Aturan dan Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Belum Selaras
Aturan dan informasi terkait kebakaran hutan dan lahan hingga kini belum selaras. Ini menjadi ganjalan dalam pengendalian kejadian berulang tersebut dari pencegahan, pemadaman, hingga proses hukum.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla harus dilakukan dengan kegiatan, manajemen, dan informasi yang tepat dan selaras. Namun, pada praktiknya, mulai dari aturan hingga informasi yang ditetapkan belum selaras atau tersinergi dengan baik.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo dalam webinar bertajuk ”Mencegah Kebakaran Hutan Berulang” yang diselenggarakan Forest Digest, Jumat (21/8/2020).
Bambang menyampaikan, kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan telah jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Dalam Pasal 20 Ayat (1) disebutkan, kegiatan pengendalian meliputi pencegahan, pemadaman, dan penanganan pascakebakaran.
Aturan ini juga diturunkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 32/2016. Namun, dalam permen tersebut tidak dijelaskan tentang pencegahan dan pemadaman. Sebaliknya, ketentuan yang muncul menyebutkan istilah baru, yakni penanggulangan.
Penyebutan penanggulangan, kata Bambang, menjadikan karhutla seolah-olah sebagai bencana sehingga semua proses pidana tidak bisa dilakukan. Sebab, dalam pidana, bencana dianggap sebagai force majeure atau keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, seharusnya permen dapat mengikuti ketentuan peraturan pemerintah yang menyebutkan adanya kegiatan pencegahan dan pemadaman.
Contoh lain terkait belum selarasnya kegiatan penanganan karhutla ini, menurut dia, terlihat dari tidak sesuainya data titik panas (hot spot) dari laman Sipongi milik KLHK dengan data di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Berdasarkan data Lapan dengan tingkat kepercayaan mencapai 99 persen, pada 1 Agustus 2020 terdeteksi 540 titik panas di seluruh wilayah Indonesia. Sementara di laman Sipongi dengan tingkat kepercayaan lebih dari 80 persen hanya terdeteksi tujuh titik panas.
”Yang punya wali data hot spot adalah Lapan, tetapi data di laman Sipongi berbeda. Bagaimana data Sipongi bisa menjadi rujukan kalau faktanya terdapat perbedaan (dengan data Lapan),” ujar Bambang.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Basar Manullang mengatakan, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Nomor 27 Tahun 2019 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik, wali data terkait informasi karhutla dipegang oleh KLHK.
”Saat ini, Sipongi memang mengalami kesulitan saat diakses melalui ponsel Android karena masalah perubahan format data dari Lapan yang tadinya berbasis dua digit menjadi satu digit. Tetapi, kalau di web sudah bisa diakses. Jadi, Sipongi tetap menjadi basis kita,” tuturnya.
Wakil Menteri LHK Alue Dohong kembali menekankan pentingnya pendekatan-pendekatan baru dalam menangani karhutla. Selain menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC), upaya pencegahan karhutla juga terus didorong melalui pendekatan keagamaan.
Salah satu pendekatan keagamaan yang dilakukan adalah mengeluarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya. Selain itu, pemuka agama juga menyampaikan pesan-pesan pencegahan karhutla dalam pembinaan rohani, terutama di wilayah rawan.
Dari pantauan satelit Terra/Aqua, sejak 1 Januari hingga 13 Agustus 2020 terdeteksi 1.207 titik panas penyebab karhutla. Sementara luas area terbakar sampai Juli 2020 mencapai 64.602 hektar, masing-masing di tanah mineral seluas 47.668 hektar dan lahan gambut seluas 16.934 hektar.