakui bahwa pengembangan potensi di daerah DPG kerap menghadapi sejumlah kendala dan tantangan sehingga membuat pemberdayaan ekonomi masyarakat belum berjalan optimal. Di daerah dengan potensi pertanian dan perkebunan ditemui kendala, seperti rendahnya aksesibiltas transportasi menuju pusat penjualan.
Kendala lainnya juga ditemui di daerah DPG yang fokus mengembangkan sektor perikanan, peternakan, kerajinan, ekowisata, dan jasa lingkungan. Kendala tersebut, antara lain, minimnya dukungan sarana dan prasarana, lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan, jaringan pasar yang belum berkembang, hingga belum optimalnya inovasi lokal pengelolaan gambut.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Masyarakat Peduli Api Desa Catur Rahayu, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, membasahi gambut kering bekas terbakar, Rabu (7/8/2019). Upaya pendinginan itu memanfaatkan sumber air dari sumur bor yang dibangun darurat. Dengan upaya cepat yang dilakukan masyarakat, api yang sempat tumbuh berhasil dipadamkan cepat.
”Kami memberikan pendampingan untuk 49 UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) pada tahun ini, mulai dari bagaimana cara untuk mengakses pasar online sampai dengan pengembangan kapasitas, dan kemampuan promosi,” ujarnya.
Myrna menegaskan bahwa segala upaya tersebut dlakukan untuk mendukung peningkatan status sosial ekonomi masyarakat DPG. Hasil pengukuran indeks desa membangun di 366 DPG tahun 2018 dan 2019 menunjukkan, terdapat penurunan besar pada kategori desa tertinggal dan peningkatan besar pada kategori desa berkembang.
BRG mencatat, terdapat 1.205 desa dan kelurahan di tujuh provinsi dalam target restorasi gambut. Dari jumlah tersebut, 590 di antaranya telah mengikuti program DPG dengan pendampingan dari BRG, lembaga swadaya masyarakat, ataupun pihak swasta.
Dukungan desa terhadap restorasi gambut juga diintegrasikan melalui perencanaan desa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) atau Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Pada 2019, tercatat 143 desa telah mengintegrasikan program restorasi gambut ke dalam APBDes dengan total anggaran mencapai Rp 16 miliar.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Sukanto mengatakan, penguatan kelembagaan di tingkat desa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembangunan. Penguatan kelembagaan ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat atau daerah, sektor swasta, hingga perbankan.
”Di daerah pedesaan, masalah permodalan menjadi kendala utama. Artinya, baik pemerintah melalui BRG haruslah berkolaborasi dengan perbankan, investor, kelompok tani, UMKM, atau BUMDes. Ini dilakukan agar kelembagaan investasi komoditas unggulan berjalan dengan baik,” ucapnya.
Menurut data Forum BUMDes Indonesia, daerah terbanyak yang memiliki BUMDes adalah Sumatera dengan total 19.381 unit disusul Jawa dengan 13.904 unit. Sementara jumlah koperasi di Indonesia tercatat sebanyak 123.048 dengan sebaran terbesar di Jawa dan Sumatera. Adapun sektor usaha koperasi bidang pertaninan, kehutanan, dan perikanan sebesar 9.703 unit.