Transfer Anggaran Berbasis Ekologis Bawa Pendapatan Sekaligus Jaga Lingkungan
Transfer anggaran provinsi berbasis ekologis menjadi contoh skema yang baik untuk merangsang daerah kreatif dalam mendapatkan PAD sekaligus menjaga lingkungan dari kerusakan dan pencemaran.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pemerintah daerah mulai melakukan perubahan pembiayaan lingkungan melalui skema transfer anggaran provinsi berbasis ekologis. Selain dapat memacu kinerja pemerintah daerah di bidang lingkungan, skema ini juga berpotensi menarik banyak investor.
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto menyatakan, pengembangan ekonomi hijau dapat mulai dilakukan melalui perbaikan tata kelola. Hal ini juga menjadi salah satu fokus dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
”Dalam PP ini ada 18 instrumen ekonomi lingkungan dan yang paling mendesak adalah tata kelola,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Modalitas dan Pentingnya Terobosan Pengembangan Ekonomi Hijau pada Lanskap Ekosistem Gambut” yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut (BRG), Rabu (26/8/2020).
Joko menjelaskan, inti dari perubahan tata kelola adalah melakukan payment economy services. Secara sederhana, hal ini bertujuan memberikan arahan kepada daerah agar ada peluang menciptakan pendapatan asli daerah sekaligus menjaga konservasi.
Salah satu skema perubahan tata kelola yang dilakukan BKF, yaitu transfer anggaran provinsi berbasis ekologis (Tape). Tape merupakan skema transfer keuangan atau bantuan dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota berdasarkan kinerja dalam pengelolaan ekologi.
Kalimantan Utara menjadi daerah pertama yang menetapkan skema ini dengan lima kriteria penilaian, yaitu pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, ruang terbuka hijau, pengelolaan persampahan, perlindungan air, dan pencemaran udara. Pemprov Kaltara kemudian akan memberikan bantuan keuangan yang lebih tinggi jika pemerintah kabupaten/kota menunjukkan kinerja yang bagus terhadap lima kriteria penilaian ekologis tersebut.
Investor akan datang ketika dia melihat suatu daerah sudah melakukan inovasi bagus terkait dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup. (Joko Tri Haryanto)
”Gubernur Kaltara menjual inovasi lingkungan hidup ini ke mancanegara dan kemudian menarik banyak investasi. Ini karena pendekatan sekarang adalah model bisnis jasa lingkungan. Investor akan datang ketika dia melihat suatu daerah sudah melakukan inovasi bagus terkait dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup,” katanya.
Daerah lain yang saat ini tengah melakukan skema Tape adalah Sulawesi Selatan, tetapi dengan indikator pencapaian ekologi yang berbeda. Sejumlah indikator itu ialah penurunan emisi gas rumah kaca, perubahan tutupan vegetasi, pertanian berkelanjutan, serta energi baru terbarukan dan konservasi energi.
Profesor bidang Jasa Ekosistem dan Perubahan Lingkungan Wageningen University, Belanda, Lars Heins mengatakan, model ekonomi alternatif atau bisnis yang memanfaatkan lingkungan khususnya gambut harus memiliki sejumlah kriteria guna mendatangkan investor. Skema bisnis yang ditetapkan harus sama menguntungkannya dengan investasi di kelapa sawit.
Sejumlah pihak juga dapat mengembangkan komoditas gambut selain kelapa sawit, di antaranya sagu, kayu, rotan, dan perkebunan buah skala kecil. Sagu dinilai Lars dapat menjadi pilihan utama untuk dikembangkan karena keuntungan yang diperoleh dapat mencapai 1.000 dollar AS per hektar per tahun.